Horee.. menang vocer

alhamdulillah, tulisanku yang 15 tempat makan paforit itu berhasil memenangkan vocer Rp200.000 belanja di matahari dept. store. Emang nggak menang karena tulisanya keren sepertinya tapi menang undian tapi tetep aja lumayan banget. LUmayan buat belanja lebaran.. hehehe..:P

http://www.streetdirectory.co.id/sdi/


TOP 15 Rumah Makan yang Saya Suka di Jakarta


[Lifestyle] Hehehe... ini bukan promosi, tapi saya pingin aja nulis ini. Nggak ada hubungannya dengan pesan sponsor atau iklan rumah makan. Just pingin.... no reason.

Ada beberapa kriteria yang saya pilih jika ingin memilih rumah makan dan akhirnya memutuskan untuk mampir lagi lain waktu jika ada rezeki dan kesempatan. Beberapa kriteria itu adalah:

1. Tidak boleh ada kucing yang berkeliaran di rumah makan itu.
Ini harus dan hukumnya wajib. Seenak apapun rasanya makanan yang dihidangkan, semurah apapun harganya, tapi kalau ada kucing yang berkeliaran dengan bebas dan penjual atau pemilik rumah makan tersebut juga cuek banget dengan mondar-mandirnya kucing tersebut di rumah makan miliknya... hmm... biasanya saya malas untuk datang dan mampir lagi disana. Bukan apa-apa, tapi karena saya geli, sebel, takut sama kucing. Walhasil, saya jarang banget deh makan di warteg atau tenda-tenda seafood di pinggir jalan atau tempat terbuka lainnya. Tapi bukan nggak pernah sama sekali sih. Kadang, kalau terpaksa ya makan juga.... tapi, jangan diketawain kalau kedua kaki saya naik ke atas kursi dan kepala ini celingak celinguk penuh kewaspadaan untuk mengintai.... "musuhku mendekat nggak ya?".... dan, yang nemenin saya makan, harus rela dan ikhlas membantu mengusir kucing-kucing yang datang mendekati saya.

Mengenang website Kafemuslimah.com bagian pertama: Menghitung Hari


Apa rasanya jika terpaksa harus berpisah dengan sesuatu yang selama ini senantiasa mengisi hari-harimu?
Tahukah kalian bagaimana rasanya harus berpisah dengan sesuatu yang selama ini senantiasa menemani kita dalam keseharian?
Jangan pernah membayangkannya. Pun jangan pernah berharap bisa merasakannya. Karena rasanya amat sangat sedih.
Huff (sedih).

Akhirnya, setelah nyaris 10 tahun, website dimana aku besar di dalamnya, terpaksa harus ditutup. Pertimbangannya satu: kami, para pengelolanya ingin mengembangkan sayap kami masing-masing agar bisa menjangkau lebih banyak orang, lebih banyak teman dan memandang lebih banyak lagi bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, aneka burung yang beterbangan di angkasa, aneka bunga yang bermekaran di seluruh pelosok negeri, di setiap sudut dunia.


Udah lama

Udah lama ya ternyata aku nggak pernah meng-update blog ku ini. Ini gara-gara aku tergagap dengan tampilan baru google plus. selalu dan selalu, bingung kemana link untuk masukin entri baru. Siang ini, berhubung lagi super duper nggak butuh sesuatu buat nulis semrawut dan tidak beraturan dan apa saja boleh, terpaksa aku nyari dengan super duper teliti. Akhirnya ketemu juga link untuk masukin entri baru.

Ushul Fiqih lanjutan


catatan Ade Anita on Friday, 11 May 2012 at 21:48 ·
Bagian ke empat: ushul fiqih lanjutan

Pada bagian ke tiga sebelumnya, kita sudah membahas tentang Pengertian Ushul Fiqih (yaitu satu ilmu yang dengannya dapat ditentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah, dan kita dapat mengeluarkan masalah-masalah yang tidak tegas bersama hukumnya, dan dengannya pula dapat didudukkan sesuatu masalah pada tempatnya, dan lain sebagainya), serta pembagiannya dalam beberapa pasal.

Berikutnya, dalam bagian ke empat disini, lebih lanjut akan diterangkan bagaimana proses pengambilan hukum. A. Hassan (yang nama lengkapnya Abdul Qadir Hasan, seorang ulama Persis yang ketika hidup lebih dikenal dengan Hasan Bandung karena lama tinggal di Bandung) dalam bukunya Ââ€Å“Soal Jawab tentang berbagai masalah tentang agama, menulis bagian kedelapan dari ilmu Ushul Fiqih.

Ushul Fiqih


MEMAHAMI HUKUM-HUKUM SYARIAT DALAM ISLAM 3

by Catatan Ade Anita on Friday, 11 May 2012 at 21:45 ·
Bagian ke tiga: Ushul Fiqih


Setelah memahami tentang hukum-hukum dalam Islam yang diperoleh dari Al-Quran dan Hadits, maka bagian berikutnya adalah yang bisa diperoleh melalui sebuah ilmu Ushul Fiqih. A. Hassan dalam bukunya Ââ€Å“Soal jawab, tentang berbagai masalah agama†mengatakan bahwa Ushul Fiqih itu, adalah satu ilmu yang dengannya dapat ditentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah, dan kita dapat mengeluarkan masalah-masalah yang tidak tegas bersama hukumnya, dan dengannya pula dapat didudukkan sesuatu masalah pada tempatnya, dan lain sebagainya.

Disini akan penulis bawakan beberapa fasal yang berhubung dengan ilmu Ushul Fiqih itu seperti yang ditulis oleh A. Hassan dalam bukunya tersebut, yaitu:

1. Pendapat bukan pokok.Dalam menghukum sesuatu masalah,sering terdapat orang mendasarkan hukumnya itu atas pendapatnya semata-mata.Hendaklah diketahui bahwa Ââ€Å“pendapat†semata-mata itu bukan agama,sedang yang dikatakan agama itu adalah Quran dan hadits.

Maka tidaklah dapat Ââ€Å“semata-mata pendapat†itu dijadikan alasan atau pokok untuk menentukan sesuatu hukum agama.

Pendapat boleh dipakai sebagai Ââ€Å“penguat†bagi yang sudah ada.

2. Fikiran dan Perasaan.Sebagaimana Ââ€Å“semata-mata pendapat†maka demikian pula Ââ€Å“semata-mata fikiran†dan Ââ€Å“semata-mata perasaanÂâ€, tidak dapat dijadikan pokok alasan, karena kedua-duanya ini bukan agama.

3. Masalah Khilafiyah.Masalah khilafiyah maksudnya : masalah yang diperselisihkan.

Sering kita mendengar orang mengatakan Ââ€Å“ini masalah khilafiyah†atau Ââ€Å“itu masalah khilafiyahÂâ€. Dengan kata-kata Ââ€Å“Khilafiyah†ini mereka maksudkan bahwa satu masalah, umpama Ââ€Å“tahlilan†yang biasa mereka lakukan sesudah ada kematian, kalau ada yang mengatakan bahwa berbuatan itu Ââ€Å“bidÂ’ah†dan ada yang berpendirian bahwa perbuatan itu Ââ€Å“satu amal yang baikÂâ€, maka menurut mereka kedua-dua pendapat itu boleh dipakai. Berarti Ââ€Å“boleh†tahlilan dan Ââ€Å“tidak boleh†tahlilan. Berarti pula bahwa tahlilan itu mempunyai dua hukum:a. Hukum halalb. Hukum haram.Berarti lagi agama kita Ââ€Å“membolehkan†dan Ââ€Å“melarang†tahlilan.

Dua-dua pendapat itu nyata-nyata bertentangan. Tidak mungkin agama yang suci itu membenarkan kedua-duanya. Musti salah satunya benar, dan yang satunya salah.

Mudah-mudahan agama kita yang suci itu tidak segila itu memberi hukum (naudzubillahmin dzaliik).

Kalau ada masalah yang kita perselisihkan hukumnya, bukanlah masalah itu yang berselisih, tetapi kita manusia yang menimbulkannya. Kalau demikian mestinya diusahakan mencari mana yang kuat dari antara dua pendapat itu. Yang kuat itulah yang harus diterima dan dipakai.

4. Ij-tihaad.Lazim terpakai dalam istilah ahli ushul dengan makna: Ââ€Å“mennyerahkan kemampuan yang ada pada seseorang untuk mengetahui sesuatu hukum SyaraÂ’ dengan jalan is-tinbathÂâ€

Kalau kita perhatikan hukum-hukum agama yang sudah ada dan kaidah-kaidah untuk menentukan hukum-hukum agama yang didasarkan kepada Quran dan hadits shahih, kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah dalam agama kita, dengan tidak perlu bersusah payah sebagaimana yang dikehendaki oleh taÂ’rief tersebut diatas.

Agama kita menentukan bahwa semua macam amalan (ibadah) yang tidak ada kebenarannya dari Allah atau Rasul, tertolak, tidak boleh dipakai.Agama menentukan bahwa pada asalnya semua benda dan hal keduniaan, boleh dipakai, diterima dan dikerjakan.

Jadi, lebih lanjut A. Hassan, dalam bukunya tersebut mengajak kita untuk menjadi seorang muslim yang kritis. Yaitu apabila ada sesuatu persoalan, kita tinggal menetukan apakah soal itu masuk bagian Ââ€Å“ibadat†atau Ââ€Å“keduniaanÂâ€. 

Kalau soal itu masuk bagian ibadat, kita periksa: adakah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Kalau tidak ada perintahnya, terletaklah dita, tidak boleh dipakai, tidak boleh diamalkan. Kalau ada perintahnya, boleh kita Ââ€Å“amalkan dia, lalu diperiksa: apakah amal itu mempunyai hukum wajib atau sunnat. 

Sebaliknya pula, kalau hal itu berkenaan dengan keduniaan, kita periksa: apakah hal itu diperintah atu dilarang. Sesudah mendapat ketentuan Ââ€Å“diperintah†atau Ââ€Å“dilarangÂâ€, lalu kita periksa pula hukumnya: Ââ€Å“wajib atau sunnat, haram atau makruhÂâ€.

Demikian seterusnya.

Mungkin di antara persoalan-persoalan yang kita hadapi itu, ada yang samar-samar atau tampaknya adapersamaan dengan hal-hal yang sudah ada dalam agama: maka disitulah baru ada ij-tihad seperti tersebutdalam definisi di atas.Persoalan-persoalan yang samar-samar ini kiranya tidak begitu banyak. Asal pandai kita mendudukkannya.

Di antara hamba-hamba Allah, ada yang apabila sudah terdesak dalam satu-satu masalah dan sudah tidak mempunyai alasan yang kuat lalu berkata: Ââ€Å“ini ijtihad saya, benar atau salah tetap saya mendapat ganjaran.†Begitu juga orang yang lebih banyak menggunakan perasaan dan fikirannya, apabila ada sesuatu hukum agama yang ia masih berat menerimanya, lalu menggunakan Ââ€Å“ijtihadÂâ€nya, sehingga sesuai dengan kemauannya, perasaan dan pikirannya; kalau sudah terdesak dan ditanya alasannya atas pendapatnya itu, sering mengucapkan kata-kata seperti tersebut. Dan dengan demikian, merkea merasa bahwa mereka berada dalam kebenaran.

Dengan tegas, A. Hassan dalam tulisannya di buku Soal Jawab mengatakan : Ââ€Å“Kepada saudara-saudara yang berpendirian seperti tersebut, saya harap suka menimbang lebih jauh sehingga tidak mempermudah soal ijtihad itu!Ââ€

5. Qiyas.Maksudnya satu perkara atau benda atau perbuatan yang tidak dinyatakan oleh agama hukumnya, tetapi ada persamaan sifat dan sebabnya dengan yang sudah diterangkan oleh agama, maka ia diberi hukum sama dengan yang sudah diterangkan oleh agama itu.

Ulama-ulama yang menganggap qiyas itu sebagai dasar agama, ada membuat beberapa ketentuan dan syarat untuk menjalankan Qiyas itu. Karena banyak mengiyas, maka banyaklah timbul hukum-hukum bagi beberapa banyak benda, perkara, perbuatan dan sebagainya yang tadinya sama sekali tidak ada dalam agama kita.

Orang yang sungguh-sungguh memperhatikan hukum-hukum agama dan kaidah-kaidah yang ada di dalamnya, kiranya tidak membutuhkan kepada aturan dan cara-cara qiyas yang membingungkan yang diada-adakan oleh ulama-ulama itu.

6. Ijmaa.Maksudnya: persetujuan ulama dalam sesuatu hal.Ijma ada dua: A. Ijma dari sahabat Nabi SAW dan B. Ijma dari ulama islam.

Ijma dari sahabat Nabi SAW, baik dalam soal ke-agamaan atau keduniaan, kita terima dengan kepercayaan bahwa persetujuan mereka itu ada sandarannya dari nabi SAW sekalipun sandaran itu tidak sampai kepada kita.

Ijma dari ulama pula dapat dibagi dua:a. Ijma mereka yang berdasarkan Quran atau hadits.b. Ijma yang berdasarkan atas pertimbangan, pendapat atau faham mereka.

Ijma ulama yang didasarkan atas Quran dan hadits itu, sebenarnya tidak perlu diperbincangkan, karena kalau memang benar dari Quran dan Hadits, sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya.

Tetapi kalau Ijma itu didasarkan kepada pertimbangan, pendapat atau faham semata-mata, maka itu semua belum tentu benar. Kalau demikian, maka kita tidak berkewajiban menerimanya, terutama pula kalau persoalan yang mereka Ijma-kan itu, masalah-masalah ibadat.

Karena itu, ijma dari ulama tidaklah menjadi dasar bagi agama kita.

Selanjutnya A. Hassan mengatakan bahwa kalau ada yang berkata, bahwa kita wajib menurut ijma ulama demi untuk menjaga atu mendapatkan persatuan ummat, maka orang lain berhak bertanya: Ââ€Å“Apakah kita wajib juga menurut ijma ulama walaupun ijma itu salah?Ââ€Ãƒ‚â€Å“Apakah kita harus berbuat salah, karena akan memelihara persatuan?Ââ€Ãƒ‚â€Å“Apakah kita harus membiarkan kesalahan itu terus berjalan untuk menjaga persatuan?Ââ€

Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari pendirian dan pikiran yang berbahaya ini. 

7. JamaÂ’, Tarjih, Tawaqquf.Jama maksudnya mengumpulkan dua atau beberapa keterangan agama yang tampanya bertentangan, lalu didudukkan masing-masing pada tempatnya, sehingga keterangan-keterangan itu semua dapat dipakai.

Tarjih maksudnya dari antara dua atau beberapa keterangan agama yang sudah tidak mampu kita menjamaÂ’nya mana dari antara keterangan-keterangan itu yang terkuat. Yang terkuat itulah yang kita pakai sebagai alasan.

Tawaqquf maksudnya: tidak dipakai dua atau beberapa keterangan agama yang tidak dapat dijama dan ditarjihkan. Diantara keterangan-keterangan agama kalau ada yang kita anggap berlawanan, pertama sekali kita lakukan cara menjamaÂ’. Kalau tarjih inipun tidak dapat, maka hendaklah kita tawaqquf, yaitu kita biarkan keterangan itu, yakni semuanya itu tidak dipakai.

Orang yang teliti memeriksa keterangan-keterangan agama, akan mengetahui bahwa Tarjih dan Tawaqquf itu, hanya terdapat pada beberapa hadits saja, tidak banyak.

Jalan JamaÂ’ itu terdapat pada ayat-ayat Quran dan juga hadits-hadits. Jalan tarjih itu hanya ada pada hadits saja; ayat-ayat Quran sama sekali tidak ada yang perlu ditarjih, karena ayat-ayat Quran semua sama kuatnya. Tawaqquf itu hanya ada pada hadits; tidak mungkin ada pada ayat-ayat Quran.

MenjamaÂ’ keterangan-keterangan agama itu, hendaklah kita lakukan dengan dasar-dasar keterangan lain. Janganlah Ââ€Å“fikiran†atau Ââ€Å“perasaan†kita jadikan dasar.

Keterangan harus kita kembalikan kepada keterangan pula. Dalam hal ini, kita tidak dapat terlelas dari pikiran, tetapi pikiran itu hanya merupakan bantuan.

(selanjutnya silahkan baca Ââ€Å“memahami hukum-hukum islam†bagian ke empat yang akan membicarakan tentang cara kita mengambil hukum.)

00sekian00

Disadur dari buku A. Hassan, Ââ€Å“Soal Jawab: tentang berbagai macam persoalan agamaÂâ€. (Penerbit :CV Diponegoro, bab. 1).(Penyadur: Ade anita) 
 ·  · Share · Delete

ilmu hadits


Catatan Ade Anita on Friday, 11 May 2012 at 21:44 ·
Bagian ke dua: ilmu hadits


Pada bagian kedua disini akan dikemukakan tentang hukum-hukum Islam yang berasal dari Ilmu Hadits. A. Hassan dalam bukunya Ââ€Å“Soal Jawab, tentang berbagai masalah agamaÂâ€, mengatakan bahwa Ilmu hadits itu, adalah satu ilmu untuk memeriksa dan menentukan benar atau tidaknya sesuatu ucapan atau perbuatan yang pernah dikeluarkan oleh Nabi Muhammad saw. Karena pokok dari hukum-hukum dalam islam bersumber pada dua hal, Al Quran dan Hadits Rasullah, Nabi Muhammad SAW.

Artinya, kalau dengan dasar-dasar yang tertentu sudah dapat diterima bahwa ucapan atau perbuatan itu dari Rasulullah SAW maka dikatakan hadits shahih. Kalau tidak menurut dasar-dasar itu, dikatakan hadits dlaif (=lemah).

Tentang hadits ada beberapa macam pembicaraan yang pokok-pokok, di antaranya:1. Hadits-hadits yang masuk bagian shahih ini, adalah bertingkat:

a. Hadits Mutawatir, yaitu satu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dari Nabi Saw, lalu disampaikan kepada orang banyak pula; demikian seterusnya sampai tercatat dalam kitab-kitab dimasa belakangan ini. Syanathnya: orang-orang banyak itu sejumlah yang mustahil pada jumlah jika mereka mengada-adakan sabda yang dikatakan dari Nabi SAW itu.

b. Hadits Shahih Li-dzatihi, yaitu hadits yang shah secara sanadnya, bukan karena dibantu oleh yang lain.

c. Hadits Shahih Li-ghairihi, yaitu hadits yang derajatnya di bawah sedikit dari hadits yang shahih, lalu dibantu dengan hadits yang seumpamanya atau dengan cara mempersandingkan dengan yang lain.d. Hadits Hasan Li-ghairihi, yaitu hadits yang lemahnya agak ringan, lalu dibantu atau dikuatkan dengan yang seumpamanya atau dengan jalan-jalan lain yang dapat diterima.

Lima macam derajat tersebut, secara ringkas dimasukkan dalam hadits yang shah, yang dapat dipakai untuk penetap hukum, kecuali hadits hasan li-ghairihi dipakai untuk hukum-hukum yang ringan, seperti: hukum sunnat, hukum makruh atau hukum mubah.

2. Hadits Lemah, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih, yakni hadits yang ada cacatnya, yang tercela atau yang tidak dapat diterima menurut ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ada dalam ilmu hadits.Di antaranya: sesuatu hadits itu dianggap dlaif, lemah atau tercela, apabila diantara orang-orang yang menceritakannya itu ada rawi yang bersifat:

a. Dituduh berbohong.b. Dituduh suka keliru.c. Dituduh suka salahd. Pembohonge. Suka melanggar hukum agamaf. Tidak kuat hafalang. Banyak salah dalam meriwayatkanh. Bukan orang islami. Tak dapat dipercayaj. Beluim baligh waktu menyampaikan haditsk. Berubah akall. Tidak dikenal dirinyam. Tidak dikenal sifatnyan. Suka lupao. Suka menyamar dalam meriwayatkanp. Suka ragu-raguq. Dan lain-lain sifat yang menyebabkan si rawi tercela.

Melihat kepada sifat-sifat tersebut, maka hadits dlaif itu mempunyai beberapa macam nama (untuk lebih lengkapnya silahkan baca lebih lanjut di kitab hadits yang banyak ditulis para ulama).

3. Derajat hadits lemah. Hadits lemah juga berderajat sebagaimana hadits shahih, menurut kuat dan tidak tercelanya celaan terhadap sifat si rawi.

Ada yang lemahnya sangat kuat. Hadits ini sama sekali tidak dapat dipakai.Ada yang lemahnya agak kurang sedikit dari yang ‘sangat’ di atas. Inipun tidak dapat dipakai sebagai alasan atau dalil.Ada yang lemahnya ringan, yaitu diantara orang-orang yang menceritakan, ada orang kepercayaan, tetapihafalannya ‘tidak kuat’. Tentang hadits yang lemahnya ringan ini, ada sebuah kesepakatan tersendiri:

Ââ€Å“apabiila hadits ini dibantu dengan satu sanad lain yang kurang lebih sama dengan dia, maka hadits itu dapat dipakai, karena sudah meningkat ke derajat sedikit-banyak memaksa kita dalam bagian hadits-hadits Li-hairihi: biasanya dipakai untuk hukum-hukum yang ringan pula, seperti hukum sunnah, makruh atau mubah. Hadits yang menguatkan satu hadits yang lian, dinamakan Syahid.Ââ€

4. Hadits Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal. Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal maksudnya: keutamaan-keutamaan amal. Hadits Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal ialah hadits-hadits yang menerangkan keutamaan sesuatu amal yang isinya bersifat Ââ€Å“menyenangkan†atau Ââ€Å“mengancamÂâ€.Hadits-hadits Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal ini, kalau shah, sudah tidak ragu-ragu lagi untuk diterima dan dipakai.Yang menjadi soal, apabila hadits itu lemah.

Ada beberapa ulama berpendapat, Ââ€Å“boleh memakai hadits-hadits yang lemah tentang Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal. Mereka tidak membacakan sesuatu alasan yang dapat diterima, Hanya mereka bawakan pendapat-pendapat ulama lain yang mereka setujui.Ââ€

Di antara pendapat-pendapat itu, ada yang berkata, bahwa hadits-hadits dhhaif itu syubhat bagi hukum sunnat dan untuk ih-thiat, hendaknya hadits itu diamalkan.

Kita harus mengetahui dan mengerti, bahwa yang dikatakan hadits lemah itu, ialah hadits yang tidak dapat diterima atau yang meragu-ragukan untuk diterima, karena tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan, dan yang seumpamanya.

Kalau hadits yang sudah nyata tidak dapat diterima, akan dipakai, adalah suatu keganjilan, sekalipun hadits itu berhubungan dengan Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal,karena kalau kita pakai atau berpegang kepadanya, berarati kita berpegang kepada sesuatu yang belum tentu benar atau sesuatu yang meragu-ragukan.

Patutlah kita berpegang kepada sesuatu yang belum tentu benar atau meragu-ragukan itu? Bukankah Nabi SAW sendiri ada bersabda:Ââ€Å“Tinggalkanlah sesuatu yang meragu-ragukan (berpindahlah) ke pada sesuatu yang tidak meragu-ragukan.†(HR Ahmad dan lainnya).

Lagipula, biasanya dalam hadits-hadits Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal itu, ada soal-soal ganjaran, siksaan dan lain sebagainya yang gaib-gaib. Kalau kita pakai hadits2 lemah itu, berarti kita harus percaya kepada isi hadits-hadits itu,padahal belum tentu benar atua meragu-ragukan. Berarti pula bahwa kepercayaan ktia itu Ââ€Å“belum tentu benar†atau kepercayaan meragu-ragukanÂâ€.

Apakah kita mau mempunyai kepercayaan yang demikian itu? Jawabnya tentu Ââ€Å“tidakÂâ€. Kalau sudah pasti tidak, tentu tidak ada jalan untuk diterima hadits lemah yang berdiri sendiri, sekalipun tentang Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal.

Berikut ini, A. Hassan dalam bukunya mengatakan tunjukkan satu contoh hadits Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal yang biasa dipakai oleh ahli taqlid yang tidakmau menimbang lebih jauh, yaitu yang:

Ââ€Å“manusia yang paling besar dosanya, ialah orang yang wuquf (berdiri) di bukit Arafah, lalu ia menyangka bahwa Allah tidak ampunkan dia.Ââ€Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Kha-thieb dan Ad-Dailamy dari jalan Umar dengan sanad yang lemah (Al-Iraqy, lihat kitab Ih-yaÂ’Ulumiddien I). Hadits ini menerangkan keutamaan orang yang wuquf di Arafah diwakatu mengerjakan ibadah haji. Dalam hadits ini ada kata-kata:Â… Ââ€Å“lalu ia menyangka bahwa Allah tidak ampunkan dia.Ââ€Kalau hadits lemah ini mau kita pakai degnan alasan Fa-Dla-Ilul-AÂ’maal, berarti kita mesti percaya bahwa Allah mengampunkan orang yang wuquf di Arafah.Kalau dikatakan bawa hadits itu hanya mau menunjukkan keutamaan wuquf di Arafah saja, perlu apa kita memakai hadits itu, sedang wuquf itu sudah termasuk dalam salah satu dari syarat-syarat atau rukun haji, yang sudah tentu dia lebih utama karena diperintah oleh agama dengan keterangan-keterangan yang shah???

Hadits lemah itu, belum tentu datangnya dari Nabi SAW. Kalau hadits lemah kita pakai dan percaya akan isinya, berarti kita percaya kepada sesuatu yang belum tentu benar.

Soal Allah mengampunkan atau tidak itu, adalah soal yang luar dari pengetahuan kita karena gaib. Untuk mempercayai sesuatu yang gaib, harus ada keterangan yang benar-benar dapat dipercaya, bukan dari jalan yang lemah atau meragu-ragukan seperti hadits tersebut di atas.

Satu contoh tersebut cukup sudah untuk menunjukkan bahwa hadits lemah yang berdiri sendiri itu,tidak boleh dipakai dalam semua hal, terutama dalam hal-hal yang berhubung dengan ibadat dan kepercayaan.

5. Adakah hadits nabi SAW yang bertentangan dengan ayat Quran atau sebaliknya? Kita sudah percaya dengan sepenuhnya, bahwa Quran itu dari Allah.Allah mempunyai kesempurnaan dalam semua sifat-Nya. Apa yang ditentukan, difirmankan dalam Quran, walau bagaimanapun juga, tidak akan bertentangan, baik dengan keadaan, atau dengan firman-Nya atau dengan yang lainnya.

Hadits-hadits yang sudah shah, ialah ucapan atau perbuatan Nabi SAW. Kita harus percaya bahwa ucapan dan perbuatan nabi SAW mendapat pinpinan dari Allah dengan perantaraan wahyu-Nya. Maka tentu sabda atau perbuatan Nabi saw tidak mungkin bertentangan, baik dengan sabda atau perbuatan beliau sendiri, atau dengan firman Allah.

Ini merupakan suatu kepercayaan yang harus ada pada diri tiap-tiap muslim. Karena itu, tidaklah akan terdapat hadits Nabi SAW yang sudah shah, yang bertentangan dengan salah satu ayat Quran atau sebaliknya.

Dalam kenyataan terdapat satu-dua hadits yang sudah shah nampaknya bertentangan dengan Quran, padahal bukan sebenarnya bertentangan, hanya karena kita tidak mampu mendudukkannya, maka kita Ââ€Å“katakan†dia bertentangan.

Terhadap keadaan seperti yang tersebut itu,perlu kita pelajari jalan-jalan dan cara-cara mendudukkan keterangan-keterangan yang nampaknya bertentangan itu,sebagaimana terbentang dalam Ââ€Å“Ilmu Ushul Fiqih†(lihat bagian ketiga Ââ€Å“memahami hukum-hukum dalam IslamÂâ€). 

00sekian00

Disadur dari buku A. Hassan dkk, Ââ€Å“Soal Jawab: tentang berbagai masalah agamaÂâ€, penerbit: CV Diponegoro, bandung.Penyadur: Ade Anita
 ·  · Share · Delete


MEMAHAMI HUKUM-HUKUM SYARIAT DALAM ISLAM (bagian pertama)

by Catatan Ade Anita on Friday, 11 May 2012 at 21:43 ·
Al Islam berasal dari kata Ââ€Å“salama†yang artinya damai atau selamat. Menurut istilah, Islam berarti ketundukan dan kepatuhan kepada peraturan-peraturan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah satu-satunya agama yang mengajak manusia untuk hidup dalam keteraturan mulai dari bangun tidur hingga dia tidur lagi; menjaga manusia dan membimbing mereka dalam menjalankan kehidupannya di dunia hingga mereka tidak hanya berpikir bahwa hidup ini singkat dan pendek di alam dunia saja tapi juga bisa berkesinambungan di akhirat kelak, dengan berbagai petunjuk yang terdiri dari perintah, larangan, anjuran dan sebagainya. 

Ââ€Å“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada dunia.†(Al-Furqan [25]:77). 

Untuk memahami segala macam perangkat hukum yang diterapkan dalam Islam yang sangat beragam, berikut ini saya sadurkan sebuah tulisan yang sangat bagus bagi kita semua karena penggunaan kalimatnya yang begitu mudah dicerna oleh berbagai kalangan, yang saya ambil dari buku Ââ€Å“Soal Jawab, tentang berbagai masalah agama†yang ditulis oleh Abdul Qadir Hassan, yang diterbitkan oleh Penerbit CV Diponegoro.

Ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya yang bersifat perintah, larangan, anjuran dan sebagainya, oleh ulama-ulama di-istilahkan dengan hukum-hukum syaraÂ’ atau hukum-hukum syariat atau hukum-hukum agama. Dengan ketentuan-ketentuan yang mereka adakan itu, ulama-ulama mengeluarkan beberapa macam hukum. Dalam bukunya Ââ€Å“Soal Jawab†A. Hassan (seorang ulama Indonesia, semoga Allah merahmatinya) membaginya dalam lima (5) macam hukum yang sudah biasa kita dengar, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh, mubah. Berikut kelimanya:

Wajib:Tentang ‘wajib’ ini, ada banyak tarif yang dikemukakan oleh ulama-ulama. Di antaranya, yang agak tepat, definisi dari wajib ialah yang berbunyi:

Ââ€Å“Wajib itu satu ketentuan agama yang harus dikerjakan, kalau tidak, berdosa.Ââ€

Umpamanya: Shalat isya, hukumnya wajib, yakni satu ketentuan yang harus dikerjakan. Kalau orang islam tidak mau shalat yang diperintah itu, berdosalah ia.Alasan yang dipakai untuk membuat pernyataan tentang ‘wajibÂ’ tersebut adalah firman Allah taÂ’ala, di antaranya:Ââ€Å“Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang melanggar perintah Allah daripada ditimpa fitnah, atau ditimpa adzab yang pedih.†(An-Nur:63)

Sunnah:Definisi untuk ‘sunnah’ ialah:

Ââ€Å“sunnah itu satu perbuatan yang kalau dikerjakan akan diberi ganjaran tetapi kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.Ââ€

Contohnya: Nabi saw bersabda: Ââ€Å“Puasalah sehari dan berbukalah sehari.†(Bukhari-Muslim).Dalam hadits ini, ada perintah ‘puasalahÂ’. Kalau perintah ini dianggap ‘wajibÂ’, berarti menyalahi sabda nabi saw yang dihadapkan kepada seorang Arab gunung, bahwa shalat yang wajib itu adalah shalat yang 5 kali sehari-semalam, shubuh, zhuhur, ashar, maghrib dan isya. Artinya jika dipersandingkan kalimat perintah tersebut adakah sama artinya sama-sama wajib. Tentu saja tidak demikian adanya. Karena kembali pada Al Quran, yang diwajibkan itu hanyalah puasa ramadhan. 

Kalau bukan wajib, maka sesuatu perintah itu menuju kepada dua kemungkinan:1. Kemungkinan ‘sunnah’;2. Kemungkinan ‘mubah’.

Puasa adalah soal agama dan ibadat. Perintah yang bukan wajib, kalau berhubung dengan ibadat, dihukumkan ‘sunnahÂ’. Maka kesimpulannya, ‘puasa sehari berbuka sehariÂ’ itu, hukumnya ‘sunnahÂ’, yaitu kalau dikerjakan mendapat ganjaran tetapi tidak berdosa jika tidak dilakukan.

Alasan untuk ketetapan seperti contoh di atas itu ada banyak. Di antaranya firman Allah SWT:

Ââ€Å“Dan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (disediakan) kebaikan dan tambahan.†(Yunus:26)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan sesuatu kebaikan, selain mendapat balasan, ada pula tambahan. Tambahan inilah yang biasa kita katakan ‘ganjaran’.

Haram:Definisi bagi hukum ‘haramÂ’itu, diantaranya demikian:Ââ€Å“Haram itu satu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.Ââ€

Umpamanya: Nabi SAW bersabda: Ââ€Å“Janganlah kamu mendatangi tukang-tukang tenung.Ââ€(HR Thabarany)

Mendatangi tukang-tukang tenung dengan tujuan menanyakan sesuatu hal ghaib, lalu dipercayainya itu, tidak boleh. Kalau orang berbuat yang demikian itu, berdosalah ia. Alasan untuk definisi ‘haram’ tersebut, diantaranya, sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan definisi ‘wajib’, yaitu ayat Quran, Surat An-Nur: 63.

Makruh:Arti ‘makruh’: dibenci. Diantara sekian definisi yang ada yang paling cocok adalah yang berbunyi:

Ââ€Å“Makruh itu satu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan daripada dilakukan.Ââ€

Sebagai contoh: Ââ€Å“makan binatang buas.Ââ€. Dalam hadits-hadits ada larangannya. Kita hukumkan dia Ââ€Å“makruhÂâ€.Jalannya sehingga keluar hukum ini adalah: dalam Al Quran, surat Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau ‘laranganÂ’ makan binatang buas itu kita hukumkan haran juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu, ‘tidak haramÂ’. 

Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hukum: 1. Kemungkinan mubah.2. Kemungkinan makruh.

Kemungkinan ‘mubahÂ’ mustahil karena Nabi saw melarang, bukan memerintah. Jadi, ‘laranganÂ’ Nabi saw hadits-hadits tentang binatang buas itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain melainkan ‘makruhÂ’. Kesimpulannya, ‘Binatang buas itu ‘makruh’Ââ€. 

Mubah:‘Mubah’ artinya: dibolehkan. Sering juga disebut ‘halal’. Definisinya begini:

Ââ€Å“Mubah itu ialah satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yagn mengerjakannya atau tidak mengerjakannya.Ââ€

Umpamanya: Dalam Quran ada perintah Ââ€Å“makanÂâ€. Perintah ini dianggap ‘mubahÂ’.Alasannya begini: kalau kita anggap perintah ‘makanÂ’ itu wajib, maka anggapan ini tidak kena, karena ‘makanÂ’ ini suatu perbuatan yang mau tidak mau, diperintah atau tidak, mesti dilakukan oleh setiap manusia.

Sesuatu yang sudah mesti dan tak dapat dielakkan lagi, tidak perlu diwajibkan. Berarti ‘perintah†Allah itu bukan wajib. Sesuatu yang bukan wajib, menghadapi dua kemungkinan hukum: Sunnah dan mubah.

Oleh karena ‘makanÂ’ itu soal keduniaan, dan satu kemestian yang tidak boleh terlepas dari manusia, maka bukanlah ia sesuatu ‘amal yang dijanjikan ganjaran padanyaÂâ€. Kalau bukan ‘amalÂ’, maka hukumnya adalah ‘mubahÂ’.

Kesimpulan dan penjelasan:

1. Definisi-definisi yang disebutkan di atas adalah definisi sederhana untuk memudahkan pengertian.2. Perintah-perintah agama mempunyai hukum : wajib atau sunnah atau mubah.3. Hukum wajib dan sunnat ada pada amal-amal ‘ibadat dan keduniaan’ tetapi hukum mubah hanya ada pada keduniaan saja.4. Larangan-larangan agama mempunyai hukum-hukum: haram dan makruh. Hukum-hukum ini ada dalam ibadah dan keduniaan.

00sekian00

Disadur dari buku A. Hassan, Ââ€Å“Soal Jawab, tentang berbagai masalah agamaÂâ€, penerbit: CV. Diponegoro bandung.