Putri bungsuku datang padaku dengan wajah berseri siang itu. Matahari bersinar cerah, dan langit berawan sebagian saja. Aku sedang duduk di bawah tenda yang dibentang di tengah lapangan sekolah. Hari ini memang sedang ada acara pelepasan dan wisuda kelas VI.
Hari ini spesial. Karena putriku akan mempersembahkan drama Jaka Tarub di atas panggung. Sejak kemarin, dia sudah berlatih bersama teman-temannya. Dan semalam, kami sibuk mencari selendang yang matching dengan pakaian muslim yang dia kenakan.
Begitu bersemangatnya putriku, hingga dia (sepertinya) melupakan rasa laparnya. Itu sebabnya ketika tadi aku membawakannya cemilan, dia langsung meraih seluruh cemilan yang aku bawakan dan melahapnya dengan cepat. Lalu sebagai penutup dia memilih crackers AHA Chese.
AHA Chese itu, isinya ada 6 stick keju. Dia sudah menghabiskan 5. Dan karena dia melihat aku sendirian menunggu penampilannya di atas panggung, putriku ini mendatangiku.
"Ibu... ibu mau ini? Ini... aku sisakan untuk ibu. Ibu suka keju kan?"
Ah.... anakku ini memang paling pandai mengambil hatiku. Membuatnya termehek-mehek oleh rasa haru yang menyerbu. Aku tersenyum.
Sekolah memang sudah masuk libur menyambut Ramadhan. Jadi, hanya anak kelas enam, para orang tua mereka, dan anak-anak kelas lain yang mengisi acara pelepasan dan wisuda kelas enam saja yang datang ke sekolah. Itu sebabnya aku duduk sendirian di tengah bangku-bangku.
Sebenarnya, aku bisa saja bergabung dengan ibu-ibu para orang tua murid kelas enam. Tapi, aku lihat sejak awal mereka sedang terbawa suasana sentimentil menjelang perpisahan. Aku tidak mau jadi kambing congek di tengah mereka. Jadi, setelah bertegur sapa beberapa saat, diam-diam aku memisahkan diri tadi. Putriku baru ingin naik kelas lima.
"Aku taro di sini ya bu. Aku ke kelas lagi, latihan terakhir." Aku mengangguk dan putriku segera melesat pergi.
Sementara pertunjukan di atas panggung cukup menarik. Ada anak yang suaranya bagus sekali. Juga ada pertunjukkan tari khas Banyuwangi yang enerjik. Aku belum menyentuh makanan yang disisakan oleh anakku tersebut ketika anakku itu datang lagi padaku.
"Loh? Kok nggak dimakan? Nggak suka? Tumben ibu nggak suka. Ya sudah, daripada mubazir... aku makan saja deh."
HAP.
Putriku yang pemurah hati dan penuh perhatian beberapa menit yang lalu itu sudah melahap cemilan yang tadi dia berikan padaku.
Bahkan dia tidak memberi kesempatan padaku untuk bersuara... huaaaaaaaaaaaaaaa.
Oke.
Aku nggak jadi terharu deh.
Keharuannya dibatalkan!
Tampilkan postingan dengan label Orang2 Tercinta. Tampilkan semua postingan
Apa Itu Romantis
Sabtu, 13 Desember 2014
Aku pikir, aku sudah amat ter-drama korea deh.
Mungkin akibat terlalu sering nonton drama korea, jadi ada beberapa standard untuk "apa yang disebut romantis" itu, aku karang berdasarkan tontonan drama korea yang pernah (ralat: lebih tepatnya : SERING) aku tonton.
Tapi... nggak sih. Nggak selalu ter-drama korea juga sih. Karna aku kan suka nonton drama korea baru 3 tahun belakangan ini saja. Yaitu sejak Boys Before Flower.... hmm.. okeh, aku ralat.. sudah lebih dari 3 tahun ternyata... hahahaha.
Nah... waktu kapan tuh, pernah ada yang bertanya padaku apa rahasiaku hingga bisa tetap mesra dan "selalu merasa seperti pengantin baru" bersama suami. Nah... aku mau bagi-bagi rahasia nih. Rahasianya, yaitu dengan menganggap berbagai hal sebagai hal yang Romantis dan so sweet.
Jadi... apa itu romantis? Jika nggak tahu apa itu romantis gimana mau menganggap segala sesuatu sebagai hal yang romantis coba?
Menurutku nih, Apa itu Romantis, adalah:
1. Romantis itu... Jika cowoknya menggandeng tangan ceweknya. Gara-gara ini, jika sedang berjalan dengan suamiku, aku selalu berusaha menyelipkan tanganku ke dalam "rengkuhan" tangan suamiku.
Lalu mulai berharap... "ayo mas, genggam tanganku erat-erat."
Dan ketika suamiku spontan menggenggam jemariku erat-erat maka romantisnya udah: SAH!
2. Romantis itu... ketika si cowok melindungi ceweknya lebih utama dari apapun.
Ahhh.... aku selalu kelepek-kelepek jika suamiku meraih pinggangku agar aku pindah ke sisi jalan yang lebih aman jika kami sedang berjalan berdua. Karena buatku itu: romantis pake banget.
3. Romantis itu... ketika si cowok menggoda ceweknya yang lagi marah atau ngambek dengan banyolan yang super duper garing atau bahkan tidak lucu sama sekali. Yang bikin kesel dan bikin ngunyel-ngunyel.... hahahahaha.
4. Romantis itu... ketika bawaan si cewek berat maka si cowok langsung berusaha mengambil alih bawaan tersebut. Lalu membiarkan ceweknya lenggang kangkung dan bisa berceloteh ceria menceritakan hal-hal mulai dari yang tidak penting sampai dengan tidak penting sama sekali. Meski si cowok membawa banyak barang, eh, si cowok masih sempat tertawa mentertawakan cerita si cewek dan bikin si cewek kembali menceritakan hal-hal tidak penting lainnya.
5. Romantis itu... ngirim sms ketika si cowok sedang berada jauh dari jangkauan ceweknya ngasih tahu buat keluar sebentar dan pas kita buka pintu... ternyata cowoknya udah ada di depan pintu rumah.
6. Romantis itu .... bikin janjian buat ketemuan berdua aja tanpa diganggu anak-anak. Ngumpet-ngumpet bertemu seperti layaknya orang yang lagi pacaran diam-diam alias back street. Uhuyyy.
7. Romantis itu.... ketika suatu malam yang gelap, dan kita terbangun lalu kita menangkap basah ternyata pasangan kita sedang menatap mesra wajah kita (*hehehe, tadinya aku mau nulis: tapi kalau di film horor, ada lanjutannya, sambil menatap mesra tangannya diam-diam menyembunyikan belati...hahahha... ihh... naudzubillah min dzaliik.... itu mah horor banget... eh... kayaknya omongan gak pentingku ini malah ngerusak suasana romantis yang aku sedang bangun deh... sorryyy).
8. Romantis itu.... ketika tiba-tiba ada dua tangan yang menggelung di pinggang kita ketika kita sedang mengerjakan pekerjaan rumah (catat: kecuali jika pekerjaan rumahnya sedang menyembelih ayam ya.. ini mah bahaya).
9. Romantis itu.... ketika diam-diam kedua tangan kita bertemu di belakang punggung anak-anak yang memisahkan keberadaan kita dan pasangan kita. Mulut boleh ikut ramai bercerita dan membaur dengan keramaian celoteh para bocah tapi dua jemari tetap saling bertaut satu sama lain dan saling mengirim sinyal "I Love YOu".
10. Romantis itu.... ini yang terakhir (sebenarnya masih banyak, ada 100 tepatnya, tapi... rahasia ah.. masa aku harus cerita semua rahasia dapur perkawinanku yang Januari nanti genap 21 tahun insya Allah). Romantis itu, yaitu ketika bergandengan tangan maka yang jemari yang saling bertautan itu adalah jemari kelingking.
Kisah nyata di balik penulisan postingan ini:
Masku: "Duh, apa sih De. Kenapa kita harus gandengan kayak gini?"
Aku: "Ihh.. ini romantis banget lagi mas."
Masku: "Tapi sakit kelingkingku."
Aku: "Ugh... protes terus nih... udah diem aja dulu, dinikmati aja dulu."
Masku: "Gimana bisa dinikmati sih De. Ini gandengan paling aneh yang pernah aku rasain. Kelingking jadi tegang... pegel tau."
Aku: "Ahh.. mas nih. Kita coba dulu sampai pintu pagar gandengan gini. Okeh?" (berusaha membujuk)
Lalu kami berjalan menelusuri jalanan yang tidak rata. Terseok-seok berusaha mempertahankan gandengan model kelingking ini. Belum sampai pintu pagar, kelingkingku berasa mau keram....
Aku: "Ya sudah deh mas... kita gandengan biasa aja."
Masku: "Alhamdulillah."
Aku: "Hmm, tapi kenapa di drama korea gandengan kelingking itu selalu terlihat romantis ya?"
Masku: "Itu kan cuma drama De. Aslinya nggak ada enaknya kan ternyata."
Aku: "Tapi kan cerita drama atau film sering diangkat dari kisah nyata... eh.. mas.. coba yuk.. kita gandengan jempol ama jempol." (lalu praktek... baru beberapa langkah, kok berasa tolol?)
Aku: "Mas.. ganti deh.. telunjuk sama telunjuk aja, jangan jempol sama jempol." (astagah! Ini sama gak enaknya..Suamiku sudah mentapku bete..)
Aku: "Mas... terakhir, jari tengah sama jari tengah...."
Masku: "Sudahlah De."
Aku: "Terakhir... coba ya... sekali aja. Biar nggak penasaran. Please..." (akhirnya suamiku memberikan jari tengahnya dan aku meraih dengan jari tengahku... dan... Eyuu... malah jadi aneh.)
Masku: "Sudah ah... gandengan biasa aja." Dia lalu meraih kelima jariku dan merengkuhnya erat-erat.
Masku: "Nah... yang normal lebih enak, kenapa harus coba-coba yang aneh-aneh."
Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan berdua....
Sampai di rumah, aku cerita pada anak-anak hasil penemuanku atas percobaan gandengan tangan. Anak-anakku langsung berebut meraih tangan suamiku dan praktek hal yang sama.
hahahahahaha...
Tetaaaapppp.... gandengan tangan konvensional lebih unggul ternyata.
Tuh... romantis gak?
Mungkin akibat terlalu sering nonton drama korea, jadi ada beberapa standard untuk "apa yang disebut romantis" itu, aku karang berdasarkan tontonan drama korea yang pernah (ralat: lebih tepatnya : SERING) aku tonton.
Tapi... nggak sih. Nggak selalu ter-drama korea juga sih. Karna aku kan suka nonton drama korea baru 3 tahun belakangan ini saja. Yaitu sejak Boys Before Flower.... hmm.. okeh, aku ralat.. sudah lebih dari 3 tahun ternyata... hahahaha.
Nah... waktu kapan tuh, pernah ada yang bertanya padaku apa rahasiaku hingga bisa tetap mesra dan "selalu merasa seperti pengantin baru" bersama suami. Nah... aku mau bagi-bagi rahasia nih. Rahasianya, yaitu dengan menganggap berbagai hal sebagai hal yang Romantis dan so sweet.
Jadi... apa itu romantis? Jika nggak tahu apa itu romantis gimana mau menganggap segala sesuatu sebagai hal yang romantis coba?
Menurutku nih, Apa itu Romantis, adalah:
1. Romantis itu... Jika cowoknya menggandeng tangan ceweknya. Gara-gara ini, jika sedang berjalan dengan suamiku, aku selalu berusaha menyelipkan tanganku ke dalam "rengkuhan" tangan suamiku.
Lalu mulai berharap... "ayo mas, genggam tanganku erat-erat."
Dan ketika suamiku spontan menggenggam jemariku erat-erat maka romantisnya udah: SAH!
2. Romantis itu... ketika si cowok melindungi ceweknya lebih utama dari apapun.
Ahhh.... aku selalu kelepek-kelepek jika suamiku meraih pinggangku agar aku pindah ke sisi jalan yang lebih aman jika kami sedang berjalan berdua. Karena buatku itu: romantis pake banget.
3. Romantis itu... ketika si cowok menggoda ceweknya yang lagi marah atau ngambek dengan banyolan yang super duper garing atau bahkan tidak lucu sama sekali. Yang bikin kesel dan bikin ngunyel-ngunyel.... hahahahaha.
4. Romantis itu... ketika bawaan si cewek berat maka si cowok langsung berusaha mengambil alih bawaan tersebut. Lalu membiarkan ceweknya lenggang kangkung dan bisa berceloteh ceria menceritakan hal-hal mulai dari yang tidak penting sampai dengan tidak penting sama sekali. Meski si cowok membawa banyak barang, eh, si cowok masih sempat tertawa mentertawakan cerita si cewek dan bikin si cewek kembali menceritakan hal-hal tidak penting lainnya.
5. Romantis itu... ngirim sms ketika si cowok sedang berada jauh dari jangkauan ceweknya ngasih tahu buat keluar sebentar dan pas kita buka pintu... ternyata cowoknya udah ada di depan pintu rumah.
6. Romantis itu .... bikin janjian buat ketemuan berdua aja tanpa diganggu anak-anak. Ngumpet-ngumpet bertemu seperti layaknya orang yang lagi pacaran diam-diam alias back street. Uhuyyy.
7. Romantis itu.... ketika suatu malam yang gelap, dan kita terbangun lalu kita menangkap basah ternyata pasangan kita sedang menatap mesra wajah kita (*hehehe, tadinya aku mau nulis: tapi kalau di film horor, ada lanjutannya, sambil menatap mesra tangannya diam-diam menyembunyikan belati...hahahha... ihh... naudzubillah min dzaliik.... itu mah horor banget... eh... kayaknya omongan gak pentingku ini malah ngerusak suasana romantis yang aku sedang bangun deh... sorryyy).
8. Romantis itu.... ketika tiba-tiba ada dua tangan yang menggelung di pinggang kita ketika kita sedang mengerjakan pekerjaan rumah (catat: kecuali jika pekerjaan rumahnya sedang menyembelih ayam ya.. ini mah bahaya).
9. Romantis itu.... ketika diam-diam kedua tangan kita bertemu di belakang punggung anak-anak yang memisahkan keberadaan kita dan pasangan kita. Mulut boleh ikut ramai bercerita dan membaur dengan keramaian celoteh para bocah tapi dua jemari tetap saling bertaut satu sama lain dan saling mengirim sinyal "I Love YOu".
10. Romantis itu.... ini yang terakhir (sebenarnya masih banyak, ada 100 tepatnya, tapi... rahasia ah.. masa aku harus cerita semua rahasia dapur perkawinanku yang Januari nanti genap 21 tahun insya Allah). Romantis itu, yaitu ketika bergandengan tangan maka yang jemari yang saling bertautan itu adalah jemari kelingking.
![]() |
| ini gandengan spesial a la drama korea yang menurutku romantis banget |
Kisah nyata di balik penulisan postingan ini:
Masku: "Duh, apa sih De. Kenapa kita harus gandengan kayak gini?"
Aku: "Ihh.. ini romantis banget lagi mas."
Masku: "Tapi sakit kelingkingku."
Aku: "Ugh... protes terus nih... udah diem aja dulu, dinikmati aja dulu."
Masku: "Gimana bisa dinikmati sih De. Ini gandengan paling aneh yang pernah aku rasain. Kelingking jadi tegang... pegel tau."
Aku: "Ahh.. mas nih. Kita coba dulu sampai pintu pagar gandengan gini. Okeh?" (berusaha membujuk)
Lalu kami berjalan menelusuri jalanan yang tidak rata. Terseok-seok berusaha mempertahankan gandengan model kelingking ini. Belum sampai pintu pagar, kelingkingku berasa mau keram....
Aku: "Ya sudah deh mas... kita gandengan biasa aja."
Masku: "Alhamdulillah."
Aku: "Hmm, tapi kenapa di drama korea gandengan kelingking itu selalu terlihat romantis ya?"
Masku: "Itu kan cuma drama De. Aslinya nggak ada enaknya kan ternyata."
Aku: "Tapi kan cerita drama atau film sering diangkat dari kisah nyata... eh.. mas.. coba yuk.. kita gandengan jempol ama jempol." (lalu praktek... baru beberapa langkah, kok berasa tolol?)
Aku: "Mas.. ganti deh.. telunjuk sama telunjuk aja, jangan jempol sama jempol." (astagah! Ini sama gak enaknya..Suamiku sudah mentapku bete..)
Aku: "Mas... terakhir, jari tengah sama jari tengah...."
Masku: "Sudahlah De."
Aku: "Terakhir... coba ya... sekali aja. Biar nggak penasaran. Please..." (akhirnya suamiku memberikan jari tengahnya dan aku meraih dengan jari tengahku... dan... Eyuu... malah jadi aneh.)
Masku: "Sudah ah... gandengan biasa aja." Dia lalu meraih kelima jariku dan merengkuhnya erat-erat.
Masku: "Nah... yang normal lebih enak, kenapa harus coba-coba yang aneh-aneh."
Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan berdua....
Sampai di rumah, aku cerita pada anak-anak hasil penemuanku atas percobaan gandengan tangan. Anak-anakku langsung berebut meraih tangan suamiku dan praktek hal yang sama.
hahahahahaha...
Tetaaaapppp.... gandengan tangan konvensional lebih unggul ternyata.
Tuh... romantis gak?
Balitaku Balita Bahagia Insya Allah
Rabu, 03 Desember 2014
Alhamdulillah, 10 bulan setelah terpisah dengan suamiku (terhitung ketika aku hamil 4 bulan; yaitu ketika suamiku berangkat ke Sydney untuk melanjutkan studynya), aku akhirnya berangkat juga ke Sydney untuk menyusul suamiku. Sebagai mahasiswa beasiswa, memang ada peraturan bahwa jika keberadaan mahasiswa yang bersangkutan belum genap satu tahun, maka jika istrinya melakukan persalinan maka biaya tidak ditanggung oleh pemberi beasiswa alias suruh bayar sendiri. hohoho, mahal judulnya. Jadi, komprominya adalah (karena aku hamil tidak lama setelah kami menikah padahal suamiku berangkat ke Sydney di bulan ke 5 setelah menikah) maka aku melahirkan dulu, nanti baru menyusul.
Begitu kami bertemu di bulan Maret 1995 itu.... kangennya sudah menumpuk tinggi sekali.
Terlebih, sejak putraku lahir, suamiku belum pernah melihatnya kecuali hanya melihat di lembar photo-photo cetak (belum musim photo digital soalnya) yang aku kirimkan lewat pos udara saja (dulu belum ada live streaming atau internet yang memungkinkan untuk video call dan chat). Suamiku benar-benar surprised melihat putranya yang ganteng dan sehat.
Apa saja kebutuhan seorang Balita agar tetap merasa aman dan nyaman sehingga membuat dia insya Allah bahagia?
1. Usahakan untuk mengurangi kata "jangan" padanya. Biarkan dia bereksplorasi sepuasnya. Tapi, tetap diarahkan ke arah yang benar. Dengan begitu dia menjadi lebih percaya diri.
2. Jangan sodorkan berbagai macam harapan dan tuntutan padanya. Seperti: "Kamu tuh harusnya begini dong... gimana sih?"... nah.... ini nih yang harus dilarang. Nanti balita kita jadi merasa tertekan dan tidak percaya diri. Atau bahkan jadi menutup diri untuk berusaha kembali.
3. Jangan pernah menakuti balita sesuatu yang membuat mereka membayangkannya menjadi sosok yang menyeramkan. Seperrti: "Ih, jangan kesitu.. ada hantu loh."... atau.... "sstt, jangan berisik. Nanti ditangkep polisi loh."... atau... "ih, tuh ada Pak RT... ada Pak RT... udah, diem, jangan nangis terus."
4. Katakan terus terang kondisi keuangan kita pada mereka dengan bahasa mereka jika kita tidak bisa memenuhi permintaan mereka.
nah... loh. Gimana tuh? hehehe... entah ya, tapi aku tidak pernah berbohong pada anak-anakku. Jika mereka ingin mainan dan aku tidak punya uang maka aku katakan pada mereka bahwa aku tidak punya uang. Tapi jika aku punya uang ya aku tawarkan mereka barangkali mereka masih menginginkan barang yang dahulu mereka tunjuk (penekanannya pada penawaran jika mereka masih butuh atau tidak. Jadi, tidak langsung membelikannya ketika ada uang, tapi mengajak mereka berpikir apakah mereka memang butuh barang tersebut atau tidak? Jika tetap ingin ya sudah beli; tapi kalau sudah gak mau ya gak usah dipaksa).
5. Ajak mereka untuk bergaul dengan banyak orang; perkenalkan mereka dengan banyak pengalaman lewat berbagai aktifitas.
Yang terakhir ini, usahakan jangan mengajak mereka dengan keterpaksaan. Dan usahakan kita menjadi orang pertama dimana mereka bisa memperlihatkan ekspresi apapun pada kita.
Nah... itu pengalamanku ketika mengasuh balita-balitaku agar menjadi balita yang bahagia dan mandiri. Bagaimana cerita pengalamanmu teman?
-----------------------------------
" Tulisan ini diikutsertakan dalam Give Away "Saat Tumbuh Kembang Balitaku Balitamu"
Begitu kami bertemu di bulan Maret 1995 itu.... kangennya sudah menumpuk tinggi sekali.
Terlebih, sejak putraku lahir, suamiku belum pernah melihatnya kecuali hanya melihat di lembar photo-photo cetak (belum musim photo digital soalnya) yang aku kirimkan lewat pos udara saja (dulu belum ada live streaming atau internet yang memungkinkan untuk video call dan chat). Suamiku benar-benar surprised melihat putranya yang ganteng dan sehat.
![]() |
| ini dia ketika ayah dan anak bertemu. Eh tapi ini setelah putraku sudah bisa berjalan sih. Ketika mereka berdua bertemu, usia putraku baru 4,5 bulan |
Dan mungkin ini yang disebut dengan bonding antara orang tua dan anak. Meski mereka berdua baru saja bertemu tapi mereka berdua langsung bisa saling mengenal satu sama lain. Jadi tidak ada adegan saling menolak karena belum saling kenal.
Di Sydney, aku mengasuh putraku ini tanpa pembantu (la iya lah... suamiku kan masih mahasiswa; meski dia kuliah untuk mengambil S3 sekalipun. Sayang duitnya ah kalau harus bayar baby sitter.. hehehe, *otak pelit mulai bereaksi). Di sana gak ada saudara (eh ada sih.. tapi jauhhhhh tinggalnya, di Cronulla sana; jadi nggak mungkin nitip-nitip sama mereka). Tapi karena mengasuh sendiri kami jadi dekat satu sama lain. Saling mengerti kesulitan satu sama lain dan saling membantu otomatis satu sama lain.
Kebaikan dari mengasuh anak tanpa pembantu itu menurutku sih:
1. Anak jadi lebih cepat mandiri. Ini mungkin karena aku tidak memanjakan dia. Tidak bisa nangis sedikit-gendong-nangis sedikit-gendong. Waaaaa... bisa rontok tenagaku. Jadilah anak-anakku
2. Anak tumbuh jadi pribadi yang tidak cengeng. hehehe... mau cengeng gimana kalau ibunya gak ada waktu buat ngebujuk-bujuk dia. Jadi... semua harus jelas. Mau apa bilang. Nggak mau ya bilang juga. Itu sebabnya anakku...
3. Anak yang terbuka dan mau menerima perbedaan atau kenyataan pahit. Sejak kecil mereka sudah aku ajarkan, bahwa tidak semua yang mereka inginkan di dunia ini bisa mereka dapatkan. Bisa sih dapat, asal mereka mau berusaha terlebih dahulu. Ternyata, ajaran sepele ini malah membuat ...
4. Anak tumbuh menjadi figur yang mau berusaha; tidak gengsi jika harus bekerja; dan tidak malu jika ternyata tidak punya atau tidak bisa mendapatkannya. Mungkin ini akibat dari segala sesuatuya harus dikerjakan sendiri ya. Jadi mereka tahu pasti kesulitan yang akan dihadapi dan kenyataan jika ternyata hasil pekerjaannya tidak maksimal. Juga kenyataan bahwa ada faktor lain di luar kehendak mereka jika ternyata kita sudah berusaha semaksimal mungkin tapi hasilnya tetap dinilai oleh orang lain kurang (hehehhe; ini nih.. harus berterima kasih pada orang-orang yang mampir ke rumah dan tidak lupa berkomentar: "Rumah lo berantakan banget sih."... wuih, dia nggak tahu bahwa sebelumnya kami semua sudah berusaha menata semaksimal mungkin rumah kami agar bisa lebih rapi dan nyaman sebelum dia datang).
Untuk mendidik anak agar bisa mandiri dan tidak cengeng itu sebenarnya sederhana saja menurutku. Yaitu dengan membuatnya merasa nyaman dan aman berada di lingkungan yang dia kenal. Meski demikian, kita sebagai orang tua tetap harus memenuhi semua kebutuhan yang sesuai dengan usia perkembangannya.
![]() | ||
| Nah.... ini Ibam yang sudah mulai bisa bermain sendirian. Kadang, dia sampai tertidur di depan kotak mainannya. |
1. Usahakan untuk mengurangi kata "jangan" padanya. Biarkan dia bereksplorasi sepuasnya. Tapi, tetap diarahkan ke arah yang benar. Dengan begitu dia menjadi lebih percaya diri.
2. Jangan sodorkan berbagai macam harapan dan tuntutan padanya. Seperti: "Kamu tuh harusnya begini dong... gimana sih?"... nah.... ini nih yang harus dilarang. Nanti balita kita jadi merasa tertekan dan tidak percaya diri. Atau bahkan jadi menutup diri untuk berusaha kembali.
3. Jangan pernah menakuti balita sesuatu yang membuat mereka membayangkannya menjadi sosok yang menyeramkan. Seperrti: "Ih, jangan kesitu.. ada hantu loh."... atau.... "sstt, jangan berisik. Nanti ditangkep polisi loh."... atau... "ih, tuh ada Pak RT... ada Pak RT... udah, diem, jangan nangis terus."
4. Katakan terus terang kondisi keuangan kita pada mereka dengan bahasa mereka jika kita tidak bisa memenuhi permintaan mereka.
nah... loh. Gimana tuh? hehehe... entah ya, tapi aku tidak pernah berbohong pada anak-anakku. Jika mereka ingin mainan dan aku tidak punya uang maka aku katakan pada mereka bahwa aku tidak punya uang. Tapi jika aku punya uang ya aku tawarkan mereka barangkali mereka masih menginginkan barang yang dahulu mereka tunjuk (penekanannya pada penawaran jika mereka masih butuh atau tidak. Jadi, tidak langsung membelikannya ketika ada uang, tapi mengajak mereka berpikir apakah mereka memang butuh barang tersebut atau tidak? Jika tetap ingin ya sudah beli; tapi kalau sudah gak mau ya gak usah dipaksa).
5. Ajak mereka untuk bergaul dengan banyak orang; perkenalkan mereka dengan banyak pengalaman lewat berbagai aktifitas.
Yang terakhir ini, usahakan jangan mengajak mereka dengan keterpaksaan. Dan usahakan kita menjadi orang pertama dimana mereka bisa memperlihatkan ekspresi apapun pada kita.
![]() | |
| masih hawna; yang jika merasa senang sering melet lidahnya. |
Nah... itu pengalamanku ketika mengasuh balita-balitaku agar menjadi balita yang bahagia dan mandiri. Bagaimana cerita pengalamanmu teman?
-----------------------------------
" Tulisan ini diikutsertakan dalam Give Away "Saat Tumbuh Kembang Balitaku Balitamu"
Teratai Putih
Jumat, 28 November 2014
Kelebihan kita sebagai orang tua dari anak-anak kita itu sebenarnya cuma satu: kita sudah terlebih dahulu menemukan dan mengalami sebuah pengalaman hidup. Itu sebabnya ada ungkapan yang mengatakan bahwa orang tua itu sudah terlebih dahulu merasakan asam-garam kehidupan.
Aku rasa, disinilah betapa Allah begitu sayang pada makhluk ciptaanNya. Pada tiap-tiap makhluk, Allah memberi pengetahuan secara perlahan-lahan. Pengetahuan inilah yang kelak akan diwariskan pada generasi berikutnya. Yaitu pada anak-anak kita yang lahir kemudian. Tidak terkecuali putra-putriku.
Aku dan suami setiap pagi rajin olahraga mengitari sebuah taman di daerah Tebet. Taman ini memang diperuntukkan untuk jalur hijau dan paru-paru kota Jakarta. Pohon-pohonnya rindang dan ada sebuah kolam yang cukup panjang disana. Di atas kolam tersebut tumbuh tanaman teratai.
Bagiku dan suamiku semua keberadaan yang ada di taman Bibit Tebet ini biasa saja. Pemandangan yang sudah amat biasa aku lihat dalam keseharian. Begitu biasa sehingga aku tidak menaruh perhatian dimana letak menariknya. Hanya saja taman ini memang membuat nyaman. Kadar oksigennya banyak sejauh kita melakukan olahraga jogging di sana. Pepohonannya rindang dan meneduhkan. Tapi bagi putriku hal yang biasa ini ternyata adalah sesuatu yang: luar biasa.
"Waa.... bagus banget. Itu tanaman apa bu?"
"Hmm... tanaman apa ya? Ibu juga gak begitu." (fakta sebenarnya: ibu gak pernah merhatiin itu tanaman apa. Selama ini lewat ya lewat aja)
"Enak ya jalan disini. Seru..."
"Oh ya? Iya sih... enak." (fakta sebenarnya: ibu sudah biasa banget lewat sini, jadi biasa saja sebenarnya)
"Eh... itu bunga apa? Besar banget?... Lihat yuk."
"Yang mana? Oh ... yang itu... namanya bunga teratai." (fakta sebenarnya: eh..eh.., ada bunga teratai toh disini? aih, selama ini gak pernah merhatiin. Kemenong ajeee?)
Akhirnya, berdua putri bungsuku aku baru menyadari betapa indah dan luar biasanya taman Tebet yang biasa aku lewati itu. Sambil menikmati seluruh pemandangan luar biasa tersebut, aku berusaha menjelaskan bahwa Teratai adalah salah satu tanaman yang tumbuh tanpa media tanam dari tanah.
"Jadi, dia tumbuh di atas air?"
"Iya... akarnya serabut kalau gak salah dan nyari makanan dari serpihan-serpihan makanan yang ngambang di air gitu kalau gak salah."
"Oh.... bagus ya."
Akhirnya, karena putri bungsuku ini (usianya baru 8 tahun) begitu kagum pada bunga teratai, aku pun mengabadikan beberapa gambar. Kebetulan, ada beberapa tawon di atas bunga teratai putih. Jadi, aku pun punya kesempatan untuk menjelaskan tentang penyerbukan yang terjadi dengan bantuan para lebah yang hinggap di putih dan benang sari bunga teratai.
Aku rasa, disinilah betapa Allah begitu sayang pada makhluk ciptaanNya. Pada tiap-tiap makhluk, Allah memberi pengetahuan secara perlahan-lahan. Pengetahuan inilah yang kelak akan diwariskan pada generasi berikutnya. Yaitu pada anak-anak kita yang lahir kemudian. Tidak terkecuali putra-putriku.
Aku dan suami setiap pagi rajin olahraga mengitari sebuah taman di daerah Tebet. Taman ini memang diperuntukkan untuk jalur hijau dan paru-paru kota Jakarta. Pohon-pohonnya rindang dan ada sebuah kolam yang cukup panjang disana. Di atas kolam tersebut tumbuh tanaman teratai.
Bagiku dan suamiku semua keberadaan yang ada di taman Bibit Tebet ini biasa saja. Pemandangan yang sudah amat biasa aku lihat dalam keseharian. Begitu biasa sehingga aku tidak menaruh perhatian dimana letak menariknya. Hanya saja taman ini memang membuat nyaman. Kadar oksigennya banyak sejauh kita melakukan olahraga jogging di sana. Pepohonannya rindang dan meneduhkan. Tapi bagi putriku hal yang biasa ini ternyata adalah sesuatu yang: luar biasa.
"Waa.... bagus banget. Itu tanaman apa bu?"
"Hmm... tanaman apa ya? Ibu juga gak begitu." (fakta sebenarnya: ibu gak pernah merhatiin itu tanaman apa. Selama ini lewat ya lewat aja)
"Enak ya jalan disini. Seru..."
"Oh ya? Iya sih... enak." (fakta sebenarnya: ibu sudah biasa banget lewat sini, jadi biasa saja sebenarnya)
"Eh... itu bunga apa? Besar banget?... Lihat yuk."
"Yang mana? Oh ... yang itu... namanya bunga teratai." (fakta sebenarnya: eh..eh.., ada bunga teratai toh disini? aih, selama ini gak pernah merhatiin. Kemenong ajeee?)
Akhirnya, berdua putri bungsuku aku baru menyadari betapa indah dan luar biasanya taman Tebet yang biasa aku lewati itu. Sambil menikmati seluruh pemandangan luar biasa tersebut, aku berusaha menjelaskan bahwa Teratai adalah salah satu tanaman yang tumbuh tanpa media tanam dari tanah.
"Jadi, dia tumbuh di atas air?"
"Iya... akarnya serabut kalau gak salah dan nyari makanan dari serpihan-serpihan makanan yang ngambang di air gitu kalau gak salah."
"Oh.... bagus ya."
Akhirnya, karena putri bungsuku ini (usianya baru 8 tahun) begitu kagum pada bunga teratai, aku pun mengabadikan beberapa gambar. Kebetulan, ada beberapa tawon di atas bunga teratai putih. Jadi, aku pun punya kesempatan untuk menjelaskan tentang penyerbukan yang terjadi dengan bantuan para lebah yang hinggap di putih dan benang sari bunga teratai.
A video posted by Ade Anita (@adeanit4) on
Liburanku: Mudik ke Sydney
Rabu, 20 Agustus 2014
Pada tulisan sebelumnya, aku menulis tentang berlibur di hari raya (bisa baca tulisannya di sini: Liburanku: Mau Kemana di Cuti Hari Raya?). Di tahun 2014 ini liburan hari raya plus liburanku terasa istimewa karena satu hal: ini sekaligus perjalanan napak tilas kembali ke tempat dimana aku pernah menghabiskan waktu beberapa saat disana: Sydney.
Lima bulan setelah menikah, suamiku berangkat ke Sydney dalam rangka meneruskan study Pasca Sarjananya. Dia berangkat sendiria karena aku sedang hamil waktu itu. Ada peraturan untuk mahasiswa penerima beasiswa bahwa jika mereka belum mencapai satu tahun berada di Sydney maka biaya melahirkan ditanggung sendiri. Wah. Biaya melahirkan di negeri sendiri saja mahal apalagi di negeri orang. Itulah sebabnya suamiku berangkat sendiri dan aku menyusul setelah melahirkan rencananya.
Tepat setelah bayiku berusia 3 bulan 2 minggu (karena perjalanan ke Sydney memakan waktu 7 jam di atas pesawat maka dokter memberi saran untuk membawa bayi jika sudah berusia 3 bulan lebih; dimana bayi sudah bisa berespon jika ada sesuatu yang tidak enak dengan badannya. Kalau masih bayi banget dan belum bisa apa-apa selain tidur-mimi asi-pup; jika terjadi sesuatu bayi cuma berespon diam terus tiba-tiba panas tinggi saja badannya. Repot kan? Nah.. jika sudah berusia di atas 3 bulan, jika terjadi sesuatu yang tidak pas dengan tubuhnya, bayi bisa menangis keras-keras sebagai penanda waspada) aku pun berangkat.
Aku berangkat bersama ibuku waktu itu. Dan asal tahu saja ya, waktu itu kebetulan ada seorang saudaraku yang bekerja di bagian cek in penumpang. Jadi... hehehehe... bawaanku yang sudah pasti over weight sama dia dilolosin semua. Dulu aku bawa box bayi dari plastik segala loh. Dan semua perlengkapan perang mengasuh bayi pertama dan semua lolos di kabin. Senangnya alhamdulillah.
Nah.. sekarang tentu saja keadaan berbeda. Ibuku sudah meninggal dunia dan saudaraku itu, lebih tepatnya saudara ipar, sudah bercerai dengan saudaraku jadi.... tidak bisa lagi nepotisme-nepotisme-an. Berarti.... semua bawaan harus benar-benar diperhitungkan masak-masak dong. Jangan sampai kelebihan berat di bagasi nanti. Malaysia Airlines, maskapai yang kami pilih untuk ke Sydney, membatasi batas maksimal hanya 30 kg untuk masing-masing orang.
Meski demikian tetap saja aku membawa 5 buah koper, dimana 3 adalah koper besar yang muat jika dimasukkan anak kuda di dalamnya dalam keadaan akrobat melihat ke empat kakinya dan menekuk kepalanya... serta 2 buah koper ukuran kabin. Serta 2 buah tas kain ukuran sedang yang bisa dilipat.
Waaa? Banyak sekali bawaannya?
Yup.
Karena memang sudah niat untuk membeli oleh-oleh dan buku-buku.
Suamiku adalah dosen. Jika ada kesempatan berkunjung ke luar negeri maka benda yang pasti dicarinya itu adalah: buku-buku literatur terkini yang bisa menunjang bahan pengajaran dia nanti. Buku-buku yang beredar di Indonesia sering tertinggal dari segi konten dan kekinian masalah yang disajikan. Jika pun ada maka bisa dipastikan dijual dengan harga yang amat mahal. Jadi, bisa membeli buku di luar negeri itu sesuatu yang luar biasa buat suamiku. Itu sebabnya koperku banyak.
Dua koper ukuran kabin, dimasukkan dalam dua koper ukuran bagasi tadi. Anak kudanya disuruh keluar dulu ya. hehehhe.
Lalu, dua buah tas kain yang bisa dilipat, dimasukkan dalam tas kabin.
Lalu.... bagaimana dengan baju-baju kami? Ya tentu saja diselipkan di tengah-tengah benda-benda tersebut.
Pada penasaran kan, apakah nanti pas pulang tidak semakin berjubel jumlah bawaan kami tersebut? Karena yang namanya buku-buku itu beratnya gak cuma sekilo dua kilo pasti tapi pasti berkilo-kilo.
Nah... ini strategi berikutnya.
BAWALAH:
1. Sendal jepit yang sudah jelek untuk sendal jepit jika mau ke kamar mandi.
2. Baju-baju jelek untuk tidur malam.
3. Sendal-sendal rumah yang sudah butut atau dikit lagi mau rusak untuk berjalan di dalam ruangan.
4. Jangan bawa odol yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
5. Jangan bawa shampo yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
6. Jangan lupa bawa lakban, gunting, jarum dan benang ya.
Buat apa sih mereka semua? Buat:
1. Ketika pulang nanti, semua yang jelek-jelek dan butut-butut bisa kita buang di negeri orang sana. Gak usah dibawa lagi ke Indonesia. Eh.. eh... jangan marah, yang dimaksud jelek-jelek itu bukan kamu kok... iya.. bukan kamuuuu.
2. Semua yang sudah mau habis itu tinggal dibuang juga di negeri orang.
3. Karena bisa dipastikan koper akan menggelembung penuh oleh barang yang berat (buku gitu loh) nah, lakban itu berguna untuk melilit koper agar tidak terbuka begitu saja alias jebol. Eh, pake tali tambang jemuran yang dari plastik juga sebenarnya lebih enak sih. Dan percaya padaku, mending beli di Indonesia saja barang-barang seperti ini. Lebih murah.
4. Benang dan jarum buat apa? Nah... karena semua koper sudah berisi benda-benda kelas berat (termasuk oleh-oleh yang gampang patah atau dikhawatirkan rusak), maka baju-baju mending taruh di tas kain yang bisa dilipat. Berat tas kain ini kan enteng tuh, besarnya juga bisa dimasukkan ke kabin. Kan setelah dikurangi dengan yang dibuang-buang tadi, maka yang tersisa sedikit barang yang dibawa kembali ke Indonesianya. Iya gak? Gak ada lagi sendal buat ke kamar mandi atau buat jalan2 antar ruangan; gak ada lagi toiletris, gak ada lagi baju tidur dan handuk (oh ya.. hahahha.. handuk pun bawa saja yang dah jelek atau yang kalian sudah bosan melihatnya... jadi ada alasan buat beli handuk baru jika sudah ada rejeki nanti).
Okeh. Sekarang mari kita kembali membicarakan kota Sydney.
Aku menghabiskan waktu selama dikit lagi 5 tahun di kota ini. Yaitu sejak tahun 1994 s.d 1999 akhir.
Ada banyak banget kenangan di kota ini. Ini adalah kota dimana aku menghabiskan masa-masa pacaran halalku dengan suami tidak lama setelah kami punya anak. hehehe... ya iya lah. Baru nikah 4 bulan terus ditinggal pergi itu rasanya tuh.... huff... nyess banget deh. Karena, dua bulan pertama nikah, kan masih sama-sama belum mengerti apa-apa yang tiba-tiba.... hamil aja... hahahha... dua bulan terakhir dah siap-siap mau ditinggal. Ugh.... ampyun deh. Kalau difilmin pasti judulnya "air mata pengantin baru" atau..."cengeng-cengeng penganti baru" (kenapa mirip judul sinetron ganteng-ganteng srigala?).
Di kota ini juga, aku yang selama sebelum menikah hidup selalu dilayani oleh pembantu rumah tangga, tiba-tiba harus mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Mana punya anak, mana gak ada saudara, mana gak ada tetangga yang bisa dititipi atau direpotkan, mana gak bisa masak, mau nelpon ke Indonesia mahal, mana gak bisa bahasa inggris lagi. hahahahha... yang terakhir ini yang ngenes sodara-sodara.
Tahun pertama dan tahun kedua, aku tinggal di sebuah rumah sederhana. Bayar sewanya murah karena ini rumah tua. Cuma satu kamar dengan ruang keluarga yang besar. Begitu masuk langsung ketemu dapur. Sebenarnya, ini bagian dari rumah seseorang, yang lalu dibaginya. Sepertiga rumah inilah yang lalu disewakan. Aku membesarkan putra sulungku di rumah ini.
Lalu, rumah yang aku tempati di tahun ke tiga dan seterusnya hingga aku kembali ke Indonesia adalah sebuah apartemen.
Kenapa tinggal di apartemen? Karena.... pingin nyobain aja kayak apa sih tinggal di apartemen itu. hehehehe. Jadi sengaja banget emang sejak awal tidak mencari rumah lagi ketika sewa rumah pertama selesai karena kami memang ingin merasakan tinggal di apartemen.
Oh ya... tadi kan aku bilang ya, gak enaknya tinggal di Sydney itu salah satunya karena tidak punya tetangga yang bisa dimintai tolong. Nah... sebenarnya, ini karena suamiku saja yang iseng memilih lingkungan yang seperti ini.
"Sebenarnya ada De, lingkungan dimana orang-orang Indonesia banyak berkumpul. Yaitu di daerah Rainbow street dan sekitar Kensington sana. Tapi.... kamu gak berminat untuk memacu diri agar bisa belajar bahasa inggris, cinta?" (note: kata cinta- disini adalah tambahan dariku... hehehehe.. boleh dong berimprovisasi sedikit dalam bercerita?)
"Kalau kita mau, kita bisa tinggal di lingkungan Rainbow Street loh De. Tapi... aku lebih suka kamu berkembang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru daripada merasa aman di lingkungan yang bikin kemampuan kamu malah gak berkembang."
Yup. Itulah salah dua jawaban-jawaban suamiku ketika aku mengeluh betapa "sepi ya?"... "capek deh".. "duh repot".. "huhuhu aku kesepian"... pada suamiku. Dan itulah sebabnya lingkungan pilihan suamiku adalah lingkungan dimana orang-orang bule berjaya tinggal disana. Orang Asia-nya sedikit banget. sekalinya ada pasti yang sudah tidak ada jejak Asia-nya sama sekali. Sebagian lagi kebanyakan dari bangsa Fiji, Spanish, Italia dan negara-negara lain yang bahasanya aku gak ngerti jadi "kami berbahasa satu: bahasa inggris."
Nah... ini nih rumah keduaku dulu...
Setibanya di Sydney kemarin, ini percakapanku dengan anak-anakku.
"Oh.. berarti ibu di Sydney belajar bahasa Inggris dong dulu pas baru punya aku?" (anak sulungku nih yang ngomong)
"Iya... kan ada program untuk pasangan student yang tidak bisa berbahasa inggris."
"Lama bu?"
"Lumayan. Kalau lagi kursus, kamu ibu bawa ke tempat kursus terus ibu taruh aja di lantainya. Kan lantainya berkarpet tuh kelasnya. Kasih mainan, kamu anteng main sendiri di kaki ibu." (anak sulungku tersenyum)
"Terus... sekarang.. masih ingat bu semua bahasa inggris yang pernah ibu pelajari dulu?"
"Hehehehe... nggak. Cuma inget I love YOu aja."
"Dasar.... aku dah nebak sih."
"Ehhh... jangan salah, ibu setelah melahirkan Arna juga ikut kursus lagi. Yaitu kursus untuk para migran yang tidak bisa berbahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Pemerintah." (suamiku menambahkan keterangan yang berakibat fatal... yaitu:...)
"Okeh. Berarti ibu dua kali kan ikut kursus bahasa Inggris. Sekarang ibu bisa gak bahasa inggris?"
"heheheh.... ibu orangnya istiqamah nak. Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa." (sambil mesem-mesem membela diri)
"Ngaco. Itu bukan istiqamah namanya... bilang gak bisa aja pake ngeles..." (hahahahahha... jawaban anak sulungku emang suka ngeselin emang. Enaknya dijitak sih.. sayang anak sendiri; kalau nangis kita juga yang repot kan? Kalau anak orang kan bisa ditinggal lari setelah dijitak... hahahahaha).
Eh.. bersambung lagi ya ceritanya. Mau jemput anak bungsuku pulang sekolah dulu deh.
Lima bulan setelah menikah, suamiku berangkat ke Sydney dalam rangka meneruskan study Pasca Sarjananya. Dia berangkat sendiria karena aku sedang hamil waktu itu. Ada peraturan untuk mahasiswa penerima beasiswa bahwa jika mereka belum mencapai satu tahun berada di Sydney maka biaya melahirkan ditanggung sendiri. Wah. Biaya melahirkan di negeri sendiri saja mahal apalagi di negeri orang. Itulah sebabnya suamiku berangkat sendiri dan aku menyusul setelah melahirkan rencananya.
Tepat setelah bayiku berusia 3 bulan 2 minggu (karena perjalanan ke Sydney memakan waktu 7 jam di atas pesawat maka dokter memberi saran untuk membawa bayi jika sudah berusia 3 bulan lebih; dimana bayi sudah bisa berespon jika ada sesuatu yang tidak enak dengan badannya. Kalau masih bayi banget dan belum bisa apa-apa selain tidur-mimi asi-pup; jika terjadi sesuatu bayi cuma berespon diam terus tiba-tiba panas tinggi saja badannya. Repot kan? Nah.. jika sudah berusia di atas 3 bulan, jika terjadi sesuatu yang tidak pas dengan tubuhnya, bayi bisa menangis keras-keras sebagai penanda waspada) aku pun berangkat.
Aku berangkat bersama ibuku waktu itu. Dan asal tahu saja ya, waktu itu kebetulan ada seorang saudaraku yang bekerja di bagian cek in penumpang. Jadi... hehehehe... bawaanku yang sudah pasti over weight sama dia dilolosin semua. Dulu aku bawa box bayi dari plastik segala loh. Dan semua perlengkapan perang mengasuh bayi pertama dan semua lolos di kabin. Senangnya alhamdulillah.
Nah.. sekarang tentu saja keadaan berbeda. Ibuku sudah meninggal dunia dan saudaraku itu, lebih tepatnya saudara ipar, sudah bercerai dengan saudaraku jadi.... tidak bisa lagi nepotisme-nepotisme-an. Berarti.... semua bawaan harus benar-benar diperhitungkan masak-masak dong. Jangan sampai kelebihan berat di bagasi nanti. Malaysia Airlines, maskapai yang kami pilih untuk ke Sydney, membatasi batas maksimal hanya 30 kg untuk masing-masing orang.
Meski demikian tetap saja aku membawa 5 buah koper, dimana 3 adalah koper besar yang muat jika dimasukkan anak kuda di dalamnya dalam keadaan akrobat melihat ke empat kakinya dan menekuk kepalanya... serta 2 buah koper ukuran kabin. Serta 2 buah tas kain ukuran sedang yang bisa dilipat.
Waaa? Banyak sekali bawaannya?
Yup.
Karena memang sudah niat untuk membeli oleh-oleh dan buku-buku.
Suamiku adalah dosen. Jika ada kesempatan berkunjung ke luar negeri maka benda yang pasti dicarinya itu adalah: buku-buku literatur terkini yang bisa menunjang bahan pengajaran dia nanti. Buku-buku yang beredar di Indonesia sering tertinggal dari segi konten dan kekinian masalah yang disajikan. Jika pun ada maka bisa dipastikan dijual dengan harga yang amat mahal. Jadi, bisa membeli buku di luar negeri itu sesuatu yang luar biasa buat suamiku. Itu sebabnya koperku banyak.
Dua koper ukuran kabin, dimasukkan dalam dua koper ukuran bagasi tadi. Anak kudanya disuruh keluar dulu ya. hehehhe.
Lalu, dua buah tas kain yang bisa dilipat, dimasukkan dalam tas kabin.
Lalu.... bagaimana dengan baju-baju kami? Ya tentu saja diselipkan di tengah-tengah benda-benda tersebut.
Pada penasaran kan, apakah nanti pas pulang tidak semakin berjubel jumlah bawaan kami tersebut? Karena yang namanya buku-buku itu beratnya gak cuma sekilo dua kilo pasti tapi pasti berkilo-kilo.
Nah... ini strategi berikutnya.
BAWALAH:
1. Sendal jepit yang sudah jelek untuk sendal jepit jika mau ke kamar mandi.
2. Baju-baju jelek untuk tidur malam.
3. Sendal-sendal rumah yang sudah butut atau dikit lagi mau rusak untuk berjalan di dalam ruangan.
4. Jangan bawa odol yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
5. Jangan bawa shampo yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
6. Jangan lupa bawa lakban, gunting, jarum dan benang ya.
Buat apa sih mereka semua? Buat:
1. Ketika pulang nanti, semua yang jelek-jelek dan butut-butut bisa kita buang di negeri orang sana. Gak usah dibawa lagi ke Indonesia. Eh.. eh... jangan marah, yang dimaksud jelek-jelek itu bukan kamu kok... iya.. bukan kamuuuu.
2. Semua yang sudah mau habis itu tinggal dibuang juga di negeri orang.
3. Karena bisa dipastikan koper akan menggelembung penuh oleh barang yang berat (buku gitu loh) nah, lakban itu berguna untuk melilit koper agar tidak terbuka begitu saja alias jebol. Eh, pake tali tambang jemuran yang dari plastik juga sebenarnya lebih enak sih. Dan percaya padaku, mending beli di Indonesia saja barang-barang seperti ini. Lebih murah.
4. Benang dan jarum buat apa? Nah... karena semua koper sudah berisi benda-benda kelas berat (termasuk oleh-oleh yang gampang patah atau dikhawatirkan rusak), maka baju-baju mending taruh di tas kain yang bisa dilipat. Berat tas kain ini kan enteng tuh, besarnya juga bisa dimasukkan ke kabin. Kan setelah dikurangi dengan yang dibuang-buang tadi, maka yang tersisa sedikit barang yang dibawa kembali ke Indonesianya. Iya gak? Gak ada lagi sendal buat ke kamar mandi atau buat jalan2 antar ruangan; gak ada lagi toiletris, gak ada lagi baju tidur dan handuk (oh ya.. hahahha.. handuk pun bawa saja yang dah jelek atau yang kalian sudah bosan melihatnya... jadi ada alasan buat beli handuk baru jika sudah ada rejeki nanti).
Okeh. Sekarang mari kita kembali membicarakan kota Sydney.
Aku menghabiskan waktu selama dikit lagi 5 tahun di kota ini. Yaitu sejak tahun 1994 s.d 1999 akhir.
Ada banyak banget kenangan di kota ini. Ini adalah kota dimana aku menghabiskan masa-masa pacaran halalku dengan suami tidak lama setelah kami punya anak. hehehe... ya iya lah. Baru nikah 4 bulan terus ditinggal pergi itu rasanya tuh.... huff... nyess banget deh. Karena, dua bulan pertama nikah, kan masih sama-sama belum mengerti apa-apa yang tiba-tiba.... hamil aja... hahahha... dua bulan terakhir dah siap-siap mau ditinggal. Ugh.... ampyun deh. Kalau difilmin pasti judulnya "air mata pengantin baru" atau..."cengeng-cengeng penganti baru" (kenapa mirip judul sinetron ganteng-ganteng srigala?).
Di kota ini juga, aku yang selama sebelum menikah hidup selalu dilayani oleh pembantu rumah tangga, tiba-tiba harus mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Mana punya anak, mana gak ada saudara, mana gak ada tetangga yang bisa dititipi atau direpotkan, mana gak bisa masak, mau nelpon ke Indonesia mahal, mana gak bisa bahasa inggris lagi. hahahahha... yang terakhir ini yang ngenes sodara-sodara.
Tahun pertama dan tahun kedua, aku tinggal di sebuah rumah sederhana. Bayar sewanya murah karena ini rumah tua. Cuma satu kamar dengan ruang keluarga yang besar. Begitu masuk langsung ketemu dapur. Sebenarnya, ini bagian dari rumah seseorang, yang lalu dibaginya. Sepertiga rumah inilah yang lalu disewakan. Aku membesarkan putra sulungku di rumah ini.
| ini dia rumahnya yang mungil di tengah itu: 599 anzac parade, maroubra |
Lalu, rumah yang aku tempati di tahun ke tiga dan seterusnya hingga aku kembali ke Indonesia adalah sebuah apartemen.
Kenapa tinggal di apartemen? Karena.... pingin nyobain aja kayak apa sih tinggal di apartemen itu. hehehehe. Jadi sengaja banget emang sejak awal tidak mencari rumah lagi ketika sewa rumah pertama selesai karena kami memang ingin merasakan tinggal di apartemen.
Oh ya... tadi kan aku bilang ya, gak enaknya tinggal di Sydney itu salah satunya karena tidak punya tetangga yang bisa dimintai tolong. Nah... sebenarnya, ini karena suamiku saja yang iseng memilih lingkungan yang seperti ini.
"Sebenarnya ada De, lingkungan dimana orang-orang Indonesia banyak berkumpul. Yaitu di daerah Rainbow street dan sekitar Kensington sana. Tapi.... kamu gak berminat untuk memacu diri agar bisa belajar bahasa inggris, cinta?" (note: kata cinta- disini adalah tambahan dariku... hehehehe.. boleh dong berimprovisasi sedikit dalam bercerita?)
"Kalau kita mau, kita bisa tinggal di lingkungan Rainbow Street loh De. Tapi... aku lebih suka kamu berkembang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru daripada merasa aman di lingkungan yang bikin kemampuan kamu malah gak berkembang."
Yup. Itulah salah dua jawaban-jawaban suamiku ketika aku mengeluh betapa "sepi ya?"... "capek deh".. "duh repot".. "huhuhu aku kesepian"... pada suamiku. Dan itulah sebabnya lingkungan pilihan suamiku adalah lingkungan dimana orang-orang bule berjaya tinggal disana. Orang Asia-nya sedikit banget. sekalinya ada pasti yang sudah tidak ada jejak Asia-nya sama sekali. Sebagian lagi kebanyakan dari bangsa Fiji, Spanish, Italia dan negara-negara lain yang bahasanya aku gak ngerti jadi "kami berbahasa satu: bahasa inggris."
Nah... ini nih rumah keduaku dulu...
Setibanya di Sydney kemarin, ini percakapanku dengan anak-anakku.
"Oh.. berarti ibu di Sydney belajar bahasa Inggris dong dulu pas baru punya aku?" (anak sulungku nih yang ngomong)
"Iya... kan ada program untuk pasangan student yang tidak bisa berbahasa inggris."
"Lama bu?"
"Lumayan. Kalau lagi kursus, kamu ibu bawa ke tempat kursus terus ibu taruh aja di lantainya. Kan lantainya berkarpet tuh kelasnya. Kasih mainan, kamu anteng main sendiri di kaki ibu." (anak sulungku tersenyum)
"Terus... sekarang.. masih ingat bu semua bahasa inggris yang pernah ibu pelajari dulu?"
"Hehehehe... nggak. Cuma inget I love YOu aja."
"Dasar.... aku dah nebak sih."
"Ehhh... jangan salah, ibu setelah melahirkan Arna juga ikut kursus lagi. Yaitu kursus untuk para migran yang tidak bisa berbahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Pemerintah." (suamiku menambahkan keterangan yang berakibat fatal... yaitu:...)
"Okeh. Berarti ibu dua kali kan ikut kursus bahasa Inggris. Sekarang ibu bisa gak bahasa inggris?"
"heheheh.... ibu orangnya istiqamah nak. Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa." (sambil mesem-mesem membela diri)
"Ngaco. Itu bukan istiqamah namanya... bilang gak bisa aja pake ngeles..." (hahahahahha... jawaban anak sulungku emang suka ngeselin emang. Enaknya dijitak sih.. sayang anak sendiri; kalau nangis kita juga yang repot kan? Kalau anak orang kan bisa ditinggal lari setelah dijitak... hahahahaha).
Eh.. bersambung lagi ya ceritanya. Mau jemput anak bungsuku pulang sekolah dulu deh.
PILIHAN ANAK VS PILIHAN ORTU (catatan hari anak 23 Juli 2014)
Rabu, 23 Juli 2014
Ketika aku dikaruniai anak perempuan pertama kali, untuk urusan pasang anting2 itu ada diskusinya. Satu sisi ada saran bahwa tubuh anak adalah hak mutlak anak itu sendiri. Orang tua jangan mengotorinya meski dalam bentuk tindikan anting di telinga mereka.
Sisi lain ada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua pada anak2 mereka yang masih kecil itu sebenarnya adalah sebuah pondasi yang akan dibawa oleh anak tersebut. Bahkan meski itu berupa tindikan anting di telinga.
"Jika sudah besar, biarlah dia yang memutuskan apakah akan ditindik atau tidak."
"Tidak. Justru ketika kecil kita tindik agar ketika mereka dewasa mereka tidak lagi merasakan sakitnya ditindik. Jika mereka memilih untuk memakai anting mereka tinggal pakai, sudah ada lubangnya. Tapi jika mereka tidak ingin tinggal dibiarkan saja lubang itu. Nanti juga akan merapat perlahan."
Hari ini, tepat di hari anak 23 Juli (2014), anting yang dikenakan Hawna sejak bayi merah lepas karena perkembangan telinganya yang ukurannya sudah jauh berbeda dengan ukuran telinga bayi dulu. Pilihan itu pun ditanyakan padanya.
"Mau dilepas dan gak usah pakai lagi atau mau dilepas lalu cari yang baru yang muat?" Hawna berpikir. Dan aku tidak pernah memaksaknya pada sebuah kecenderungan pilihan. Karena aku tahu, pada titik ini anakku adalah manusia yang merdeka yang punya pilihan sendiri. Aku percaya. Pondasi yang telah kutanam dahulu akan berkontribusi pada apapun pilihan yang dia ambil. Anak. Mereka anak kita tapi bukan milik kita. Mereka hanya amanah yang dititipkan pada kita di dunia ini.
Selamat hari anak 23 Juli.
Sisi lain ada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua pada anak2 mereka yang masih kecil itu sebenarnya adalah sebuah pondasi yang akan dibawa oleh anak tersebut. Bahkan meski itu berupa tindikan anting di telinga.
"Jika sudah besar, biarlah dia yang memutuskan apakah akan ditindik atau tidak."
"Tidak. Justru ketika kecil kita tindik agar ketika mereka dewasa mereka tidak lagi merasakan sakitnya ditindik. Jika mereka memilih untuk memakai anting mereka tinggal pakai, sudah ada lubangnya. Tapi jika mereka tidak ingin tinggal dibiarkan saja lubang itu. Nanti juga akan merapat perlahan."
Hari ini, tepat di hari anak 23 Juli (2014), anting yang dikenakan Hawna sejak bayi merah lepas karena perkembangan telinganya yang ukurannya sudah jauh berbeda dengan ukuran telinga bayi dulu. Pilihan itu pun ditanyakan padanya.
"Mau dilepas dan gak usah pakai lagi atau mau dilepas lalu cari yang baru yang muat?" Hawna berpikir. Dan aku tidak pernah memaksaknya pada sebuah kecenderungan pilihan. Karena aku tahu, pada titik ini anakku adalah manusia yang merdeka yang punya pilihan sendiri. Aku percaya. Pondasi yang telah kutanam dahulu akan berkontribusi pada apapun pilihan yang dia ambil. Anak. Mereka anak kita tapi bukan milik kita. Mereka hanya amanah yang dititipkan pada kita di dunia ini.
Selamat hari anak 23 Juli.
Main Karet YUk
Sabtu, 10 Mei 2014
Jaman digital seperti sekarang, membuat banyak anak-anak yang terpaku di depan layar tablet gadget mereka di rumah. Jemari tangan mereka amat terampil berpindah-pindah dari satu gambar ke gambar lainnya ketika bermain dengan gadget layar sentuh mereka. Tidak terkecuali anak-anakku.
Anak-anakku termasuk generasi digital. Sejak kecil mereka sudah mengenal banyak game-game digital yang tersaji di gadget. Sebut saja game melawan para zombie, atau berkebun, atau mengelola restoran, atau mengerjakan tugas-tugas salon dan sebagainya. Mereka amat familiar dengan layar sentuh. Tidak tergagap oleh tekonologi sama sekali.
Baikkah itu? Entahlah.
Tapi pagi ini, anak bungsuku bertanya padaku tentang cara membuat gelang karet yang dironce hingga panjang menyerupai tali.
"Ibu ingat nggak dulu ibu pernah nunjukin ke aku cara bikinnya? Nah.. itu bikinnya gimana sih bu? Terus buat apa talinya?"
Langsung saja aku meninggalkan pekerjaanku mengetik dan mengambil gerombolan gelang karet yang aku gantungkan di lemari untuk membungkus makanan. Meski dia amat terampil di layar sentuh, tapi untuk kegiatan motorik tradisional, anakku ini ternyata amat gagap permaian tradisional. Jadilah aku mengajarinya cara meronce karet gelang. Kegiatan ini bagus juga untuk mengajarinya gerakan motorik sederhana dan melatih konsentrasi melihat benda yang kecil.
Setelah menjadi panjang, untuk apa karetnya?
"Ini untuk main karet, Nak."
"Seperti apa?"
Astaga. Baru aku sadar bahwa ini jaman digital. hahahaha. Jadilah aku minta anak sulungku untuk memegang sisi lain dari karet dan dia aku ajari melompat tali karet tersebut. Tubuhnya kaku sekali. Beberapa kali terjatuh tapi wajahnya berbinar gembira luar biasa.
Subhanallah.
Senang melihatnya.
Rupanya sesekali menjauhi tablet dan gadget lalu beralih ke kegiatan motorik yang disuduhkan oleh permainan tradisional itu lebih membuat tubuh seorang anak bergerak. Berkembang.
Melompat.
Berlari.
Berusaha.
Jatuh tapi mencoba untuk bangkit.
Sakit tapi segera menghapusnya dengan tawa dan semangat.
hehehehe... seru juga.
Anak-anakku termasuk generasi digital. Sejak kecil mereka sudah mengenal banyak game-game digital yang tersaji di gadget. Sebut saja game melawan para zombie, atau berkebun, atau mengelola restoran, atau mengerjakan tugas-tugas salon dan sebagainya. Mereka amat familiar dengan layar sentuh. Tidak tergagap oleh tekonologi sama sekali.
Baikkah itu? Entahlah.
Tapi pagi ini, anak bungsuku bertanya padaku tentang cara membuat gelang karet yang dironce hingga panjang menyerupai tali.
"Ibu ingat nggak dulu ibu pernah nunjukin ke aku cara bikinnya? Nah.. itu bikinnya gimana sih bu? Terus buat apa talinya?"
Langsung saja aku meninggalkan pekerjaanku mengetik dan mengambil gerombolan gelang karet yang aku gantungkan di lemari untuk membungkus makanan. Meski dia amat terampil di layar sentuh, tapi untuk kegiatan motorik tradisional, anakku ini ternyata amat gagap permaian tradisional. Jadilah aku mengajarinya cara meronce karet gelang. Kegiatan ini bagus juga untuk mengajarinya gerakan motorik sederhana dan melatih konsentrasi melihat benda yang kecil.
Setelah menjadi panjang, untuk apa karetnya?
"Ini untuk main karet, Nak."
"Seperti apa?"
Astaga. Baru aku sadar bahwa ini jaman digital. hahahaha. Jadilah aku minta anak sulungku untuk memegang sisi lain dari karet dan dia aku ajari melompat tali karet tersebut. Tubuhnya kaku sekali. Beberapa kali terjatuh tapi wajahnya berbinar gembira luar biasa.
Subhanallah.
Senang melihatnya.
Rupanya sesekali menjauhi tablet dan gadget lalu beralih ke kegiatan motorik yang disuduhkan oleh permainan tradisional itu lebih membuat tubuh seorang anak bergerak. Berkembang.
Melompat.
Berlari.
Berusaha.
Jatuh tapi mencoba untuk bangkit.
Sakit tapi segera menghapusnya dengan tawa dan semangat.
hehehehe... seru juga.
Lawan Bullying dengan Prestasi
Senin, 05 Mei 2014
Setelah lama tertunda karena berbagai kesibukan, aku mau melanjutkan cerita tentang anakku yang dibully di kelasnya oleh teman-temannya (ini cerita bagian pertamanya jika ada yang belum baca, http://www.adeanita.com/2014/04/tanda-tanda-anak-yang-dibully-part-1.html).
Pekan lalu, setelah memasukkan bahan kebaya untuk dijahit di tukang jahit khusus kebaya langgananku, aku dan putri remajaku naik angkot jurusan Tebet. Jalan raya sedang macet parah. Kebetulan, di pertigaan jalan dekat rumah tukang jahitku, memang sedang ada rumah yang berduka. Dari karangan bunga yang banyak berjejer di sepanjang jalan, aku tahu bahwa yang meninggal adalah bapak dari seseorang yang memiliki pangkat Presiden Direktur Bank X. Jadi tidak heran jika karangan bunga yang diberikan oleh mereka yang bersimpati berjajar sepanjang jalan. Sama banyaknya dengan jumlah mobil yang diparkir. Jadi mirip pagar bagi mobil-mobil yang diparkir tersebut. Ini yang bikin macet jalan raya. Angkot berjalan pelan sekali. Hingga tiba-tiba masuklah 2 orang anak perempuan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku taksir usia mereka sekitar 9 atau 10 tahun. Mungkin baru kelas 4 atau kelas 5 SD. Sebelum naik ke dalam angkot, seorang anak.dengan tangan kanan masih menggenggam es mambo di tangannya yang sudah tinggal setengah, berteriak keras-keras ke arah teman-temannya yang tidak naik angkot.
"WOIII.... GUE PULANG DULUAN YA.. BESOK AJA KITA NGOBROL LAGI KALO MAU NGERJAIN TANTI. GUE MASIH SEBEL NIH AMA TUH ANAK."
Spontan aku dan putri remajaku saling memandang satu sama lain, lalu melempar senyum. Pelan, kudekatkan mulutku ke telinga putri remajaku.
"Ih, itu anak. Mau ngerjain anak lain aja sampai harus janjian buat meeting dulu."
Di dalam angkot, anak perempuan itu lalu berbicara lagi pada temannya yang duduk di angkot mengapa dia perlu mengerjai orang yang bernama Tanti dan alasan bahwa itu sesuatu yang perlu.
"Gue sebel. Dia tuh suka sama Hello Kitty-nya kebangetan. Bayangin, mulai dari saputangan, pinsil, penghapus, sampai kaus kaki, semuanya sama semua. Hello Kitty semua. Ih, sakit mata gue ngeliatnya." (ini kata si anak yang megang es mambo tadi)
"Ya mau gimana lagi. Namanya juga dia emang hobbi Hello Kitty." (kata temannya yang terus menerus memandang ke luar jendela)
"Ah.. gak gitu-gitu amat kali. Gue juga suka kok sama Tinker Bell. Tapi gue mau make apa aja." (si anak dengan es mambo)
"Yaa.. kenapa mbaknya gak kayak gitu aja. Milih yang mbak suka aja." (kata pembantu yang megangin tas anak yang terus-terusan memandang ke luar jendela).
"Mana bisa. Bapakku gak punya uang. Banyak keperluan lain." (si yang megang es mambo suaranya mulai melemah).."Makanya aku sebel liat Tanti. Dia kayaknya mau pamer deh. Bikin kesel dan bikin sebel. Pokoknya besok harus dikerjain tuh orang. Anak-anak lain dah pada sepakat. Kalo dia nggak mau nurut ama kita-kita, dia gak bakalan ditemenin."
Aku dan putri remajaku terperajat mendengar pernyataan si yang megang es mambo ini. Kami berdua saling memandang satu sama lain, dan satu buah nama langsung teringat di benak kami masing-masing: HAWNA. Anak bungsuku dan adik putri remajaku. Di saat yang bersamaan, si yang megang es mambo berteriak pada supir angkot karena tujuannya sudah sampai dan dia pun turun bersama dengan teman-temannya.
Angkot sepi.
Cuma ada supir di depan, dan aku dan putri remajaku di kursi belakang.
Hening.
Setelah membuang desah, aku pun menyentuh punggung tangan putri remajaku.
"Berarti selama ini, Hawna itu dibully karena teman-temannya pada ngiri sama dia."
Putri bungsuku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3 itu memang seorang penggemar tokoh Princess. Semua tokoh Princess di Disney dia suka. Dan diantara semua Princess, maka tokoh yang paling dia gemari adalah Sofia dan Ariel (si putri duyung). Karena dia seorang penggemar Princess, maka jika diajak memilih barang, maka barang yang dia pilih pasti ada bau-bau Princessnya. Entah itu warnanya (pink, ungu, biru muda atua kuning cerah yang lembut), atau motif (mahkota, sepatu kaca, cincin berlian, pita, bunga yang sedang mekar, dua ekor burung yang sedang berhadapan, serta bangku taman, dan air mancur), dan tentu saja icon sosok Princess itu sendiri. Hawna bahkan hafal jalan cerita semua Princess karena meski film tentang Princess ditayang ulang untuk ke 10 kalinya di televisi, tetap saja dia akan menontonnya dengan wajah seakan-akan dia belum pernah menonton film itu sebelumnya.
Sayangnya, karena kegemaran dan koleksinya ini, teman-teman di kelasnya tidak suka padanya. Teman-teman kelasnya merasa bahwa tokoh Princess itu hanya untuk anak-anak kecil saja. Kelas tiga SD bukan anak kecil lagi. Itu sebabnya di kelas Hawna diminta untuk mengganti tasnya yang bergambar Princess dengan gambar lain. Juga barang-barangnya yang lain. Dan tidak boleh lagi menyukai warna PINK.
Sedihkah anakku itu?
Pasti.
Di kelas, dia hanya punya 2 orang teman. Sehari-hari, mereka hanya bermain bertiga saja. Sebagai ibunya sebenarnya aku kesal anakku diperlakukan seperti ini. Tapi.... hmm. Satu hal yang aku sadari adalah, memang inilah resiko yang akan diterima jika kita menyekolahkan anak kita di sebuah sekolah umum. Jika kita tidak ingin anak kita mendapat perlakuan yang aneh-aneh dari lingkungannya, sekolahkan saja di Home Schooling. Tapi... aku sudah memilih untuk menyekolahkan anakku di sekolah umum justru karena sebuah tujuan, agar dia belajar bagaimana kelak menghadapi masyarakat sebenarnya ketika dia besar nanti. Karena, sekolah adalah sebuah gambaran masyarakat terkecil dalam institusi sebuah bangsa. Dinamika yang ada di sekolah, menggambarkan dinamika dari masyarakat nyata yang sesungguhnya.
Jadi... bagaimana mengatasi masalah Bully yang sudah dialami oleh anakku tersebut? Setelah melakukan langkah-langkah seperti yang aku ceritakan di tulisanku sebelumnya (lihat ini ya : http://www.adeanita.com/2014/04/tanda-tanda-anak-yang-dibully-part-2.html) , aku tahu bahwa putriku harus terus MOVE ON. Artinya, gak boleh lama-lama sedihnya.
"Eh... ada kaus cantik deh, gambar Princess Sofia. Temen ibu nawarian. Mau gak?"
"Mauu... mauuuu...." putriku langsung berbinar-binar matanya dan wajahnya cerah sekali mendengar tawaranku. Tapi, itu hanya beberapa detik saja. Selanjutnya, reaksi yang muncul adalah kebalikannya. "Eh,... tapi... kan kata temanku aku gak boleh nambah koleksi Princessku lagi, bu."
Oh. Oke. Berarti dampak dari Bullying yang dia terima masih berbekas.
"Ah. Biarin aja. Kadang-kadang nak, kita gak usah dengarin apa kata orang. Pusing nanti kalau terus-terusan dengerin apa kata orang. Inget gak cerita bapak dan anak dengan keledainya tuh." (aku pernah bercerita pada anakku tentang kisah seorang bapak dan anak yang pergi ke kota dengan membawa seekor keledai).
"Jadi, kalau kamu suka, terus itu gak bikin susah diri kamu sendiri dan juga orang tua, dan itu dibolehin sama Islam, ya gak papah kok kalau kamu mampu kamu memilikinya. Lagian, kamu sekarang bahagia juga kan meski cuma punya dua orang teman di kelas?" Senyum anakku yang polos dan tulus langsung terkembang di wajahnya seiring dengan anggukan kepalanya yang mantap.
"Iya. Mereka baik-baik banget soalnya."
"Nah... ya sudah. Biar saja orang lain yang memilih untuk tidak menemani kita biarin aja. Gak usah kita sampai harus nurutin perintah mereka segala biar mereka mau nemenin kita. Toh kita gak butuh juga sama mereka. Iya kan?" Anakku kembali mengangguk.
"Sekarang.. yang ibu mau dari kamu cuma satu... kamu mulai sekarang harus makin rajin belajarnya. Nilainya harus bagus-bagus semua dan semua pelajaran kamu ngerti semua. Nanti, kalau kamu pintar, orang-orang akan mendekat dengan sendirinya ke kamu. Percaya deh ama ibu."
Itu yang aku katakan pada Putriku dalam rangka mengajak dia untuk MOVE ON. Jadi, pas pembagian raport bayangan beberapa waktu yang lalu, ketika guru kelasnya memberitahu bahwa nilai-nilai putriku bagus-bagus semua, seorang ibu tampak mendekatiku dan bertanya hati-hati...
"Mama Hawna, maaf. Aku dengar putrinya dikerjain ya sama xxxx?"
"Iya. Sudah aku tegur sih anaknya. Katanya sih mau berubah. Tapi, emang gak pernah ngerjain anak saya lagi sekarang tuh anak, tapi juga gak nemenin anak saya juga. Biarin sajalah."
"Eh... anak saya juga diperlakukan yang sama dengan anak itu. Saya mau protes ah ke ibunya."
Dan entah bagaimana prosesnya, sekarang yang pasti teman Hawna bertambah satu orang lagi. Yaitu si korban baru itu. hahahaha...
Tapi yang luar biasa adalah, sekarang empat sekawan ini luar biasa pertemanannya. Mereka saling membantu satu sama lain. Ada anak yang pintar di bidang kesenian, dan membantu temannya yang tidak terlalu cemerlang di bidang kesenian. Dan Hawna yang cukup lumayan di bidang sains, bisa membantu temannya yang kurang di bidang Sains. Kadang mereka berempat belajar bersama mengerjakan soal-soal matematika. Hasilnya.... keempatnya sekarang termasuk empat orang yang diperhitungkan di kelasnya.
Horeeee....
Dan satu demi satu, teman-teman yang lain mulai mendekat untuk bertanya. Yang artinya: satu demi satu mulai ingin berteman lagi.
Double Horeeee....
Jadi.... kesimpulan dari akhir rangkaian tulisan saya dari peristiwa Bullying yang mungkin diterima oleh anak adalah: jangan sedih atau murung. Just MOVE ON. Karena sesungguhnya, Bullying itu lahir akibat ketidak mampuan orang lain yang memiliki rasa iri dan dengki di dalam hatinya terhadap kita. Dan sesungguhnya lagi, Bullying itu bisa dilawan dengan Prestasi.
----------------------------
“Ayo bangkit generasi MOVE ON! Ikutan BIRTHDAY GIVEAWAY: MOVE ON yuuuk”
Pekan lalu, setelah memasukkan bahan kebaya untuk dijahit di tukang jahit khusus kebaya langgananku, aku dan putri remajaku naik angkot jurusan Tebet. Jalan raya sedang macet parah. Kebetulan, di pertigaan jalan dekat rumah tukang jahitku, memang sedang ada rumah yang berduka. Dari karangan bunga yang banyak berjejer di sepanjang jalan, aku tahu bahwa yang meninggal adalah bapak dari seseorang yang memiliki pangkat Presiden Direktur Bank X. Jadi tidak heran jika karangan bunga yang diberikan oleh mereka yang bersimpati berjajar sepanjang jalan. Sama banyaknya dengan jumlah mobil yang diparkir. Jadi mirip pagar bagi mobil-mobil yang diparkir tersebut. Ini yang bikin macet jalan raya. Angkot berjalan pelan sekali. Hingga tiba-tiba masuklah 2 orang anak perempuan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku taksir usia mereka sekitar 9 atau 10 tahun. Mungkin baru kelas 4 atau kelas 5 SD. Sebelum naik ke dalam angkot, seorang anak.dengan tangan kanan masih menggenggam es mambo di tangannya yang sudah tinggal setengah, berteriak keras-keras ke arah teman-temannya yang tidak naik angkot.
"WOIII.... GUE PULANG DULUAN YA.. BESOK AJA KITA NGOBROL LAGI KALO MAU NGERJAIN TANTI. GUE MASIH SEBEL NIH AMA TUH ANAK."
Spontan aku dan putri remajaku saling memandang satu sama lain, lalu melempar senyum. Pelan, kudekatkan mulutku ke telinga putri remajaku.
"Ih, itu anak. Mau ngerjain anak lain aja sampai harus janjian buat meeting dulu."
Di dalam angkot, anak perempuan itu lalu berbicara lagi pada temannya yang duduk di angkot mengapa dia perlu mengerjai orang yang bernama Tanti dan alasan bahwa itu sesuatu yang perlu.
"Gue sebel. Dia tuh suka sama Hello Kitty-nya kebangetan. Bayangin, mulai dari saputangan, pinsil, penghapus, sampai kaus kaki, semuanya sama semua. Hello Kitty semua. Ih, sakit mata gue ngeliatnya." (ini kata si anak yang megang es mambo tadi)
"Ya mau gimana lagi. Namanya juga dia emang hobbi Hello Kitty." (kata temannya yang terus menerus memandang ke luar jendela)
"Ah.. gak gitu-gitu amat kali. Gue juga suka kok sama Tinker Bell. Tapi gue mau make apa aja." (si anak dengan es mambo)
"Yaa.. kenapa mbaknya gak kayak gitu aja. Milih yang mbak suka aja." (kata pembantu yang megangin tas anak yang terus-terusan memandang ke luar jendela).
"Mana bisa. Bapakku gak punya uang. Banyak keperluan lain." (si yang megang es mambo suaranya mulai melemah).."Makanya aku sebel liat Tanti. Dia kayaknya mau pamer deh. Bikin kesel dan bikin sebel. Pokoknya besok harus dikerjain tuh orang. Anak-anak lain dah pada sepakat. Kalo dia nggak mau nurut ama kita-kita, dia gak bakalan ditemenin."
Aku dan putri remajaku terperajat mendengar pernyataan si yang megang es mambo ini. Kami berdua saling memandang satu sama lain, dan satu buah nama langsung teringat di benak kami masing-masing: HAWNA. Anak bungsuku dan adik putri remajaku. Di saat yang bersamaan, si yang megang es mambo berteriak pada supir angkot karena tujuannya sudah sampai dan dia pun turun bersama dengan teman-temannya.
Angkot sepi.
Cuma ada supir di depan, dan aku dan putri remajaku di kursi belakang.
Hening.
Setelah membuang desah, aku pun menyentuh punggung tangan putri remajaku.
"Berarti selama ini, Hawna itu dibully karena teman-temannya pada ngiri sama dia."
Putri bungsuku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3 itu memang seorang penggemar tokoh Princess. Semua tokoh Princess di Disney dia suka. Dan diantara semua Princess, maka tokoh yang paling dia gemari adalah Sofia dan Ariel (si putri duyung). Karena dia seorang penggemar Princess, maka jika diajak memilih barang, maka barang yang dia pilih pasti ada bau-bau Princessnya. Entah itu warnanya (pink, ungu, biru muda atua kuning cerah yang lembut), atau motif (mahkota, sepatu kaca, cincin berlian, pita, bunga yang sedang mekar, dua ekor burung yang sedang berhadapan, serta bangku taman, dan air mancur), dan tentu saja icon sosok Princess itu sendiri. Hawna bahkan hafal jalan cerita semua Princess karena meski film tentang Princess ditayang ulang untuk ke 10 kalinya di televisi, tetap saja dia akan menontonnya dengan wajah seakan-akan dia belum pernah menonton film itu sebelumnya.
Sayangnya, karena kegemaran dan koleksinya ini, teman-teman di kelasnya tidak suka padanya. Teman-teman kelasnya merasa bahwa tokoh Princess itu hanya untuk anak-anak kecil saja. Kelas tiga SD bukan anak kecil lagi. Itu sebabnya di kelas Hawna diminta untuk mengganti tasnya yang bergambar Princess dengan gambar lain. Juga barang-barangnya yang lain. Dan tidak boleh lagi menyukai warna PINK.
Sedihkah anakku itu?
Pasti.
Di kelas, dia hanya punya 2 orang teman. Sehari-hari, mereka hanya bermain bertiga saja. Sebagai ibunya sebenarnya aku kesal anakku diperlakukan seperti ini. Tapi.... hmm. Satu hal yang aku sadari adalah, memang inilah resiko yang akan diterima jika kita menyekolahkan anak kita di sebuah sekolah umum. Jika kita tidak ingin anak kita mendapat perlakuan yang aneh-aneh dari lingkungannya, sekolahkan saja di Home Schooling. Tapi... aku sudah memilih untuk menyekolahkan anakku di sekolah umum justru karena sebuah tujuan, agar dia belajar bagaimana kelak menghadapi masyarakat sebenarnya ketika dia besar nanti. Karena, sekolah adalah sebuah gambaran masyarakat terkecil dalam institusi sebuah bangsa. Dinamika yang ada di sekolah, menggambarkan dinamika dari masyarakat nyata yang sesungguhnya.
Jadi... bagaimana mengatasi masalah Bully yang sudah dialami oleh anakku tersebut? Setelah melakukan langkah-langkah seperti yang aku ceritakan di tulisanku sebelumnya (lihat ini ya : http://www.adeanita.com/2014/04/tanda-tanda-anak-yang-dibully-part-2.html) , aku tahu bahwa putriku harus terus MOVE ON. Artinya, gak boleh lama-lama sedihnya.
"Eh... ada kaus cantik deh, gambar Princess Sofia. Temen ibu nawarian. Mau gak?"
"Mauu... mauuuu...." putriku langsung berbinar-binar matanya dan wajahnya cerah sekali mendengar tawaranku. Tapi, itu hanya beberapa detik saja. Selanjutnya, reaksi yang muncul adalah kebalikannya. "Eh,... tapi... kan kata temanku aku gak boleh nambah koleksi Princessku lagi, bu."
Oh. Oke. Berarti dampak dari Bullying yang dia terima masih berbekas.
"Ah. Biarin aja. Kadang-kadang nak, kita gak usah dengarin apa kata orang. Pusing nanti kalau terus-terusan dengerin apa kata orang. Inget gak cerita bapak dan anak dengan keledainya tuh." (aku pernah bercerita pada anakku tentang kisah seorang bapak dan anak yang pergi ke kota dengan membawa seekor keledai).
"Jadi, kalau kamu suka, terus itu gak bikin susah diri kamu sendiri dan juga orang tua, dan itu dibolehin sama Islam, ya gak papah kok kalau kamu mampu kamu memilikinya. Lagian, kamu sekarang bahagia juga kan meski cuma punya dua orang teman di kelas?" Senyum anakku yang polos dan tulus langsung terkembang di wajahnya seiring dengan anggukan kepalanya yang mantap.
"Iya. Mereka baik-baik banget soalnya."
"Nah... ya sudah. Biar saja orang lain yang memilih untuk tidak menemani kita biarin aja. Gak usah kita sampai harus nurutin perintah mereka segala biar mereka mau nemenin kita. Toh kita gak butuh juga sama mereka. Iya kan?" Anakku kembali mengangguk.
"Sekarang.. yang ibu mau dari kamu cuma satu... kamu mulai sekarang harus makin rajin belajarnya. Nilainya harus bagus-bagus semua dan semua pelajaran kamu ngerti semua. Nanti, kalau kamu pintar, orang-orang akan mendekat dengan sendirinya ke kamu. Percaya deh ama ibu."
Itu yang aku katakan pada Putriku dalam rangka mengajak dia untuk MOVE ON. Jadi, pas pembagian raport bayangan beberapa waktu yang lalu, ketika guru kelasnya memberitahu bahwa nilai-nilai putriku bagus-bagus semua, seorang ibu tampak mendekatiku dan bertanya hati-hati...
"Mama Hawna, maaf. Aku dengar putrinya dikerjain ya sama xxxx?"
"Iya. Sudah aku tegur sih anaknya. Katanya sih mau berubah. Tapi, emang gak pernah ngerjain anak saya lagi sekarang tuh anak, tapi juga gak nemenin anak saya juga. Biarin sajalah."
"Eh... anak saya juga diperlakukan yang sama dengan anak itu. Saya mau protes ah ke ibunya."
Dan entah bagaimana prosesnya, sekarang yang pasti teman Hawna bertambah satu orang lagi. Yaitu si korban baru itu. hahahaha...
Tapi yang luar biasa adalah, sekarang empat sekawan ini luar biasa pertemanannya. Mereka saling membantu satu sama lain. Ada anak yang pintar di bidang kesenian, dan membantu temannya yang tidak terlalu cemerlang di bidang kesenian. Dan Hawna yang cukup lumayan di bidang sains, bisa membantu temannya yang kurang di bidang Sains. Kadang mereka berempat belajar bersama mengerjakan soal-soal matematika. Hasilnya.... keempatnya sekarang termasuk empat orang yang diperhitungkan di kelasnya.
Horeeee....
Dan satu demi satu, teman-teman yang lain mulai mendekat untuk bertanya. Yang artinya: satu demi satu mulai ingin berteman lagi.
Double Horeeee....
Jadi.... kesimpulan dari akhir rangkaian tulisan saya dari peristiwa Bullying yang mungkin diterima oleh anak adalah: jangan sedih atau murung. Just MOVE ON. Karena sesungguhnya, Bullying itu lahir akibat ketidak mampuan orang lain yang memiliki rasa iri dan dengki di dalam hatinya terhadap kita. Dan sesungguhnya lagi, Bullying itu bisa dilawan dengan Prestasi.
----------------------------
“Ayo bangkit generasi MOVE ON! Ikutan BIRTHDAY GIVEAWAY: MOVE ON yuuuk”
ABG ngambek
Selasa, 22 April 2014
Sudah dua bulan terakhir ini, pekerjaan yang selalu aku lakukan jika ada waktu senggang adalah "mengkarduskan perabotan di rumah". hehe.. ini dalam rangka rencana mau pindah rumah karena rumah yang aku tempati sekarang ingin direnovasi.
Jadi, jangan heran jika ada yang datang ke rumah, maka akan menemukan lemari-lemari yang kosong melompong tak terisi tapi di sudut lain ada tumpukan kardus yang tinggi-tinggi dan b esar-besar. Sebagian sudah diangkut ke rumah kontrakan sih sekarang.
Pekan lalu, giliran kamar menjahit yang aku benahi. Mesin jahit dan semua buku-buku tentang menjahit aku masukkan ke dalam kardus. Lalu aku beri tulisan peringatan di atasnya agar kardus itu tidak ditumpuk dengan kardus buku yang berat-berat. Ugh.. bisa-bisa mesin jahitku rusak jika ditumpuk dengan buku.
Agar tidak ditumpuk, maka aku pun membuat sebuah tanda spesial di kardus itu. Yaitu, kardus mesin jahitnya aku beri tali rafia. Lalu diberi juga tulisan dengan pulpen. Tapi... ugh.. putriku yang sudah jadi ABG remaja, malah ngambek karena semua pertanda itu. Mau tahu kenapa? Ini nih gara-garanya:
Nah... sudah aku tulis kan kata-kata peringatannya.
MESIN JAHIT
JANGAN DITIMPUK... EH
TUMPUK
Iya, ngaku deh. Karena terburu-buru jadi aku salah tulis. Nyari penghapus gak ada jadi ya aku tulis saja ralatnya di bawahnya. Nggak salah kan aku?
Tapi remaja ABG-ku langsung berkomentar.
"Ibuuu... kenapa sih ditulisnya pake pulpen?"
"Ih, ibu nyari-nyari spidol gak ketemu kemarin."
"Ah... ada kok. Pake spidol dong bu, jadi terbaca oleh orang lain. Kalau pake pulpen, terlalu samar."
"Iya.. iya... "
Lantas aku mulai mencari-cari spidol. Tapi, bertemunya dengan stabilo. Warnanya sih orange. Cukup ngejreng kan ya?
Dengan gembira aku pun mulai menulis di kardus, persis seperti yang diingatkan oleh putri remajaku itu.
Setelah selesai menulis, tulisan itu aku pamerkan pada dia.
"Nak.. tuh. Sudah ibu tulis."
Putri remajaku langsung melotot. Sedikit ngambek.
"Ibuuuuuuuuu... aaaahhh.. tau ahhhh."
xixixixixi
Senang aku menggoda remaja ABG yang suka ngambek ini.
Jadi, jangan heran jika ada yang datang ke rumah, maka akan menemukan lemari-lemari yang kosong melompong tak terisi tapi di sudut lain ada tumpukan kardus yang tinggi-tinggi dan b esar-besar. Sebagian sudah diangkut ke rumah kontrakan sih sekarang.
Pekan lalu, giliran kamar menjahit yang aku benahi. Mesin jahit dan semua buku-buku tentang menjahit aku masukkan ke dalam kardus. Lalu aku beri tulisan peringatan di atasnya agar kardus itu tidak ditumpuk dengan kardus buku yang berat-berat. Ugh.. bisa-bisa mesin jahitku rusak jika ditumpuk dengan buku.
Agar tidak ditumpuk, maka aku pun membuat sebuah tanda spesial di kardus itu. Yaitu, kardus mesin jahitnya aku beri tali rafia. Lalu diberi juga tulisan dengan pulpen. Tapi... ugh.. putriku yang sudah jadi ABG remaja, malah ngambek karena semua pertanda itu. Mau tahu kenapa? Ini nih gara-garanya:
Nah... sudah aku tulis kan kata-kata peringatannya.
MESIN JAHIT
JANGAN DITIMPUK... EH
TUMPUK
Iya, ngaku deh. Karena terburu-buru jadi aku salah tulis. Nyari penghapus gak ada jadi ya aku tulis saja ralatnya di bawahnya. Nggak salah kan aku?
Tapi remaja ABG-ku langsung berkomentar.
"Ibuuu... kenapa sih ditulisnya pake pulpen?"
"Ih, ibu nyari-nyari spidol gak ketemu kemarin."
"Ah... ada kok. Pake spidol dong bu, jadi terbaca oleh orang lain. Kalau pake pulpen, terlalu samar."
"Iya.. iya... "
Lantas aku mulai mencari-cari spidol. Tapi, bertemunya dengan stabilo. Warnanya sih orange. Cukup ngejreng kan ya?
Dengan gembira aku pun mulai menulis di kardus, persis seperti yang diingatkan oleh putri remajaku itu.
Setelah selesai menulis, tulisan itu aku pamerkan pada dia.
"Nak.. tuh. Sudah ibu tulis."
Putri remajaku langsung melotot. Sedikit ngambek.
"Ibuuuuuuuuu... aaaahhh.. tau ahhhh."
xixixixixi
Senang aku menggoda remaja ABG yang suka ngambek ini.
Wayang Princess
Jumat, 18 April 2014
Salah satu tempat shalat jumat yang nyaman (krn ada ac, karpetnya empuk, suasananya tenang) dan perempuan yang ikut serta bisa punya tempat menunggu yang enak juga adalah di Plaza Indonesia, jakarta lantai 6.
Jadi sementara para lelaki shalat Jumat para perempuan bisa cuci mata di etalase toko (*hahhaha gaya hidup hedon banget yaks?... biarin)
Nah.. ketika sedang jalan2 itu aku dan putriku bertemu dengan stand boneka. Dan mereka ternyata menjual figurine Princess Sofia sekeluarga.
Wahhh..
Putriku yang merupakan penggemar Princess Sofia langsung riang ketika kutawari untuk membelinya.
Sekejap kemudian, dia sudah memainkan salah satu scene film Sofia The First.
Wahhh..
Putriku yang merupakan penggemar Princess Sofia langsung riang ketika kutawari untuk membelinya.
Sekejap kemudian, dia sudah memainkan salah satu scene film Sofia The First.
"Aku hafal semua adegan film itu bu."
Gayanya mirip sekali dengan gaya dalang. Mungkin, cerita yang dia mainkan dengan figurine tersebut bisa dikatakan sebagai wayang modern. Senang saja melihatnya.
Tanda-Tanda Anak Yang Dibully (part 1)
Kamis, 03 April 2014
Pagi ini aku menyimak berita tentang anak SD di Pontianak yang diduga tewas setelah dikeroyok oleh tiga orang temannya di Sekolah Dasar. Tentu saja ini masih sebuah dugaan belum pasti penyebabnya karena keroyokan. Karena hasil visum dari dokter dikatakan bahwa AW itu di perutnya memang terdapat gumpalan darah, dan kerusakan di bagian lambung dan ginjalnya yang kemungkinan karena dua hal, bisa karena hantaman benda tumpul atau penyakit Types yang tidak disembuhkan secara tuntas dan dibiarkan sakit selama beberapa kurun waktu.
Ini nih beritanya yang aku kutip dari liputan6.com:
![]() |
| foto rontgen korban. Gambar ini aku ambil dari sini |
Prihatin banget aku dengan kasus ini. Jika benar terbukti penyebab tewasnya benar karena keroyokan, itu kan berarti anak kecil itu sudah menerima perlakuan bullying di sekolahnya. Ohya.. kalian tahu tidak apa itu perilaku Bullying? Berikut ini aku kutip apa artinya dan apa saja perilaku yang bisa dikatakan sebagai kategori bullying dari website Psikologi berikut ini:
Bullying adalah salah satu bentuk dari perilaku agresi dengan kekuatan dominan pada perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan mengganggu anak lain atau korban yang lebih lemah darinya. Victorian Departement of Education and Early Chilhood Development mendefinisikan bullying terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengganggu atau mengancam keselamatan dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun psokologis, mengancam properti, reputasi atau penerimaan sosial seseorang serta dilakukan secara berulang dan terus menerus.
Bentuk-bentuk bullying antara lain seperti berikut :
Bullying fisik, contohnya memukul, menjegal, mendorong, meninju, menghancurkan barang orang lain, mengancam secara fisik, memelototi, dan mencuri barang.
Bullying psikologis, contohnya menyebarkan gosip, mengancam, gurauan yang mengolok-olok, secara sengaja mengisolasi seseorang, mendorong orang lain untuk mengasingkan seseorang secara soial, dan menghancurkan reputasi seseorang.
Bullying verbal, contohnya menghina, menyindir, meneriaki dengan kasar, memanggil dengan julukan, keluarga, kecacatan, dan ketidakmampuan (exampel : "Eh ada sih pincang lewat").
Bullying bisa terjadi di tempat-tempat berikut ini :
Terjadi pada pada situasi di mana pengawasan yang kurang dari orang dewasa, seperti di kamar mandi sekolah, jalan masuk kelas, dan tempat bermain.
Sering terjadi di tempat bermain daripada di kelas.
Interaksi agresif (baik secara fisik maupun verbal) muncul setiap 24 menit di tempat bermain, sedangkan di dalam kelas kemunculannya sekali setiap 37 menit.
Tempat bermain yang biasanya tidak diawasi oleh guru atau orang dewasa, juga sulit dideteksi karena tingginya aktivitas bermain anak-anak di lapangan dan sering dikira sebagai salah satu bentuk permainan anak-anak misalnya permainan gulat.
Di dalam kelas.
Sebenarnya, kita nih sebagai orang tua bisa nggak sih mengetahui apakah anak kita dibully atau tidak di sekolahnya? Insya Allah bisa. Yaitu dengan cara:
1. Jalin komunikasi dengan anak sejak usia mereka masih dini. Jangan pernah jadi orang tua yang terlalu sibuk sehingga lupa untuk menjalin komunikasi dengan anak. Karena, komunikasi yang dijalin ketika si anak sudah berusia remaja atau dewasa, itu sudah amat sulit untuk dilakukan. Biasanya jika pun bisa dilakukan maka bentuk komunikasinya bersifat formalitas saja. Anak hanya akan menjawab jika ditanya saja tapi jawaban yang diberikan pun tidak dijawab sepenuhnya. Hanya sekedarnya saja.
2. Selalu proaktif untuk rajin bertanya pada guru di sekolah tentang perkembangan anak. Nggak usah setiap hari datang ke sekolah jika memang punya karir, tapi ketika ada kesempatan datang ke sekolah, cobalah untuk datang dan menghadap ke guru kelasnya apa saja kemajuan anak, masalah apa yang dihadapi anak, bagaimana pergaulan anak di sekolah, apa yang menurut guru tersebut menjadi kesulitan anak, dll.
3. Jangan pernah abaikan perubahan fisik yang terjadi pada anak anda. Jika dia pulang sekolah jalannya pincang, perhatikan itu pura-pura pincang atau pincang beneran. Tanya kenapa? Bahkan jika ada tahi lalat tumbuh di pipinya pun tetap harus kita tanya ke anak itu, kenapa bisa begitu? Jadi orang tua jaman sekarang nggak boleh terlalu cuek.
4. Kenali satu dua nama teman anak anda. Setidaknya kita bisa mencari jawaban lain dari pada jawaban yang keluar dari mulut anak kita.
5. Lihat apakah ada perubahan sifat dan perilaku pada anak. Seperti jika dia tiba-tiba jadi pemurung, tidak mau sekolah, ngotot minta dibelikan sesuatu jika tidak lebih baik tidak udah sekolah saja, ngotot ingin memiliki sesuatu dan ternyata usia keberadaan barang yang diinginkannya itu tidak panjang di tangannya. Tiba-tiba saja sudah raib. Nah.. ini juga perlu diwaspadai nih. Ada apa sebenarnya?
Aku punya cerita tentang kasus bully. Tapi, aku harus jemput anak sekolah dulu sekarang. Nanti aku sambung lagi ya.
Masa Kecil yang Bahagia
Sabtu, 22 Maret 2014
Masa kecil itu.... selalu luar biasa ya. Aku alhamdulillah memiliki masa kecil yang bahagia. Berbagai macam permainan sudah pernah aku coba, meski semua permainan sederhana. Bukan permainan yang mahal-mahal seperti yang dimiliki oleh anak-anak keluarga berada di perkotaan (penekanannya perkotaan karena aku memang lahir dan besar di kota Jakarta).
Orang tuaku dulu memang memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk bermain dengan siapa saja dan dengan apa saja (bahkan). Pada prinsipnya, ada sebuah nasehat yang ayah sering utarakan padaku ketika aku masih kecil dahulu, "boleh main apa saja, dengan siapa saja, asal jangan sampai merugikan dirimu dan merugikan keluargamu. Titik." Karena pengalaman bermain yang luas tersebut maka alhamdulillah aku merasa sudah melalui masa kecil yang bahagia.
Sekarang, aku sudah ibu-ibu. Dan anak-anakku ada yang masih kecil, ada yang remaja dan ada yang sudah besar. Tentu saja aku ingin mereka pun bisa melalui masa kecil yang bahagia. Itu sebabnya kemarin ketika menjemput putri bungsuku pulang dari sekolahnya, di anak tangga sekolah, putriku tampak sedang berkutat dengan sesuatu di tangannya. Teman-temannya sedang mengerubungi dia.
"Mamanya Hawna.. mamanya Hawna... lihat deh, Hawna masa gak bisa niup balon tiup."
Aku pun melirik ke arah Hawna. Dia tampak sedang berusaha untuk melilitkan cairan alot seperti jelly dari tube kecil agar bisa melilit di pucuk sedotannya. Lalu dia mulai meniup ujung yang tidak ada jellynya. Pipinya gembung. Wajahnya memerah. Tapi tidak ada balon yang keluar.
Seorang temanku, sesama ibu-ibu segera menegurku.
"Ish.. anakmu itu loh. Main gak karuan seperti itu. Itu ngapain coba buang-buang uang beli kayak gituan. Habis ditiup juga nanti dibuang. Aku sudah marahi anakku. Sana.. marahi anakmu juga."
Aku pun mendekati putri bungsuku ini. Dan diam memperhatikan kesibukannya.
"Bisa nggak nak?"
Putriku akhirnya berhenti meniupnya. Dan menatapku dengan wajah memelas.
"Susahhh.. nggak bisa aku niupnya."
Aku memang tidak ingin memarahi anakku. Meski apa yang dia beli dengan uangnya ini adalah sebuah benda yang sia-sia dan jika dipikir-pikir membuang-buang uang, tapi.... ini memang bagian dari masa kecil dia. Dia berhak mencoba berbagai macam permainan. Dan sejauh itu tidak membahayakan nyawanya, aku lebih permisif. Itu sebabnya alih-alih menuruti saran temanku, aku pun meletakkan tas belanjaan di atas lantai dan membantu Hawna memahami seni melilit jelly di ujung sedotan agar jelly itu bisa mengembang dan mengggelembung seperti balon ketika ditiup.
Akhirnya... wajah serius Hawna pun berubah menjadi wajah yang ceria dan bahagia ketika dia berhasil membuat sebuah balon. Tentu saja setelah mengorbankan sebuah sedotan kecil... (hahaha, karena dia selalu menggigit ujung sedotan sehingga ujung sedotan itu pecah.
Gak papah deh. Yang penting Happy ending.
Semoga ini semua kelak menjadi kenang-kenangan masa kecil yang bahagia buat Hawna.
Orang tuaku dulu memang memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk bermain dengan siapa saja dan dengan apa saja (bahkan). Pada prinsipnya, ada sebuah nasehat yang ayah sering utarakan padaku ketika aku masih kecil dahulu, "boleh main apa saja, dengan siapa saja, asal jangan sampai merugikan dirimu dan merugikan keluargamu. Titik." Karena pengalaman bermain yang luas tersebut maka alhamdulillah aku merasa sudah melalui masa kecil yang bahagia.
Sekarang, aku sudah ibu-ibu. Dan anak-anakku ada yang masih kecil, ada yang remaja dan ada yang sudah besar. Tentu saja aku ingin mereka pun bisa melalui masa kecil yang bahagia. Itu sebabnya kemarin ketika menjemput putri bungsuku pulang dari sekolahnya, di anak tangga sekolah, putriku tampak sedang berkutat dengan sesuatu di tangannya. Teman-temannya sedang mengerubungi dia.
"Mamanya Hawna.. mamanya Hawna... lihat deh, Hawna masa gak bisa niup balon tiup."
Aku pun melirik ke arah Hawna. Dia tampak sedang berusaha untuk melilitkan cairan alot seperti jelly dari tube kecil agar bisa melilit di pucuk sedotannya. Lalu dia mulai meniup ujung yang tidak ada jellynya. Pipinya gembung. Wajahnya memerah. Tapi tidak ada balon yang keluar.
![]() |
| Aku dulu menyebut ini "Kelembungan" tapi anak2 sekarang menyebutnya balon tiup. Gambar diambil dari sini |
"Ish.. anakmu itu loh. Main gak karuan seperti itu. Itu ngapain coba buang-buang uang beli kayak gituan. Habis ditiup juga nanti dibuang. Aku sudah marahi anakku. Sana.. marahi anakmu juga."
Aku pun mendekati putri bungsuku ini. Dan diam memperhatikan kesibukannya.
"Bisa nggak nak?"
Putriku akhirnya berhenti meniupnya. Dan menatapku dengan wajah memelas.
"Susahhh.. nggak bisa aku niupnya."
Aku memang tidak ingin memarahi anakku. Meski apa yang dia beli dengan uangnya ini adalah sebuah benda yang sia-sia dan jika dipikir-pikir membuang-buang uang, tapi.... ini memang bagian dari masa kecil dia. Dia berhak mencoba berbagai macam permainan. Dan sejauh itu tidak membahayakan nyawanya, aku lebih permisif. Itu sebabnya alih-alih menuruti saran temanku, aku pun meletakkan tas belanjaan di atas lantai dan membantu Hawna memahami seni melilit jelly di ujung sedotan agar jelly itu bisa mengembang dan mengggelembung seperti balon ketika ditiup.
Akhirnya... wajah serius Hawna pun berubah menjadi wajah yang ceria dan bahagia ketika dia berhasil membuat sebuah balon. Tentu saja setelah mengorbankan sebuah sedotan kecil... (hahaha, karena dia selalu menggigit ujung sedotan sehingga ujung sedotan itu pecah.
Gak papah deh. Yang penting Happy ending.
Semoga ini semua kelak menjadi kenang-kenangan masa kecil yang bahagia buat Hawna.
Obrolan Remaja ABG
Sabtu, 18 Januari 2014
Ada dua hal sepertinya yang dimiliki oleh keluarga kecilku sebagai keluarga yang mengaku modern ini (prikitiw..hehehe; klaim ini kami akui karena:
1. Kami tinggal di perkotaan dan berusaha untuk menjadi keluarga yang mandiri. Yaitu tidak memakai jasa pembantu rumah tangga atau ART tapi berusaha untuk mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri, berbagi tugas dan berusaha untuk bertanggung jawab atas tugas tersebut.
2. Memanfaatkan kemajuan teknologi untuk sesuatu yang tepat guna.
3. Rajin menabung dan sadar terhadap keinginan di masa depan.
4. Menjalankan pola hubungan yang terbuka satu sama lain dan berusaha untuk demokratis.).
2. Memanfaatkan kemajuan teknologi untuk sesuatu yang tepat guna.
3. Rajin menabung dan sadar terhadap keinginan di masa depan.
4. Menjalankan pola hubungan yang terbuka satu sama lain dan berusaha untuk demokratis.).
Warning sign on My Kid's notebook
Remaja itu lucu ya. Mereka ketemuuu aja sesuatu yang bikin kita yang melihatnya jadi senyam senyum sendiri atau jadi merenung.
Seperti yang aku lihat di notebook putriku yang remaja kali ini. Kebetulan listrik di rumahku selama musim hujan yang menderas ini padam separuh rumah. Jadilah aku mengungsi tidur di kamar putriku, umpel-umpelan berempat setelah sebelumnya gotong kasurku ke kamarnya.
Teringat Padamu, Ibu
Minggu, 22 Desember 2013
Dulu, ketika sebelum aku menikah, ayahku yang lumayan romantis sering membangunkan kami anak-anaknya di pagi hari di hari ibu, tanggal 22 Desember setiap tahunnya sekedar untuk mengingatkan bahwa ini adalah hari ibu. Jadi, pagi-pagi ayah akan semakin gencar dengan ritualnya membunyikan besi yang menjadi pegangan di tangga berputar menuju kamar kami yang ada di lantai dua. Besi dipukul dengan sendok sayur dari besi juga. Bunyinya berisik sekali. Luar biasa gaduh. Ayah memang mengadopsi cara efektif membangunkan kami tersebut dari latihan militernya ketika ayah ikut wajib militer ketika kuliah dulu.
"Hei... hari ini hari ibu nih. Ayoooo... ibu hari ini biar santai, kalian yang beres-beres rumah dan masak."
Ibuku biasanya cuma cemberut pura-pura marah karena digoda seperti itu oleh ayah. hehehe.... ibu tahu, anak-anaknya tidak ada satupun yang bisa masak. Tapi, karena ayah berkata seperti itu jadi ibu memberi perintah apa saja yang harus dikerjakan.
"Ayo, hari ini ke pasar dulu ya. Beli ini nih.... (ngasih secarik kertas yang berisi belanjaan)... terus masak ini nih... (ngasi perintah apa saja yang harus dikerjakan dengan semua belanjaan itu)."
Dan mulailai kami anak-anaknya bereksperimen. Hasilnya? Biasanya sih ancur... dan dapur luar biasa berantakan. Dan satu sama lain pada cemberut karena ada yang merasa tidak diperlakukan dengan adil. Maklum, kami bersaudara tidak selalu kompak. Selalu ada figur bossy, dan selalu ada figur pingin diangkat jadi boss, dan selalu ada figur yang merasa diperlakukan sebagai pekerja kelas bawah. hahahaha...
Biasanya kalau sudah begitu, ayah dipastikan akan turun tangan.
Dia akan datang ke dapur dan membantu kami memasak. Jika pun ternyata masakan gagal, ayah akan mengajak kami untuk makan di luar di hari istimewa itu.
Ibuku memang orang yang tidak bisa diam. Ketika di hari istimewa hari ibu (jujur ya, ayahku amat mengistimewakan hari ibu, bahkan lebih istimewa ketimbang hari ulang tahun istrinya; entah mengapa), dia akan mencari-cari kerjaan lain.
"Sudah.. biar bae anak-anak yang begawe. Enga terima beres bae." (bahasa dusun Sekayu, Sumatra Selatan, yang artinya: "sudah... biar saja anak-anak yang bekerja. Kamu terima beres saja.")
Setelah aku dewasa, aku baru tahu kenapa ayah begitu menghargai peringatan hari ibu lebih tinggi ketimbang hari ulang tahun istrinya. Ini aku tanyakan pada ayah ketika ibu sudah meninggal dunia dan ayah jadi begitu rajin datang ke rumahku untuk menghabiskan waktu paginya.
"Hari ulang tahun itu kan sebenarnya hari sedih. Berkurang lagi satu tahun jatah umur kita di dunia. Jadi, makan-makan saja untuk mengingat, bukan untuk merayakan. Tapi kalau hari ibu, kita harus bersyukur ada ibu. Coba liat sekarang, pas ibu sudah tidak ada, jadi terasa timpang kan semua-muanya? Karena ibu yang biasa mengerjakan semuanya untuk kita. Tanpa ibu, kita jadi kerasa nggak bisa apa-apa."
Hmm...
iya sih.
Itu bener banget.
Dulu, aku selalu marah-marah setiap kali aku pergi ke luar kota dan menitipkan kunci rumah di rumah ibuku; ibu selalu mendatangi rumahku dan membereskan rumahku.
"Ibu, ade kan udah gede. udah nikah dan punya anak. Kenapa sih musingin banget rumah ade berantakan atau nggak. Mending ibu santai aja di rumah, nitip kunci kan bukan berarti minta diberesin rumahnya!"
Setelah ibu meninggal dunia, kondisi menjadi terbalik. Ketika aku pulang dengan keadaan yang kelelahan dan cucian kotor menumpuk, entah kenapa aku amat berharap bisa pulang ke rumah yang rapih dan sudah tersedia masakan. Huff... jika saja ibuku masih ada.
Yang lebih parah lagi adalah ketika aku sakit dan harus masuk rumah sakit. Ketika aku pulang kembali ke rumah, dan mendapati rumah yang berantakan, tidak ada masakan, pekerjaan rumah tidak selesai tapi malah bertumpuk, yang aku ingat adalah ibuku.
"Duh, jika ada ibu. Pasti ibu tidak akan membiarkan aku yang baru pulang sakit ini harus segera bekerja lagi dalam rutinitas pekerjaan yang tiada habis, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga."
Huff. Aku rindu ibuku.
Ibuku yang sering marah-marah, tapi hatinya lembut dan penyayang. Ibu marah karena berharap anak-anaknya yang dablek mau berusaha untuk sempurna. Ibu punya patokan tertentu yang harus dipenuhi dan ketika anak-anaknya santai, ibu pun marah.
Pernah suatu hari, ibu marah-marah hebat pada salah satu saudaraku (oh ya, pengumuman nggak penting: aku termasuk anak yang tidak pernah dimarahi oleh ibuku.. heheheheh... *peace). Malam hari, kebetulan aku sering kena insomnia, aku pernah menangkap basah ibuku yang diam-diam masuk ke kamar saudaraku itu. Saudaraku itu sedang tertidur pulas. Ibu lalu mengelus kepala saudaraku itu, memandang wajah saudaraku itu dengan wajah sayang dan .... bersimbah air mata. Ibu menyesal telah bertindak kasar pada saudaraku itu. Tapi... ibu dididik dari kecil untuk tidak boleh meminta maaf pada anak-anak, karena itu akan menurunkan wibawa orang tua. Jadi... ibu hanya bisa menangis diam-diam, dan menyesali diam-diam juga. Dan aku cuma bisa jadi penonton diam-diam juga. Pura-pura tidur padahal merhatiin.
Ibu juga pernah menangis dan memelukku erat-erat ketika aku kelas dua SD. Ibu baru saja pulang dari ambil rapor dan raporku kebakaran. Semua nilainya merah semua, kecuali pelajaran agama dan kesenian (menyanyi).
"Penembai?" kata ayah, yang bertanya dalam bahasa Sekayu yang artinya kenapa. Ibu dan ayah memang sering berkomunikasi dengan bahasa Sekayu di rumah.
"Ika... gurunya ade bilang ke aku bahwa ade tuh ediot. kitek diminte masuke ade ke sekolah lain bae."
"Ai... ndak mungkin ade ediot." (ayah menolak dengan keras sambil menatap ke arahku yang duduk mengkerut karena baru saja selesai dimarahi ayah karena raporku merah semua). Ibu lalu membawaku ke psikolog dan aku pun mengikuti rangkaian test dan hasilnya, aku punya IQ yang di atas rata-rata. Tapi... kenapa rapornya merah semua? Psikolog memberi beberapa nasehat.
"Aku cari guru les bae amon mitu." (ibu lalu berinisiatif untuk mencari guru les untukku. Di tahun 1978, sekolah SD belum banyak jadi untuk mindahin sekolah rasanya sulit. Mencari guru les privat lebih enak).
Akhirnya, aku ikut les privat. Guru les privatku sabar menuntun dan memberi tips-tips khusus. Aku memang punya kekurangan untuk dis-orientasi arah. Karena kekurangan ini, aku menjadi sulit untuk membaca, menulis dan berhitung. Itu sebabnya raporku merah semua. Yang biru hanya dua pelajaran, agama (karena di jaman orde baru yang anti komunis, semua anak tidak boleh mendapat nilai merah di pelajaran agama; kecuali jika dia memang tidak punya tuhan atau terang-terangan mengaku sebagai komunis. Tapi, memangnya ada?) dan kesenian (kesenian karena tidak pernah nulis atau baca, isinya hanya menyanyi dan menggambar saja).
6 bulan les privat, aku bisa mengejar semua ketertinggalanku. Bahkan berhasil masuk peringkat 5 besar di semester akhir kenaikan kelas.
Itu sebabnya ketika aku pada akhirnya berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri : Universitas Indonesia, di perayaaan keberhasilanku masuk UI, ibu menyempatkan diri memelukku erat-erat di kamar mandi kampus.
"Ade.. .terima kasih ya nak. Kamu sudah berusaha keras dan ngeyakinin ibu bahwa ibu nggak salah mercayaain kamu bahwa kamu emang bisa berhasil."
Ya. Ibu memang selalu percaya padaku. Bahwa aku tidak idiot seperti dipersangkakan oleh guruku dulu.
Ibu juga percaya bahwa aku sama dengan anak-anak lain dan dia sukses mengembangkan rasa percaya diriku.
Ibu, dengan semua kesederhanaannya, telah berhasil mendidik aku menjadi seperti sekarang.
Itu sebabnya aku teringat ibu lagi di hari ibu ini.
Ibu.... terima kasih ya... maafin ade banyak salah dulu. Dan selalu membuat rusuh hatimu.
"Hei... hari ini hari ibu nih. Ayoooo... ibu hari ini biar santai, kalian yang beres-beres rumah dan masak."
Ibuku biasanya cuma cemberut pura-pura marah karena digoda seperti itu oleh ayah. hehehe.... ibu tahu, anak-anaknya tidak ada satupun yang bisa masak. Tapi, karena ayah berkata seperti itu jadi ibu memberi perintah apa saja yang harus dikerjakan.
"Ayo, hari ini ke pasar dulu ya. Beli ini nih.... (ngasih secarik kertas yang berisi belanjaan)... terus masak ini nih... (ngasi perintah apa saja yang harus dikerjakan dengan semua belanjaan itu)."
Dan mulailai kami anak-anaknya bereksperimen. Hasilnya? Biasanya sih ancur... dan dapur luar biasa berantakan. Dan satu sama lain pada cemberut karena ada yang merasa tidak diperlakukan dengan adil. Maklum, kami bersaudara tidak selalu kompak. Selalu ada figur bossy, dan selalu ada figur pingin diangkat jadi boss, dan selalu ada figur yang merasa diperlakukan sebagai pekerja kelas bawah. hahahaha...
Biasanya kalau sudah begitu, ayah dipastikan akan turun tangan.
Dia akan datang ke dapur dan membantu kami memasak. Jika pun ternyata masakan gagal, ayah akan mengajak kami untuk makan di luar di hari istimewa itu.
Ibuku memang orang yang tidak bisa diam. Ketika di hari istimewa hari ibu (jujur ya, ayahku amat mengistimewakan hari ibu, bahkan lebih istimewa ketimbang hari ulang tahun istrinya; entah mengapa), dia akan mencari-cari kerjaan lain.
"Sudah.. biar bae anak-anak yang begawe. Enga terima beres bae." (bahasa dusun Sekayu, Sumatra Selatan, yang artinya: "sudah... biar saja anak-anak yang bekerja. Kamu terima beres saja.")
Setelah aku dewasa, aku baru tahu kenapa ayah begitu menghargai peringatan hari ibu lebih tinggi ketimbang hari ulang tahun istrinya. Ini aku tanyakan pada ayah ketika ibu sudah meninggal dunia dan ayah jadi begitu rajin datang ke rumahku untuk menghabiskan waktu paginya.
"Hari ulang tahun itu kan sebenarnya hari sedih. Berkurang lagi satu tahun jatah umur kita di dunia. Jadi, makan-makan saja untuk mengingat, bukan untuk merayakan. Tapi kalau hari ibu, kita harus bersyukur ada ibu. Coba liat sekarang, pas ibu sudah tidak ada, jadi terasa timpang kan semua-muanya? Karena ibu yang biasa mengerjakan semuanya untuk kita. Tanpa ibu, kita jadi kerasa nggak bisa apa-apa."
Hmm...
iya sih.
Itu bener banget.
Dulu, aku selalu marah-marah setiap kali aku pergi ke luar kota dan menitipkan kunci rumah di rumah ibuku; ibu selalu mendatangi rumahku dan membereskan rumahku.
"Ibu, ade kan udah gede. udah nikah dan punya anak. Kenapa sih musingin banget rumah ade berantakan atau nggak. Mending ibu santai aja di rumah, nitip kunci kan bukan berarti minta diberesin rumahnya!"
Setelah ibu meninggal dunia, kondisi menjadi terbalik. Ketika aku pulang dengan keadaan yang kelelahan dan cucian kotor menumpuk, entah kenapa aku amat berharap bisa pulang ke rumah yang rapih dan sudah tersedia masakan. Huff... jika saja ibuku masih ada.
Yang lebih parah lagi adalah ketika aku sakit dan harus masuk rumah sakit. Ketika aku pulang kembali ke rumah, dan mendapati rumah yang berantakan, tidak ada masakan, pekerjaan rumah tidak selesai tapi malah bertumpuk, yang aku ingat adalah ibuku.
"Duh, jika ada ibu. Pasti ibu tidak akan membiarkan aku yang baru pulang sakit ini harus segera bekerja lagi dalam rutinitas pekerjaan yang tiada habis, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga."
Huff. Aku rindu ibuku.
Ibuku yang sering marah-marah, tapi hatinya lembut dan penyayang. Ibu marah karena berharap anak-anaknya yang dablek mau berusaha untuk sempurna. Ibu punya patokan tertentu yang harus dipenuhi dan ketika anak-anaknya santai, ibu pun marah.
Pernah suatu hari, ibu marah-marah hebat pada salah satu saudaraku (oh ya, pengumuman nggak penting: aku termasuk anak yang tidak pernah dimarahi oleh ibuku.. heheheheh... *peace). Malam hari, kebetulan aku sering kena insomnia, aku pernah menangkap basah ibuku yang diam-diam masuk ke kamar saudaraku itu. Saudaraku itu sedang tertidur pulas. Ibu lalu mengelus kepala saudaraku itu, memandang wajah saudaraku itu dengan wajah sayang dan .... bersimbah air mata. Ibu menyesal telah bertindak kasar pada saudaraku itu. Tapi... ibu dididik dari kecil untuk tidak boleh meminta maaf pada anak-anak, karena itu akan menurunkan wibawa orang tua. Jadi... ibu hanya bisa menangis diam-diam, dan menyesali diam-diam juga. Dan aku cuma bisa jadi penonton diam-diam juga. Pura-pura tidur padahal merhatiin.
Ibu juga pernah menangis dan memelukku erat-erat ketika aku kelas dua SD. Ibu baru saja pulang dari ambil rapor dan raporku kebakaran. Semua nilainya merah semua, kecuali pelajaran agama dan kesenian (menyanyi).
"Penembai?" kata ayah, yang bertanya dalam bahasa Sekayu yang artinya kenapa. Ibu dan ayah memang sering berkomunikasi dengan bahasa Sekayu di rumah.
"Ika... gurunya ade bilang ke aku bahwa ade tuh ediot. kitek diminte masuke ade ke sekolah lain bae."
"Ai... ndak mungkin ade ediot." (ayah menolak dengan keras sambil menatap ke arahku yang duduk mengkerut karena baru saja selesai dimarahi ayah karena raporku merah semua). Ibu lalu membawaku ke psikolog dan aku pun mengikuti rangkaian test dan hasilnya, aku punya IQ yang di atas rata-rata. Tapi... kenapa rapornya merah semua? Psikolog memberi beberapa nasehat.
"Aku cari guru les bae amon mitu." (ibu lalu berinisiatif untuk mencari guru les untukku. Di tahun 1978, sekolah SD belum banyak jadi untuk mindahin sekolah rasanya sulit. Mencari guru les privat lebih enak).
Akhirnya, aku ikut les privat. Guru les privatku sabar menuntun dan memberi tips-tips khusus. Aku memang punya kekurangan untuk dis-orientasi arah. Karena kekurangan ini, aku menjadi sulit untuk membaca, menulis dan berhitung. Itu sebabnya raporku merah semua. Yang biru hanya dua pelajaran, agama (karena di jaman orde baru yang anti komunis, semua anak tidak boleh mendapat nilai merah di pelajaran agama; kecuali jika dia memang tidak punya tuhan atau terang-terangan mengaku sebagai komunis. Tapi, memangnya ada?) dan kesenian (kesenian karena tidak pernah nulis atau baca, isinya hanya menyanyi dan menggambar saja).
6 bulan les privat, aku bisa mengejar semua ketertinggalanku. Bahkan berhasil masuk peringkat 5 besar di semester akhir kenaikan kelas.
Itu sebabnya ketika aku pada akhirnya berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri : Universitas Indonesia, di perayaaan keberhasilanku masuk UI, ibu menyempatkan diri memelukku erat-erat di kamar mandi kampus.
"Ade.. .terima kasih ya nak. Kamu sudah berusaha keras dan ngeyakinin ibu bahwa ibu nggak salah mercayaain kamu bahwa kamu emang bisa berhasil."
Ya. Ibu memang selalu percaya padaku. Bahwa aku tidak idiot seperti dipersangkakan oleh guruku dulu.
Ibu juga percaya bahwa aku sama dengan anak-anak lain dan dia sukses mengembangkan rasa percaya diriku.
Ibu, dengan semua kesederhanaannya, telah berhasil mendidik aku menjadi seperti sekarang.
Itu sebabnya aku teringat ibu lagi di hari ibu ini.
Ibu.... terima kasih ya... maafin ade banyak salah dulu. Dan selalu membuat rusuh hatimu.
Langganan:
Komentar (Atom)












.jpg)
.jpg)
.jpg)





.jpg)

















