[REVIEW BUKU]
Prolog dari aku.
Aku ingat doaku ketika naik haji di tahun 2018 silam. Doa yang setiap hari, bahkan setiap shalat dan setiap berdoa aku panjatkan di tanah suci. Aku berdoa, agar diriku, diri anak-anakku, dan suamiku serta keturunanku, dimudahkan untuk bisa belajar dan mencintai Al Quran.
Waktu itu, rasanya tumbuh sebuah kesadaran bahwa pegangan hidup yang paling pasti itu cuma satu, AL Quran saja. Tidak ada yang lain. Dan kondisi sebenarnya, aku dan anak-anak, hanya berinteraksi dengan Al Quran secara basa-basi saja. Sekedar bisa membaca, lalu sebagaimana bahan bacaan lainnya, setelah selesai dibaca tidak ada bekasnya di dalam hati. Menyedihkan sekali.
Jika dalam sehari yang selama 24 jam tersebut dibuat bagan penggunaan waktu, maka kurva untuk membaca Al Quran mungkin hanya 1% atau bahkan kosong. Dan itupun hanya sekedar dibaca saja. Tidak ada rasa nikmatnya. Benar-benar hanya sekedar "isi presensi sudah baca Al Quran agar nanti di hari kiamat, kabar bahwa kami pernah baca quran tidak dianggap hoax karena ada bukti centang di list kewajiban tersebut".
Di masjid Nabawi, hal pertama yang aku lihat ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana di kala Shalat Shubuh itu adalah, seorang perempuan tua yang duduk membaca AL Quran sambil mengalirkan air matanya. Begitu khusyuk, dan seakan tidak peduli dengan sekitarnya. Seakan ketika sedang membaca itu, yang ada di muka bumi ini hanya dia dan Al Qurannya saja.







