Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Tatap Muka

 [Cerpen IndiHome] 

Tatap Muka

(oleh : Ade Anita)

Jempol Bu Brata bergerak menggeser layar handphone agar isi berita yang tampil di layar berubah. Menelusuri satu demi satu isi obrolan yang tampil runut di grup chat. Mencari sebuah nama.

"Hei, mau sampai kapan sih asyik dengan hamdphonenya? Ini kenapa deh, yang jauh dicari yang dekat dicuekin." Pak Brata memperlihatkan wajah cemberut. Tapi ekspresi ini diacuhkan oleh Bu Brata. Bu Brata tahu, suaminya tidak benar-benar sedang marah. Protes iya, tapi marah tidak. 35 tahun menikahi lelaki, yang kini memiliki rambut tipis beruban dan separuh botak, membuat Bu Brata tahu kebiasaan suaminya. Pria bermata lembut itu selalu berusaha keras mengerti dirinya dan selalu punya segudang kata maaf dan maklum atas apapun yang Bu Brata lakukan.

"Ih, si papa. Aku lagi cari komentarnya Elsye. Kok dia sudah lama loh nggak ikutan kasih komen di grup alumni SD."

"Ya bisa saja kan dia lagi sibuk?" Pak Brata menjulurkan lehernya hingga kepalanya condong ke arah layar handphone istrinya. Matanya seakan berusaha untuk mencuri lihat percakapan di layar handphone. Tapi Bu Brata tahu, sekeras apapun usaha Pak Brata melirik tulisan di layar handphone di tangannya, besar kemungkinan Pak Brata tetap tidak bisa membacanya. Kedua mata lelaki berusia 65 tahun itu sudah ada kataraknya. Stadium 4 pula. Jadi, jika membaca harus benar-benar dekat dengan wajah baru bisa terlihat jelas.

#Prompt11-a: Pembayaran

[Cerita Mini] Mata Taufik tidak berkedip. Bola matanya berputar-putar di tempat sementara suara desis kecil terdengar dari mulutnya. Sesekali, bola matanya terangkat ke depan. Pada sepasang muda mudi yang sedang asyik ngobrol di depan meja kasirnya. Pasangan yang mesra. Tangan cowoknya sesekali terangkat untuk sekedar menyapu poni yang jatuh di atas kening ceweknya. Tapi melihat itu semua hati Taufik malah semakin merasa dongkol. Sebal. Sementara jemari Taufik terus bergerak lincah menghitung uang receh yang amat banyak di hadapannya dengan mulut berdesis.

Prompt #11: Nota: Papa, maafkan aku


gambar diambil dari sini


[Cerita Mini] Peluh sebesar jagung yang merekah karena terkena panas panggangan muncul di pelipis Ratri. Hatinya tercekat. Matanya diam-diam menatap lima orang rekan kerjanya yang duduk di meja di depannya. Ruang kantornya memang tidak ada sekat antara meja satu dengan meja lain. Bahkan peletakan meja diatur berbentuk lingkaran sehingga setiap orang bisa mengawasi orang yang lain dalam mengerjakan tugas masing-masing. Kecil kemungkinan untuk melakukan transaksi atau bahkan kecurangan di tempat yang seterbuka ini.

Prompt #10: Shioban dan Kereta Kuda: Mau kelilng kota bersamaku, cantik?


"Duh, itu cewek... emm... emg! Cakep luar dalam kayaknya." Shioban mengerling ke arah seorang perempuan cantik yang berjalan amat sangat anggun di pinggir jalan. Pakaiannya amat sangat indah. Sebuah gaun panjang dengan kawat melingkar yang membuat bagian bawah gaun tersebut mengembang menyerupai bunga terompet. Sebuah payung kecil yang terbuat dari kain putih yang disulam dengan sulaman gambar bunga yang melingkar tampak menghiasi bagian pinggir payung tersebut. Tangkai payungnya sendiri terbuat dari kayu ramping yang dipernis dengan semprotan warna keemasan.

(Prompt #9 Parfum) : Parfum Cap Putri Duyung


[Cerita mini]  "Nanti jangan lupa ya nak, sampai di rumah nenek, kamu harus langsung cium tangan nenek." Doni langsung manyun. Pipi gembilnya tampak ikut menggelembung seperti menyamakan kedudukan dengan bibirnya yang monyong.
"Aku sebenarnya gak suka jika harus cium tangan nenek."

(Promp #8: Kendi) : Nama Kendi


[Cerita Mini] "Jadi, mau kau kasih nama siapa anakmu nanti?"
"Sandi."
"Apa artinya? Kayak nama minuman."
"Bendi."
"Itu malah nama kendaraan yang ditarik kuda. Memangnya anakmu sejenis dokar?"
"Randi."
"Gak match deh. Hayoo, jangan bilang kamu terinspirasi nama salah satu juri american idol ya?"
"Jadi apa dong? Semua jadi serba salah."
"Kata orang tua jaman dulu, biar nama bisa sehati dengan orangnya, padankan saja dengan sesuatu yang terlintas di ingatan. Sesuatu yang penting dan tidak terlupakan."

I Just Want Be With You

A Naked truth , Relations are more Important than money!


SON: "Daddy, may I ask you a question?"
DAD: "Yeah sure, what is it?"
SON: "Daddy, how much do you make an hour?"
DAD: "That's none of your business. Why do you ask such a thing?"
SON: "I just want to know. Please tell me, how much do you make an hour?"
DAD: "If you must know, I make $100 an hour."
SON: "Oh! (With his head down).
SON: "Daddy, may I please borrow $50?"
The father was furious.
DAD: "If the only reason you asked that is so you can borrow some money to buy a silly toy or some other nonsense, then you march yourself straight to your room and go to bed. Think about why you are being so selfish. I work hard everyday for such this childish behavior."


Contoh penulisan Cerpen yang FUll DIalog


Pengantar dari ade anita:
Sebuah cerpen, sejatinya adalah sebuah cerita dimana di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang menggambarkan karakter tertentu dan merajut sebuah jalinan cerita tertentu. Ada pembukaan, ada konflik dan ada penutupnya. Penutupnya bisa solusi dari konflik yang berkembang, tapi bisa juga klimaks dari konflik sehingga penutupannya bersifat terbuka.

Dengan Permen GoFress, Bau Mulut Go Away

[Lifestyle] Aku, paling suka lihat laki-laki yang memakai kacamata sejak dahulu. Di depan mataku, mereka sering terlihat begitu cerdas dengan kacamatanya. Apalagi jika sambil menjelaskan sesuatu lalu dia membetulkan letak kacamatanya yang melorot di hidungnya dengan ujung telunjuk yang sebenarnya semula sedang bergerak-gerak menjelaskan sesuatu.

Wah. Keren abiss.

cerpen remaja: Bundaku dan Biola Ayah (*suka banget cerpen remaja yang satu ini, sukaaa banget)


Bundaku dan Biola Ayah

Cerpen: Desinta Nuzulyanur Ahmad
*Peraih anugerah cerpen terbaik IV dalam LMC-SMP 2012 Kemendikbud*


SEJAK ayah wafat dua tahun lalu, hampir semua waktuku di sisi bunda. Ayah orang baik, tak pernah marah. Setiap kali beliau menasehatiku, dituntunnya aku pada cerita-cerita terlebih dulu. Mirip orang yang mendengar dongengan, aku menyimak setiap cerita ayah, sampai akhirnya aku tangkap maksud yang hendak disampaikan beliau. Lalu, beliau memelukku, mencium keningku dengan sayang.

“Kau selalu harum seperti ini. Baumu tak berubah sejak kau bayi hingga sekarang,” begitu kata ayah, sebelum ke kantornya, dua tahun lalu. Aku membalas ciuman ayah pada kedua pipinya. Aku tak menyangka itulah kali terakhir aku melihat senyum ayah.

Tujuh jam kemudian, polisi menelepon bunda, menyampaikan kabar yang seharusnya tak pernah kami dengar. Bunda menjemputku dari sekolah, dan lembut mengabarkan padaku tentang ayah: beliau tertabrak dalam sebuah kecelakaan tunggal, dan wafat dalam perjalanan ke rumah sakit.

Ya, seharusnya kabar seperti itu tak pernah sampai pada kami. Keluarga kami mengurus pemakaman ayah dengan baik. Aku hanya sempat melihat wajah ayah sebelum dikafani, untuk berpamitan terakhir kali, setelah itu semuanya gelap.

Bunda tepat di sisiku saat aku terbangun beberapa jam kemudian. Aku pingsan, sehingga tak sempat menghadiri pemakaman ayah. Tapi senyum di bibir bunda, tak sanggup menghalau gundahku. Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan bunda. Entah kenapa, bunda begitu tabah. Hanya sekali kulihat bunda menitikkan air mata, dan selanjutnya lebih sering menenangkanku dengan senyumnya yang tulus.

Namaku Cinta, aku anak tunggal. Ibu Heny adalah bundaku. Kini aku duduk di kelas VII pada sebuah SMP negeri.

**

KAMI harus bersyukur sebab ayah meninggalkan pada kami harta yang cukup banyak dan usaha yang tak tergolong kecil. Sebuah rumah yang lumayan bagus dan sebuah hotel kelas melati yang beliau miliki sejak 15 tahun silam. Bunda harus meninggalkan lebih banyak urusan rumah, dan meluangkan separuh waktunya mengambil alih bisnis ayah.

Aku tergolong anak yang dididik untuk mandiri. Kehilangan separuh waktu ayah saat beliau masih hidup, tak begitu menggangguku. Tapi kini, menyadari hilangnya pula separuh waktu bunda buatku, sungguh sulit aku terima.

“Bunda, Cinta berangkat dulu, ya...” Kataku sambil mencium tangan bunda.

Bunda menyentuh dua pipiku, hendak mencium keningku, tapi bergegas aku mundur. Bunda melihatku dengan heran. “Cinta, kok gitu...?” Ucap bunda heran.

Bunda masih saja keheranan dengan tingkah anehku ini. Padahal sudah dua tahun, aku kerap menolak keningku di cium dan menolak mendengar cerita pagi dari bunda. Setiap kali aku menolak, setiap kali pula bunda berusaha terus melakukannya. Aku tak pernah mau menjelaskan alasannya pada bunda.

Bunda seharusnya bisa mengerti, bahwa itu sangat menyakitkan.

“Iya. Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa bekalnya dimakan...Cinta kan tak sempat serapan,” saran bunda. Aku mengangguk, tersenyum.

Beliau pun tersenyum melepasku. Setiap pagi, sopir akan mengantarku ke sekolah, dan kembali untuk menjemputku pada siang harinya. Aku pernah menolak saat bunda berniat membelikan buatku mobil, agar aku bisa menyetir sendiri ke sekolah. Menurutku, mobil belum pantas kugunakan ke sekolah. Aku khawatir akan membuatku tinggi hati dan menjauhkanku dari kawan-kawanku. Di antar-jemput oleh sopir, sudah lebih dari cukup untuk saat ini.

Aku menjalankan semua rutinitasku sebagai gadis remaja. Kujalankan kewajiban utamaku, yakni belajar dan memperdalam kemampuanku dalam beberapa hal. Aku senang bermain biola, karena itupun aku jadinya menyukai piano. Tak pernah aku melewatkan waktu kursus dua alat musik itu. Tanpa sepengetahuan bunda, aku pun menyukai menulis.

Segala hal aku tuliskan dalam sebuah buku yang kerap kubawa kemana-mana. Buku kecil itu bukan diary, tapi hanya buku biasa tempatku menuliskan pengalaman apa saja yang aku temui dalam sehari ini. Banyak buku yang telah kuhabiskan untuk menuliskan banyak hal-hal menarik dan menyentuh hatiku.

Dari semua buku-buku kecil itu, tak pernah terbetik dalam pikiranku untuk menuliskan sesuatu tentang ayah dan bundaku. Aku menolak itu, bukan sekadar karena aku tak ingin. Aku memang terganggu dengan semua kejadian di masa lalu yang terasa begitu cepat, membuatku sukar mengingat hal-hal kecil yang sanggup membuatku emosional.

Apa yang harus kutuliskan tentang bunda? Bukan hal menarik, jika aku menuliskan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga dan orang tua tunggal. Tidak akan menarik jika aku menulis tentang kesanggupan bunda mengambil alih semua bisnis sepeninggal ayah.

Lalu, tentang ayah. Aku bahkan tak begitu ingat apa yang terjadi pada hubungan kami, selain bahwa ayah adalah orang yang baik dan santun. Ayah hampir tak pernah mengajakku ke kantornya, atau mengenalkanku pada berbagai pekerjaannya. Selain itu semua, yang aku ingat dari mereka berdua hanyalah pengalaman-pengalaman indah saat liburan bersama. Kami tertawa, melakukan banyak hal konyol, dan ayah bercerita sesuatu yang lucu di depanku dan bunda, lalu kami tertawa terbahak-bahak.

Masa-masa indah itu tak akan pernah terulang lagi. Jikapun harus terulang, maka aku tak bisa bermimpi, bahwa pengalaman kami dulu akan persis sama sekali. Tidak. Tidak pernah akan sama lagi. Karena itulah aku menolak menuliskan semua pengalaman itu.

Biar saja, biar saja semua kenangan tentang ayah mengendap di kepalaku, membentang seperti buku yang terbuka yang bisa kubaca sewaktu-waktu. Atau, seperti sebuah tempat yang menyimpan kotak-kotak kenangan, dan bisa sesekali kukunjungi jika aku membutuhkannya. Masalahnya: tak ada apapun dalam buku yang terbuka itu, atau dalam kotak-kotak kenangan itu. Hampir kosong sama sekali.

**

“BUNDA tak lupa kan dengan ulang tahunku?” Tanyaku cemas. Bunda sangat sibuk akhir-akhir ini. Beberapa pekerjaan telah menyita waktunya.

“Tidak.” Jawab bunda singkat. Beliau tak menoleh. Di depannya bertumpuk banyak sekali dokumen yang sedang diperiksanya satu per satu. Tangan bunda menari-nari di atas kertas-kertas itu, mencoret yang tak perlu. Kacamatanya nyaris jatuh, hanya tersangkut sedikit di pucuk hidungnya.

Merasa tak diperhatikan, aku beranjak ke sofa di sisi lain kamar bunda yang luas itu, membanting diri di situ. Kesal.

“Ada apa, Cinta?” Kudengar suara menyapaku. Saat menoleh ke arah bunda, kulihat beliau sedang menatapku sambil tersenyum. “Cinta mau sesuatu?” Tanya bunda lebih lanjut.

“Bunda harus ada saat ultahku nanti. Cinta tak mau malu di hadapan teman-teman,” ujarku.

Bunda meletakkan pena dan menutup dokumen di depannya, bangkit dari duduknya, dan berjalan menghampiriku di sofa. “Tentu saja Bunda akan hadir. Bunda tak akan pernah melewatkan hari di mana Bunda dan Ayah merasa sangat...sangat bahagia. Hari di mana kami berdua merasa hidup kami sangat lengkap adalah hari ketika Cinta lahir ke dunia ini.”

Entah kenapa aku justru benci mendengar itu.

“Mengapa semua hal harus dikaitkan dengan Ayah? Kenapa setiap kali Bunda bercerita, selalu saja ada Ayah di sana?” Aku nyaris menjerit saat mengatakan itu.

Wajah bunda seketika memerah. Beliau terdiam mendengar pertanyaanku itu. Hatiku berdesir, takut dan merasa bersalah.

“Cinta...” namaku disebut bunda, sebelum kemudian mata beliau berkaca-kaca.

“Cinta benci setiap kali Bunda mengingatkanku soal Ayah. Kenapa tidak pernah tentang kita berdua saja, sebab memang kini...kini hanya tinggal kita berdua saja, kan?” Aku kian tak terkendali.

Wajah bunda kian pias. Mungkin, bunda tak pernah menyangka aku akan menolak sekeras itu. Mata bunda kini tak sekadar berkaca-kaca lagi, tapi beliau menangis. Sebentuk air kini mengalir dari sudut mata bunda.

Aku seketika berdiri, melempar bantal sofa kembali ke tempatnya, dan setengah menangis, aku berlari keluar dari kamar bunda. Bunda hanya mengangkat tangannya saja, seperti hendak menggapaiku. Tapi aku tidak peduli. Ini sudah sangat menyesakkan dada, dan selanjutnya aku menumpahkan semua kesalku, menutup mukaku dengan bantal dan menangis sejadi-jadinya.

**

PERTENGKARAN lima hari lalu itu masih terbayang di kepalaku. Semua kejadian malam itu masih dapat kuceritakan dengan jelas. Sebenarnya, tak cocok disebut pertengkaran, sebab bunda bahkan tak berkata apa-apa. Hanya aku saja yang bersuara keras dan arogan. Sejak pagi esoknya hingga kini di lima hari berikutnya, tak sedikitpun aku menegur bunda.

Hari ini tiba. Hari ulang tahunku yang ke-13. Setelah ‘berselisih’ dengan bunda, kini aku sama sekali tak bisa berharap bunda akan datang, walaupun pesta ulang tahun kecil-kecilan ini diadakan di hall hotel milik bunda. Beliau tentu sedih dan kecewa setelah mendengar aku bicara seperti itu. Betapa menyesalnya aku membuat bunda sesedih itu.

Para tamu, khususnya kawan-kawanku sudah berdatangan. Setiap kali ada yang berjalan memasukihall, aku selalu berharap bahwa itu adalah bunda. Hingga lima menit waktu tersisa, bunda tak kulihat memasuki ruangan ini. Beliau rupanya tak datang sebagai hukuman buatku yang telah membuat hatinya sedih.

Acara memang dilangsungkan tanpa bunda. Beberapa guruku dan kawan-kawan dekatku juga mempertanyakan ketidak hadiran bunda, dan aku tak bisa menjawab setiap pertanyaan itu. Seorang asisten bunda yang sedari awal diminta oleh beliau mempersiapkan semua kebutuhan untuk acara ini, yang akhirnya menjawab semua pertanyaan itu.

Aku ini anak tunggal bunda dan beliau menghukumku seperti ini. Rasa bersalahku menjadi-jadi. Kemeriahan ini tak ada artinya bagiku lagi. Jika saja aku tak malu meninggalkan semua tamu dan kawan-kawanku, sudah sejak tadi ingin rasanya aku menghindar, berlari keluar dan pulang ke rumah. Tapi, tidak. Aku tidak boleh kian merusak suasana yang sudah tak nyaman ini.

Sebuah tangan menyentuh bahuku dari belakang dengan lembut. Aku berpaling, dan mendapati bunda sedang tersenyum padaku. Entah bagaimana, dan sejak kapan bunda ada di belakangku. Barangkali bunda masuk dari pintu belakang hall.

“Bunda...” Aku menyebut namanya pelan. Beliau hanya tersenyum.

“Anak gadis Bunda sekarang semakin besar. Rasanya baru kemarin Bunda menggendongmu, dan kini lihatlah...kau sudah semakin besar,” tukas bunda menyentuh pipiku. Entah kenapa suasana tiba-tiba hening.

“Bunda sadar, sejak Ayah meninggalkan kita, kasih sayang buatmu tak akan pernah lengkap lagi. Tapi Bunda berusaha, Cinta...Bunda berusaha mengisi separuh bagian yang kosong itu. Bunda hanya berusaha menjaga apa yang sudah ditinggalkan Ayah pada kita, dan selebihnya...” bunda berhenti sejenak. Mata beliau berkaca-kaca, “...selebihnya adalah waktu Bunda hanya buat Cinta,” lanjut bunda.

Tak terasa, air mataku pun jatuh. Aku tercekat, pilu dan gugup.

“Barangkali Cinta merasa semua sayang yang coba Bunda berikan untuk Cinta tak pernah cukup. Memang, Nak...memang tak akan pernah sempurna lagi. Kita sama-sama mengenang Ayah dengan cara kita masing-masing. Bunda sangat menyadarinya. Bunda tak bisa memaksakan pada Cinta cara Bunda merindukan Ayah, sebab Cinta pun punya cara sendiri,” ujar bunda.

Beliau tertunduk, mencoba menahan sedih dan pilu di dadanya.

“Jadi...Bunda sangat mengerti jika Cinta menolak setiap kenangan tentang Ayah yang hanya akan menyakiti kita berdua. Maafkan, Bunda.”

Kali ini, suara bunda kian cekat. Aku bahkan sudah menangis tanpa kusadari. Perasaanku meluap-luap akibat suasana ini. Aku meletakkan dua buah kado dari beliau, dan meraih kedua tangannya, meletakkannya ke bibirku. Aku menciumnya dengan sayang. Mata beliau memejam.

“Tidak, Bunda. Bunda jangan minta maaf. Cinta-lah yang seharusnya minta maaf pada Bunda,” ujarku kemudian. “Selama ini...Cinta sesungguhnya tak menolak Ayah. Bunda dan Ayah adalah segala-galanya bagi Cinta. Cinta hanya...hanya...” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

Bunda segera meraih pipiku. Mata teduh beliau kini menatapku dengan rasa sayang yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, seperti menjalar ke seluruh tulangku, nyaris membuat lututku tak kuat menopang tubuhku lagi. “Cinta...” desis bunda.

“Cinta hanya tak bisa mengingat semuanya, Bunda!” Akhirnya tangisku pecah. Bunda pun menangis sambil tak henti-hentinya membelai seluruh permukaan wajahku.

“Cinta tak bisa...tak bisa mengingat semuanya tentang Ayah. Itulah yang membuat Cinta selalu kesal...saat Bunda begitu mudah bercerita tentang Ayah, sedangkan Cinta...tak bisa mengingat semuanya. Cinta nyaris lupa bagaimana senyum Ayah, caranya tertawa, cerita-ceritanya. Bahkan...Cinta sudah lupa suara Ayah.”

“Oh, anakku...” Bunda memelukku dan menangis.

Seketika keheningan di ruangan itu berubah menjadi keharuan. Isak tangis dari kawan-kawanku dan beberapa ibu guruku, serta-merta makin membuat suasana kian cengeng. Mereka menyaksikan semuanya.

“Karena itulah, Cinta selalu benci karena sulit menggali semua kenangan tentang Ayah, sekeras apapun Cinta mencoba. Cinta sering menolak Bunda mencium kening Cinta, hanya karena Cinta takut...takut tak bisa bertemu Bunda lagi, sama seperti Ayah waktu itu.”

Aku menghapus air mataku. Memandang bunda dengan penuh rasa sayang.

“Cinta tak mau kehilangan Bunda, seperti kehilangan Ayah. Cinta masih berusaha mengingat Ayah. Bunda...tolong Cinta, Bunda.”

Kesedihan kian mencengkeram seisi ruangan ini. Bunda kian mengeratkan pelukannya, seperti tak mau kehilanganku. Lalu, beliau bangkit dan meraih dua kado yang tadi diberikannya padaku.

“Bunda akan berusaha untukmu, Anakku sayang. Bunda tak tahu harus mulai dari mana, tapi kita bisa memulainya dari dua hal ini...” Bunda menyodorkan dua kado itu.

Tanganku gemetar menerimanya. Segera kubuka kado pertama yang ternyata adalah album foto tebal berisi semua foto dan kliping tentang Ayah. Foto-foto berwarna, hitam putih dan guntingan koran menyatu dalam album itu. Aku membuka satu per satu lembarannya sambil bercucuran air mata. Ini pertama kalinya aku melihat sosok Ayah sejak dua tahun silam. Foto-foto Ayah di ruang kerjanya di rumah kami tak bisa membantuku mengenali sosoknya. Dan, hadiah bunda ini adalah hadiah paling berharga.

Bunda membuka sebuah kado tersisa, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Itu biola yang bagus sekali. Aku kursus memainkan biola sejak empat tahun ini, dan tentu saja aku kini menguasainya dengan baik.

“Cinta, ini kado dari Ayah,” kata bunda, pelan.

“Dari Ayah...?” Tanyaku keheranan.

“Ya. Itu dari Ayahmu. Biola itu sedianya akan dihadiahkan buatmu di ulang tahunmu yang ke-10, karena Ayah bangga pada kemampuanmu belajar biola dengan cepat. Namun, musibah itu membuyarkan semua rencana Ayahmu. Bunda menyimpannya selama ini. Bunda terlalu egois, mencoba menjauhmu dari semua kenangan tentang Ayah yang semula Bunda kira akan melukai perasaanmu.”

Aku tertegun mendengar cerita itu, dan takjub melihat kotak biola indah di tanganku.

“Bukalah, Nak. Bukalah dan bacalah pesan Ayahmu di dalamnya. Ayah telah menulis sedikit pesan untukmu. Bunda bahkan tak pernah melihat apa isi pesannya, sebab takut membuat Bunda sedih.”

Aku memandang bunda sekilas, dan perlahan membuka kotak biola itu. Sebuah biola indah berkilat dengan senar yang licin karena lilin, kini terpampang di depanku. Ada sepucuk surat terselip pada bagian penutupnya.

Aku tarik surat itu, membukanya, dan menemukan tulisan Ayah.

“Cintaku sayang...
Biola ini cantik, bukan? Secantik anak Ayah. Jadilah secantik dan sebaik Bundamu. Karena itulah mengapa Ayah sangat menyayangi kalian. Ini biola terbaik yang Ayah dapatkan, agar putri Ayah makin giat dan pandai memainkan biola. Rawatlah baik-baik, olesilah selalu dengan lilin agar awet dan berkilau. Suatu saat, Ayah akan sangat bahagia melihatmu memainkannya dalam resital pertamamu.
Peluk selalu dari Ayah.”

Wajah samar ayah seakan ikut membekas di atas surat yang sedang kubaca. Rinduku pada ayah datang seketika, membuatku seolah sulit bernapas, hendak meledak menjadi jeritan dan tangis.

Air mata sudah membasahi gaunku. “Ayah, aku akan memainkan biola ini untuk Ayah. Inilah resitalku untuk Ayah. Dari sini, Cinta akan membuat Ayah tersenyum di sana,” bisikku.

Kukeluarkan biola cantik itu dari wadahnya, dan mulai berdiri sempurna. Punggung biola kuletakkan di bahu kiriku, ujung daguku menekannya. Tangan kananku pun terangkat, meletakkan bow biola pada permukaan empat senar yang berkilat.

Kupejamkan mata, berusaha mengingat wajah ayah. Kenangan-kenangan tentang ayah, ibu dan aku, berkelebat. Semula samar, kemudian perlahan kian jelas. Mataku memejam, dan dalam hati aku panggil namanya. “Ayah...Cinta rindu Ayah.”

Ayunan tanganku mengantar gesekan bow pada senar biola segera melantunkan suara melodi dalam komposisi lagu “Ayah”.

...Ayah, dengarkanlah. Aku, ingin bertemu. Walau, hanya dalam mimpi. (selesai)

Kendari, Mei 2012


Catatan:
  • Desinta Nuzulyanur Ahmad, adalah siswi kelas VII, SMPN 09 Kendari, Sultra.
  • Cerita pendek ini meraih penghargaan terbaik keempat dalam Lomba Menulis Cerita tingkat Sekolah Menengah Pertama (LMC-SMP) Nasional 2012, yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Penghargaan diserahkan pada malam final di Hotel Grand Prioritas, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, tanggal 9 s.d. 12 Oktober 2012.
  • Dalam proses seleksi sebelumnya, naskah ini berhasil masuk sebagai 15 nominator cerpen terpilih dari 3.855 naskah dari seluruh Indonesia. Setelah melalui presentasi karya di hadapan dewan juri: Taufiq Ismail (ketua), Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, Sunu Wasono, Suminto A. Sayuti, Rayani Sri Widodo, maka dewan juri menganugerahi karya ini sebagai terbaik keempat.


Desinta Nuzulyanur Ahmad

cerpen kompas minggu: Perempuan yang selalu menggellitik Pinggangku

cerpen Kompas Cetak Minggu 18-11-2012
PEREMPUAN YANG SELALU MENGGELITIK PINGGANGKU


Martin Aleida

Queenaraku, Kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu...

Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah, sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang yang majal daya khayalnya.

Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.

Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi. Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.

Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi L’Unita.

Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.

Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang ”jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada, bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini, ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.

Beruntung, hampir limapuluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie (asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia, aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.

Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu. ”Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”

Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.

”Signore,” nekat aku menyapa. ”Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.”

Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku. Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.

Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia berambut jagung yang memang cantik jelita.

Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.

Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri. Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir. Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?

Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang. Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku dari bawah.

”Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”

Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: ”Cerewet amat Ibu Rusia ini, kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di tengah malam begini.”

Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti nasihat dari ibunya.

”Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.

”Iz Indanezii [Dari Indonesia].”

Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.

”Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.” Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik sekali sehingga dia punya banyak kekasih. ”Yang pertama di Ukraina, yang kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.

Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.

Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia. Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia harus melintasi perbatasan.

Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina, perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. ”Salamku untuk Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat, dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.

Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan hormat begitu tinggi. Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat kebiasaanku yang berlebihan itu.

Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki keluar asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal perempuan Rusia, kawan seperjalananku.

Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. ”Ibu! Ini aku, mahasiswa Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang menyahut, menumpuk di sepatuku.

Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. ”Aku rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa malu-malu.

Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan untuk tanah airnya. ”Hatimu Seputih Salju”.

Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.

Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain, dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas, saling beradu pipi.

”Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya. ”Kecelakaan lalu lintas.”

”Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”

”Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”

Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh. Mengapa Ibu memperdaya?”

Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.

”Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya bergetar.

Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang terasa tangannya memegangi bahuku. ”Maafkan...” ucapnya lembut tersendat. Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa sedang dipermainkan.

Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman, kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat, tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. ”Maaf, Liliana sudah tak ada...” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.

Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang. Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku. Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal leher bajuku. ”Durak..!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku. Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. ***

(Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)

ditayangkan oleh Sihol Manulang di group Cerpenku Cerpenmu, facebook. 

Semua Indah Pada Akhirnya


Ah. Siapa aku ini. Melayang-layang kesana kemari bagai daun kering yang jatuh dari dahan pohon karena dipermainkan angin. Sendiri. Tidak berkawan, pun tidak punya lawan. Hanya sendiri.  Kesepian. Hanya bisa menatap orang lalu lalang tanpa berani menegur atau menyapa.  Semua daun kering itu tidak punya arti. Takdirnya hanya satu : terlupakan untuk kemudian hancur perlahan.

Takdir sebagai barang tua itu memang pedih sekali. Ketika muda dipuja, ketika kuat senantiasa diperlukan, tapi ketika sudah tua seperti ini, semua orang mungkin mengharapkan aku segera musnah karena memang sudah tidak enak dilihat dan tidak ada manfaatnya lagi. Uhuk. Uhuk.

CERMIN: PISAU


Cerita mini.
JUDUL:  PISAU


"Kenapa sedih?" Aku mendekati seorang gadis manis yang memiliki wajah semanis awan putih yang bergayut di langit biru di pagi hari. Sayangnya, ada titik hujan yang membasahi wajah tersebut.

Lemari baju (cerpennya Ida Ahdiah)


Juara I Lomba Cerpen Majalah Femina 2008
Jantung Arini berdebar-debar. Matanya berkilau-kilau kala melihat lemari lapuk itu. Lemarinya berwarna coklat tanah musim kemarau bulan Juni, buram berlapis bermili-mili debu. Tingginya satu setengah meter. Di setiap sudut atap lemari ada tonjolan sebesar bola kasti. Lemari itu memiliki dua pintu. Pintu pertama dalamnya memiliki lima undakan untuk meletakan baju-baju yang dilipat. Di dalam pintu kedua ada batang kayu memanjang untuk menggantung pakaian.
Lemari itu berdiri di sudut toko barang antik. Beraroma kecoa dan kotoran tikus. Namun Arini memeluknya, menciumnya, seraya mengatupkan matanya. Dibukanya lemari, sumringah. Segerombolan kecoa kalang kabut. Arini tidak apa-apa. Ia mengibas-ibas kecoa yang merayap di betisnya.



‘’Tom, aku sudah menemukan lemari yang kucari’’ bisik Arini gemetar, gembira pada calon suaminya.
Tom tengah mengamati lemari jati berdesain sederhana, berpintu tiga, tanpa ukiran. Satu setel dengan tempat tidur di sampingnya. Meja riasnya kecil bercermin bulat. “Aku suka ini,” ujar Tom.
‘’ Tapi lemarinya aku suka yang ini, ” Arini mengetuk-ngetuk lemari, mencari perhatian Tom.
‘’Tua, reyot, dan sarang kecoa itu untuk kamar pengantin?” Tom menengok dan tergelak, mengira Arini becanda.
Arini menggeleng. ‘’Aku mau lemari ini untuk kamar pengantin kita.” Katanya tegas, memelas, nyaris hendak menangis.
Tom menatap calon istrinya, terheran-heran. “Kamu serius?”
Arini mengangguk cepat, meremas jemari Tom. ”Kau yang pilih tempat tidur dan kaca riasnya, ya.”
Tom melihat benda-benda pilihannya, lalu beralih menatap lemari pilihan Arini.
“Perhatikan, Rin, apakah tempat tidur dan meja rias pilihanku serasi dengan lemari pilihanmu?”
“Untuk serasi jangan hanya lihat desainnya. Lihat juga karakter kayunya yang saling menghidupi, yang bisa memberi kita energi.’’
“Hm.” Tom meneliti kayu itu mencoba menangkap energi yang dikatakan Arini.
“Lihat, masing-masing kayu memiliki tekstur berbeda. Beberapa potongannya bahkan tak sempurna. Mengingatkanku bahwa yang sempurna hanya Tuhan.” Arini mengelus benda-benda tersebut.
“Rin...”
“Kita terbiasa berpikir bahwa serasi itu berhubungan dengan warna, ruang, dan penataan. Bagaimana dengan sejarah? Memadu benda tua dan baru, secara usia tidak serasi, tapi sejarahnya mungkin serasi dengan pemiliknya. Benda tua membawa kenangan indah, buruk, menyesalkan. Benda-benda baru menemani perjalanan, yang mungkin tertunda, gagal, belum selesai...”

“Rin, kau bicara apa barusan?”

Arini tertawa. “Setuju, kan, membeli lemari itu. Kita minta tukang membersihkannya, membenahi kakinya yang patah. Aku suka bau jati tuanya...”

“Bagaimana kita menjelaskan kepada keluarga?” Tom masih belum percaya Arini ingin memiliki lemari yang berdiri doyong itu.

“Kita cari kata-katanya nanti.”

Tom merasa masih banyak yang belum ia ketahui tentang calon istrinya. Selera Arini pada bau apek jati tua membuatnya khawatir. Mengingatkannya pada Iyah!

*****

Sejak menetapkan tanggal pernikahan, Tom dan Arini menyempatkan diri mencari furniture untuk isi kamar pengantin. Keduanya sepakat memilih kayu jati, meski mahal, tapi anti rayap dan tak pernah ketinggalan zaman. Nyatanya sulit menemukan furniture jati yang sesuai untuk rumah mereka yang minimalis.
Tiap akhir pekan Tom dan Arini keluar masuk toko mebel dan mendatangi pameran. Belum satu pun yang memenuhi selera berdua. Tom pernah ingin mengalihkan angan-angannya untuk memilih furniture bergaya minimalis dengan warna-warna klasik, yang bukan dari kayu jati. Arini mengatakan tidak. Alasannya, benda-benda itu pasaran.

“Sabar. Kita perlu mengalihkan pencarian ke luar kota. Di pinggir jalan biasanya ada toko mebel Jepara. Kita pesan dan desain sendiri...”

Belum Arini selesai bicara Tom menyela, “Model-model itu juga umumnya pasaran. Ingat, kita pernah menemukan model kursi dan lemari yang sama di rumah Rusli dan Endah.”

“Dua kali lagi kita mencari. Setelah itu, tempat tidur dan kaca rias kau yang memilih. Aku yang memilih lemarinya. Setuju?”
“Lemari macam apa?”

“Lemari macam...” Arini berupaya berpikir keras, “Nanti kujelaskan setelah kutemukan,” sambungnya.

“Bagaimana dengan tawaran Ibu?” Tom diam-diam mulai lelah dan menyerah.

Ibunya pernah menawari Tom tempat tidur, lemari, dan kaca rias berwarna sawo matang peninggalan zaman kolonial, yang pernah dipakai untuk kamar pengantin nenek dan kakek. Jatinya ditebang dari perkebunan jati, di Kunduran, Blora. Tempat tidurnya besar berukir dengan tiang di tiap sudut untuk meletakkan kelambu. Ibu masih merawat kelambu tua, putih gading dengan pengait berbentuk bunga kenanga, yang terbuat dari kuningan. Meja rias yang Ibu tawarkan memiliki tiga kaca. Lemari pakaiannya berpintu tiga, berukir bunga dan daun.

Arini tegas menggeleng. “Benda-benda lama peninggalan itu indah dan sangat berharga. Tapi benda-benda itu tidak mewakili kita. Rumah kita akan sesak.”

Tom membelai-belai rambut Arini dan berkata, “Aku tak keberatan jika kamar pengantin kita diisi dengan isi kamar tidurmu.”
“Aku tak menyukai benda-benda di kamar tidurku. Aku hanya menyukai lemari baju di kamar Iyah.”

“Bawa saja lemari baju itu. Sisanya kita beli.”

“Lemari itu sudah tidak ada lagi. Ibu membuangnya.”
“Membuangnya?”

Arini mengangkat bahu, menyembunyikan wajah dari pandangan Tom.
“Membuangnya? Kenapa?”

Arini menggeleng. “Siang itu sepulang sekolah, aku tak menemukan lemari baju di kamar Iyah. Juga tak menemukan Iyah.”

“Iyah, siapa?”

“Pembantu keluarga kami.”

“Apa yang terjadi padanya?”

Arini mengalihkan topik pembicaraan, “ Ah, itu tidak penting. Sekarang kita putuskan, kau memilih tempat tidur dan kaca rias, aku yang memilih lemari...”

*****

“Rin, aku tertarik untuk tahu tentang Iyah? Dia pengasuhmu yang setia? Dia...”

Terlalu lama termenung, Tom tidak tahu Arini pergi dari sisinya. Tom celingukan. Lalu dengan matanya ia susuri lemari demi lemari tua yang ada di toko barang antik. Arini tak terlihat.
Ia bertanya pada tukang yang sedang mengampelas kursi.
“Mungkin ke kamar mandi,’’ katanya.

Tom menuju kamar mandi, memanggil-manggil nama Arini. Tak ada jawaban. Ia buka pintu kamar mandi, tak ada siapa-siapa. Lalu ia mengecek ke halaman. Pikirnya, Arini ngambek karena ia menertawakan pilihannya. Arini tidak ada di sana.
Tom kembali ke toko barang antik. Arini tak mungkin melarikan diri, pikirnya. Ia berjalan perlahan dari satu lemari lapuk ke lemari lapuk yang lain. Ia berhenti dekat lemari pilihan Arini. Tom tak menemukan calon istrinya!

“Bang, betul tak melihat Arini?” Tom mulai dirayapi rasa gelisah,
“Telepon saja hand phonenya, Pak?”

Ups, Tom menepuk dahingnya, merasa tolol. “Terima kasih, Pak.”

“Hi, Rin, kamu di mana?” Tom lega, mendengar balasan ‘Hi’ dari Arini.

“Aku di...”

Tom melekatkan telinganya ke lemari pilihan Arini. “Rin...” Tom berteriak, tercekat. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu lemari.
Ia terpana, terenyuh menyaksikan Arini duduk memeluk lutut di dalam lemari, di antara kecoa yang berseliweran.
“Rin,” bisik Tom tersendat, menelan ludah. Ia masuk ke dalam lemari, mengambil tempat di sisi Arini. Membawa Arini ke dadanya..

Air mata Arini tumpah.

“Iyah menempatkanku di lemari seperti ini tiap kali Ibu menjerit-jerit disiksa Bapak,’’ tutur Arini di antara sedu-sedannya.
Tom merenggangkan pelukannya, menyipitkan matanya, menatap Arini lekat-lekat. Lantas ia tersedu-sedu di bahu Arini.
“Semula aku protes, menangis, tak suka berada di ruang pengap.”
Bahu Arini terguncang-guncang oleh tangis Tom.
“Lama-lama aku senang. Aku menemukan banyak teman khayalan. Aku bertemu pangeran berkuda yang berjanji akan menjagaku. Aku bisa tidur nyenyak, tanpa mendengar teriakan Ibu yang kesakitan. Bentakan Bapak yang tak berperikemanusiaan.”

Arini merasa pelukan Tom kian ketat. Tangis Tom kian menyanyat. Arini tak mengira kekasihnya mengikuti kesedihannya begitu mendalam.

“Satu malam...” Arini menghela nafas panjang, “Aku tertidur di lemari. Entah jam berapa aku terbangun mendengar Iyah menangis dan minta ampun. Aku mendengar suara Bapak...”
Di sela tangisnya Tom bertanya, “Bapak memukul Iyah juga kah?”
Arini menggeleng. “Ibu datang, melihat Bapak memarahi Iyah karena menyembunyikan aku. Ibu lalu menemukanku di dalam lemari...”
“Sudah kuduga,” ujar Tom.

“Tom,’’ bisik Arini pelan. “Mengertilah, aku masih sering merasa cemas dan takut,.”

Arini merasakan tubuh Tom menggigil. Pelukan Tom semakin ketat. Membuatnya sulit bernafas.

“Aku pun sering dihantui rasa cemas dan takut, Rin.”
Arini menemukan wajah calon suaminya penuh air mata. “Cemas dan takut menerima kenyataan calon istrimu suka lemari bau apek...”
Tom menggeleng, menutup bibir Arini dengan jarinya. Membawa wajah Arini lekat ke wajahnya. Air mata mereka menyatu. Lalu dari bibir Tom, yang bersentuhan dengan bibir kekasihnya, keluar kata-kata yang membuat Arini mengerti, mengapa tangis Tom begitu menyanyat, tubuhnya menggigil...

“Aku takut menjelma menjadi lelaki seperti Bapakmu. Seperti Bapakku, yang suka memukul Ibuku, memukulku!”

http://idaahdiah.blogspot.com/2010/10/lemari-baj.html