Noleh cerpen pemenang lomba cerpen LMCR): Puisi Bernyawa


PUISI BERNYAWA

penulis: Azmi Farah Fairuzya (pemenang 1 kategori B, Lomba menulis cerpen remaja (LMCR) 2011)


Dalam kesehariannya, gadis itu hanya diam menatap jendela. Tatapannya kosong, tetapi dalam sirat matanya menggambarkan kepedihan yang teramat dalam. Ia tak pernah mau pergi dari ruangan yang menghadap balkon itu. Tangannya tak pernah lepas menggenggam tirai tipis yang menghiasi jendela. Tubuhnya tampak lebih kurus tak terawat, kulit sawo matangnya tampak kering dan pucat pasi. Mata indahnya dikelilingi lingkaran hitam, dan mulutnya serasa membeku.
Aku mengenalnya cukup baik. Aku sering menjahilinya dan bercanda gurau dengannya. Bagiku dia adalah gadis yang cukup ramah, periang, sedikit pendiam, tidak mudah marah, lucu, dan pencair suasana. Namun ia memiliki satu keburukan: terlalu jadi  seseorang  pemikir. Mungkin ini yang menjadikan alasannya menjadi seperti ini. Rasanya aku iba melihatnya seperti itu. Tingkah lakunya sudah tidak berbeda dengan patung yang biasa digunakan untuk menghiasi rumah. Entah apa yang membuatnya begitu, yang aku tau pasti dia sangatlah tertekan oleh suatu keadaan.
Setiap hari, aku selalu mencoba mengajaknya berbicara. Namun tak pernah ada jawabnya. Aku mencoba menarik perhatiannya dengan membawakan hal-hal yang membuat dirinya selalu bersemangat ketika dia belum seperti ini, namun sedikit lirikan saja tak aku dapati.
“Sudahlah, Nak, kamu pulang saja, sudah petang. Orang tuamu pasti mencarimu.” Ibunya yang sedari tadi menangis di samping pintu memandangi kami akhirnya mengeluarkan suara.
“Tidak, Tante. Saya masih ingin di sini. Tadi sudah pamit. Tante istirahat saja.” Jawabku.
Aku merebahkan diri di atas kursi mencari beribu hal yang dapat menarik perhatiannya. Berbagai macam hal sudah aku coba. Bahkan, memutar lagu dengan sangat keras pun tidak juga membuatnya bergerak. Aku nyaris menyerah, sampai akhirnya aku menemukan sebuah buku harian yang ia genggam dengan erat.
“Boleh aku pinjam buku itu?” Kataku sembari menunjuk buku itu. Namun tetap tak ada jawaban. Hanya saja, ia menggenggam bukunya lebih erat. Aku tersenyum tipis. Paling tidak, aku tahu bahwa ia masih dapat mendengarku, masih dapat memberi respon terhadap pernyataanku, dan dari responnya aku tahu bahwa buku itu adalah rahasianya. Aku memancingnya dengan mencoba menarik buku tersebut. Harapanku ia akan bergerak lebih banyak, kalau perlu berpindah tempat, membentakku, atau paling tidak menatapku. Namun yang terjadi terlalu jauh dari harapanku. Ketika aku mencoba menariknya, hanya tangannya yang berusaha mempertahankan buku itu. Aku merinding. Ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya, aku merasa tangannya teramat dingin dan tubuhnya merinding. Aku menjauhkan tanganku lalu mengelus pundaknya. Tepat saat itu, ibunya masuk untuk memberi makanan.
“Makanlah dulu, Mia. Kamu sudah tidak makan seminggu ini. Makan!” Isakan mamanya semakin mengeras. Namun tetap tak ada gerakan. Ketika kucoba menyuapinya, tetap tak mau membuka mulutnya. Setengah jam sampai bubur buatan ibunya dingin, akhirnya ibunya keluar meninggalkan kamar.
Hari itu sangat melelahkan untukku. Aku pun memutuskan untuk pergi.
“Mi, aku pulang dulu. Besok aku akan datang lagi. Kuharap, besok kamu mau berbagi denganku. Besok pagi  mesti makan!” Kataku lembut sambil memeluk dirinya dari belakang.
Rabu sepulang sekolah, aku datang membesuknya lagi bersama dengan Bu Aini, guru bimbingan konseling di sekolahku. Mungkin, ia  lebih mengetahui tentang sifat manusia akan lebih membantu. Ibu Mia mengantarkan kami ke ruangan tempat Mia berada. Pakaiannya belum berubah, aku rasa ia belum bergerak sedikit pun. Masih sama seperti kemarin.
Aku menyapanya lembut dan membiarkan Bu Aini berbincang dengannya. Aku duduk di sudut ruangan dan memasang headset, sehingga aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Tampak jelas bagaimana Bu Aini membujuknya untuk melakukan kegiatan yang sudah beberapa hari ini ia tinggalkan. Satu jam berlalu tetap tak ada perubahan. Bu Aini mengambil kursi dan duduk di sampingnya. Aku terus memandangi mereka berdua, penasaran dengan apa yang di katakan oleh Bu Aini. Sampai akhirnya, Bu Aini berdiri dan mengajakku pulang. Aku ingin berbincang dengan Mia, tetapi Bu Aini melarangku. Akhirnya aku mematuhinya  dan meninggalkan ruangan. Sebelum aku menutup pintu, aku mengintip Mia sebentar. Aku terkejut, sehingga aku memutuskan untuk mengulang mengintipnya. Benar saja apa yang kulihat sebelumnya, Mia sedang mengusap pipinya. Apakah ia menangis? Paling tidak, guruku berhasil membuatnya bergerak.
Dua minggu setelah hari itu, aku dikejutkan dengan kabar masuknya Mia ke rumah sakit akibat dehidrasi parah yang ia alami. Mungkin saja, satu minggu ini dia masih tetap belum menyentuh makanan sedikit pun. Satu minggu ini memang aku tidak sempat membesuknya, karena ada ulangan tengah semester yang harus kulalui. Sehingga tidak ada kesempatan untukku mengetahui perkembangannya.
Aku datang ke rumah sakit tepat ketika Bu Aini turun dari mobilnya. Kami memutuskan untuk pergi bersama. Langkahku berat dan tubuhku gemetar. Berdoa di setiap langkahku supaya Mia baik-baik saja. Memasuki ruangan tempat Mia terbaring tak berdaya, ibu Mia berhambur keluar dan memeluk Bu Aini. Bu Aini terus menenangkan beliau. Aku berjalan menghampiri ranjang Mia. Tubuhnya kelihatan kurus dan pucat. Berbagai macam selang menempel di sekujur tubuhnya. Aku membelainya, mengajaknya berbicara dan dengan sabar menunggu jawabnya.
Tiba-tiba aku teringat akan buku harian Mia. Aku ingin sekali membacanya. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan meminta izin pada ibunya untuk mengambil barang milik Mia, yang mungkin bisa membantu.
Benar saja, buku harian itu tergeletak  di tempat ia biasanya berdiri. Aku mengambilnya dan merapikan beberapa bagian ruang itu yang berserakan. Kemudian berpamitan pulang.
Sesampaiku di rumah dan berbenah diri, aku merebahkan diri di atas kasur. Memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan buku harian itu. Salahkah aku bila ingin membacanya? Apakah aku melanggar hak pribadi seseorang? Tapi aku ingin membacanya, aku ingin membantunya.
“Tuhan, maafkan aku bila ini perbuatan yang salah.” Kataku dalam hati, kemudian mengambil buku harian itu dari dalam tas.
Aku mengunci kamar dan menyalakan lampu belajar di meja belajarku. Perlahan-lahan aku buka buku harian itu. Tampak beberapa foto Mia di halaman pertamanya. Foto yang penuh dengan coretan di berbagai bagian tubuhnya yang dahulu sedikit berisi. Kemudian di sambut dengan tulisan mungilnya,“Hei! My name is Mia. I’m not beautiful, I’m not slim, I’m not even smart, any problems? This is me,  no one said that you have to like me”
Aku tersenyum sedih, aku sering sekali mendengar anak ini mengeluh akan bentuk tubuhnya. Aku semakin penasaran. Aku membalik-balik setiap halaman, dan menemukan puisi pertamanya.
Bila saja penantianku bukanlah agama tanpa Tuhan,
Bila  saja aku melangkah tanpa kedua kakiku yang terpasang
Getar-getar hati mengamuk menyeruak
Menggemparkan, berharap berbuah melodi
Kalau saja Tuhan memberikanku kemudahan bersila,
Kalau saja Tuhan mempersilakan aku menyentuh bintang,
Lalu bergaun putri salju..
Akankah engkau diam dan berhenti menatapku?
Atau kau akan berbalik memujiku?
Yang tiada berharga, tiada bernilai
Aku hanya bungkam,
Terlawan oleh anak panah yang tersesat
Dan ketika aku berdiri ingin membanggakan diriku,
Aku tahu..
Bahwa sedikitpun tak ada yang bisa dibanggakan dariku…
Apa itu salahku?
            Aku berkali-kali membaca puisi ini untuk memahami maksudnya, tetapi sulit untuk kudapati.  Mungkinkah maksud puisi ini untuk seseorang yang sering menghinanya? Aku mengutuk diriku sendiri karena kebodohanku. Kenapa harus puisi? Kenapa bukan curahan hati saja yang biasanya diawali dengan “dear diary”? Lagi aku membaliknya, dan kudapati puisi berikutnya.
Diam!
Tak usah kau jawab lonceng gereja itu,
Tetaplah bergeming..
Suara itu menyakitkanku,
Mengingatkan aku pada anugerah yang tak pernah aku syukuri
Aku tak mau lisanku nanti menyangsi diriku karena berdosa,
Aku tak mau tanganku ini membawaku pada kobaran api
Karena kecerobohanku memegang hatiku
Aku tak ingin sejarah hatiku terus kau nodai,
Pergilah untuk menapaki sebuah jembatan pelangi yang rapuh
Carilah sebuah benang halus di deruan ombak
Dan tangkaplah satu saja asap dari cerobong disana..
Bila kau dapati, teruslah pecahkan benteng air mataku!
            Aku semakin yakin bahwa yang membuat ia tertekan adalah bentuk tubuhnya. Ia tersiksa dengan setiap hinaan yang dilontarkan oleh teman-teman.
Setelah berhenti berpikir dan menguap, aku melirik puisi berikutnya. “Sepertinya ini berbeda,” gumamku.

aku yang menatap lembut kegelapan hatiku ,
berhembus lesu menghancurkan anganku
tanpa apa aku meletakkan sebuah asa ,
bahkan untuk mengucapkannya , aku tak mampu ..
dan kini lenyap terbawa cinta ..
cinta yang entah apa aku tak mampu untuk mengeja

oh Tuhan,
siapakah aku dalam keputus asaan ini?
aku yang benar benar kehilangan separuh jiwaku
yang kini berlari bersama merpati yang tak tau arahnya
meratapi sang surya yang menggarang dan tak berprasaan , seperti mereka
oh Tuhan,
siapakah aku dalam kebisuan ini?
yang hilang bersembunyi dengan airmata yang mendanau
oh Tuhan,
siapkah aku menghadapi hari esok ?
bahkan kini untuk memanggil diriku aku tak mampu ?
oh Tuhan,
Murkakah Engkau bila aku ingin mendahului kehendakMu ketika kehendaMu atas kehendakku tak mampu kuraih ?
oh Tuhan,
hancurkah aku mengatakan diriMu jahat ?
oh Tuhan,
Terkutukkah aku mengatakan aku tak suka bahkan benci diriMu ,
oh Tuhan,
Nerakakah tempatku kelak bila mengutuk ‘ia yang tak mengerti aku, yang jahat padaku, namun yang mengadakan aku’?
oh Tuhan, siapakah aku dalam petanyaan bodoh ini?
membisu, mengeluarkan air mata, dan sendiri menutup diri ..
            Aku terus mengulangi dan terus mengulangi puisinya pada bagian ‘ia yang tak mengerti aku , yang jahat padaku namun yang mengadakan aku’, mungkinkah yang dimaksud adalah sang ibu? Aku teringat ia pernah menuliskan di akun jejaring sosialnya, bahwa ia kesal dengan ibunya. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Semakin ke belakang, puisinya semakin berubah.
            “Gadis misterius.” Kataku lirih. Kemudian ku lanjutkan membaca puisinya.
Bila saja ada suatu tempat untukku dapat bersembunyi,
Bila saja ada sebuah kata untukku dapat melukiskannya,
Dan bila saja ada sepenggal nada untukku dapat menyanyikannya
Ingin kuteriakkan goresan lukanya
Ingin kuhempaskan perihnya
Lalu ingin kusuguhkan tiap tetes air mata yang terjatuh
Ketika kebisuan ini menggangguku menikmati jalan ceritaku,
Dan ketika ketakutan ini menghancurkanku untuk menikmati tiap langkahku..
Bukankah terlalu pedih untukku terus merasakannya?
Ingin ku tinggalkan saja mimpi burukku, kututup mataku, kutinggalkan lukaku,
Lalu kupergikan semua rasa…
Biar semua hilang,
Pergi…
Karena solusi hanya dapat menjadi ilusi,
Dan karena gurauan hanya dapat menjadi gangguan,
Tak dapat lagi yang dapat kuarungi…..
Sampai pada akhirnya tak ada lagi kekuatan,
Tak ada lagi pengharapan,
Tak ada lagi yang tersisa selain kenangan,
Dan sampai pada akhirnya,
Semua akan kutinggalkan.
            “Aku mau kali nerima tiap tetes air matamu, tapi kamu aja yang terlalu nutup diri. Bukan, kamu aja yang terlalu takut untuk berbicara dengan orang lain. Udah berapa kali aku bilang ke kamu, untuk belajar berbicara dengan orang lain? Ceritakan apa yang kamu rasakan, kalau memang kamu tidak bisa dekat dengan ibumu, bisa dengan temanmu. Dasar gadis kelas kepala!” Kataku menjawab puisinya.
Kalau ada yang bisa kau rasakan
Di sini, dalam sebuah garis yang membentangkan lara
Perhatikanlah sebuah rajutan nada,
Apakah kau temukan keistimewaan?
Rasakanlah luka ini!
Adakah sebuah obat tukku hilangkan rasa ini?
Sentuhlah hati ini..
Tampak rapuh serapuh kapas
Bolehkah aku menahannya?
Demi pertengahan rasa yang ku genggam erat
Bolehkah aku memeluknya?
Luka yang teriris sepi, terpeluk dalam belenggu air mata
Atau, perkenankan aku untuk melepasnya..
Meninggalkan semua beban,
Meninggalkan penyesalan
Bersembunyi dalam kebahagiaan,
Dan mengepakkan sayap seakan aku tak pernah hidup
            Dua puisi terakhir yang kubaca, sepertinya mengisyaratkan ia sudah lelah dengan kehidupan ini. Aku menerka-nerka banyak hal. Mungkin, inikah yang membuatnya bungkam? Membunuh dirinya secara perlahan? Aku tidak tahu, tapi aku ingin memastikannya. Aku akan ke rumah sakit esok.
Di sinilah aku berada, koridor rumah sakit tempat Mia dirawat. Aku mendengar pembicaraan Ibu Mia dengan dokter yang mengatakan seharusnya Mia sudah bangun. Tetapi, ia belum juga bangun. Aku menyimpulkan ia hanya berpura-pura belum sadar. Aku beranjak memasuki ruangannya, mendekati ranjangnya, dan mengajaknya berbicara.
“Katakanlah padaku, tak usah kau tutupi lagi. Aku sudah membacanya. Sudah menelitinya.” Kataku memulai. Tetap tak ada jawaban.
“Kamu kenapa? Masih malu dengan bentuk tubuhmu? Kamu masih kesal dengan orang tuamu? Kamu kesal dengan teman-temanmu? Bangunlah! Jangan seperti ini. Tidakkah kamu merasakan air mata ibumu?” Ia tetap bergeming, kali ini aku menyerah.
Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku membuka buku hariannya di halaman terakhir, dan membacakan puisi terakhirnya.
Aku bermain misteri dalam hentakan detik-detikku, memikirkan setiap khayalan dan mimpi-mimpiku. Bertanya pada setiap hembusan angin. Dapatkah aku menggapainya? Atau justru mataku ini keburu terpejam?”
Mia pun terbangun dan menghadapku. Kemudian berusaha mengambil buku hariannya yang kubawa.
“Apa yang kamu lakukan? Lancang banget kamu baca buku harianku!” Katanya lirih namun terdengar sangat kesal.
“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi padamu.” Kataku tegas.
“Lalu?” Tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Lalu aku tau kau tak suka dengan tubuhmu. Hei! My name is Mia. I’m not beautiful, I’m not slim, I’m not even smart, any problems? This is me,  no one said that you have to like me sudah cukup membuktikkan kamu marah dengan bentuk tubuhmu sendiri. Iya kan?”
            “Bukan itu masalah utamanya.” Air matanya pecah.
            “Ibumu? ‘ia yang tak mengerti aku , yang jahat padaku namun yang mengadakan aku’ kah?” Kataku mengulangi sebaris puisinya. Ia menggeleng. Aku mengusap air matanya.
            “Lalu apa? Katakan padaku. Aku tak akan marah, apa pun itu.” Kataku lembut. Kemudian ia memintaku untuk mendekatkan diri padanya.
            “Aku ingin mati.” Katanya lirih.
            “Aku tahu kau ingin mati. Aku membacanya. Puisi-puisi terakhirmu mengisyaratkannya. Tapi bukan itu yang kutanya. Tak ada orang ingin mati cepat bila tanpa alasan yang kuat. Alasan itu yang ingin aku ketahui.”
            “Aku nggak masalah tubuhku tidak seindah kamu, Bunga. Aku tak masalah. Aku tak masalah tidak langsing, tidak putih, tidak cantik, tidak populer, tidak anak olimpiade, aku tak masalah. Sungguh.” Air matanya semakin deras. Aku menggenggam tangannya.
“Lalu?” Tanyaku tak sabar dengan lanjutan ceritanya.
“Memang sebelumnya tidak masalah. Sebelumnya. Tapi kini menjadi masalah yang besar. Aku malu. Sangat malu. Kamu tau bagaimana orang-orang menghinaku? Bagaimana orang memperlakukanku? Seharusnya kamu tau. Kamu sering bermain bersamaku. Rasanya, di sini sakit.” Ia menyentuh dadanya.
“Kamu jangan gitu, Mia. Kamu itu..” Belum selesai aku bicara, Mia memotongku.
“Mudah saja kamu mengatakan, Bunga. Aku tau apa yang akan  kamu katakan. Seperti biasanya. Tetapi tidak bisa. Tetap saja sakit. Terlebih Ibu tidak mau mendengarkan ini. Ibu tidak tau apa yang aku rasakan. Ia tetap memaksaku memakai pakaian yang aku merasa tak pantas. Ibu tak mau membantuku supaya langsing. Ketika aku ingin alat untuk membantuku mengecilkan alat, Ibu tak mau membelikanku. Rasanya… Ibuku seperti menginginkanku tetap dicemooh oleh teman-temanku. Kamu tidak tau bagaimana rasanya? Mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi, aku merasa sangat tertekan akan itu. Bukan aku yang meminta untuk bertubuh seperti ini. Kalau boleh meminta, aku ingin sepertimu. Langsing, tinggi, putih, cantik, dan pintar. Tapi, beginilah aku.” Katanya sambil terisak. Aku memeluknya. Pertahananku pecah, aku menangis.
“Maaf, maaf, maaf. Aku tidak tahu bagaimana di posisimu. Tidak pernah tau yang kamu rasakan. Aku busuk, maaf. Apa yang kamu ingin untukku lakukan?”
Stay close to me. And help me.” Katanya menatap mataku dalam.
I will.” Kataku sekali lagi memeluknya. Aku menghadap ke arah pintu, melihat ke arah Ibu Mia dan Bu Aini yang tersenyum kepadaku sambil berlinang air mata.
Satu minggu aku terus menemani Mia yang harus mendapati perawatan khusus di rumah sakit untuk menggantikan cairan yang hilang pada dirinya. Mia mulai kembali mau bercerita, bercanda, dan bermain. Aku juga memberikan figura berisi fotonya dan tanda tangan dari teman-teman satu kelas.
            “Kamu tahu? Teman – teman sangat merindukanmu. Mereka minta maaf bila mereka sering menyakitimu. Namun,           mereka melakukannya karena mereka menyayangimu. Mereka memperhatikanmu.” Kataku padanya.
            “Mia?” Tanya seseorang yang tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangan.
            “Iya, Om siapa?” Tanya Mia sambil mengulurkan tangan.
“Om Andi dari sebuah penerbit. Omnya Bunga. Om suka dengan puisi kamu yang dikirim oleh Bunga. Boleh Om bukukan?” Katanya langsung pada sasaran.
“Hah?” Mia tak percaya. Mia menatapku tajam, aku hanya tertawa.
“Kamu bisa menjadi penyair hebat bila rajin menulis. Om akan menyatukan puisi kamu dengan puisi-puisi penulis hebat. Kamu juga bisa mendapatkan uang dari hasil penjualan buku ini. Boleh?”
“Hah? Silahkan om.” Katanya dengan sedikit tak percaya.
“Baiklah. Om pamit dulu. Ini ada sedikit buah untuk Mia. Cepat sembuh ya.”
Setelah pamanku pergi,  Mia masih tetap saja melongo menghadap ke pintu. Kemudian ia menatapku tajam.
“Kau membaca rahasiaku tanpa izinku. Kemudian, puisi kau berikan pada orang lain tanpa izinku pula?” Katanya keras sambil memukulku.
Hello! This is your dream.” Kataku semangat.
But that is a secret!”
“Ini yang mau aku bilang kemarin sebelum kau putuskan perkataanku. Kamu itu hebat. Nulis buku harian aja pake puisi, lebay! Tapi dari sini aku tau, kamu memang penulis sejati. Siapa yang tau itu rahasia? Itu tampak bukan seperti rahasia, tapi itu seperti puisi yang memiliki nyawa.” Jawabku dengan sedikit bercanda.
            “Berlebihan kamu!” Katanya menjitakku.
            “Tapi kamu suka kan?”
            “Iya, makasih ya.” Katanya.
            “Sama-sama.” Jawabku.
            “Terima kasih, kamu adalah sahabat terbaik. Kamu membukakan jalan impianku. Kamu udahbanyak bantu aku waktu aku tertekan. Terlebih, kamu udah nyadarin apa yang aku enggak sadar. Sebuah puisi yang tampak bernyawa, sepertinya lucu juga.” Katanya tersenyum.
Kami  pun berpelukan.*
Azmi Farah Fairuzya, saat ini duduk di bangku kelas XII IPA -   SMAN 3 Semarang

noleh cerpen pemenang lomba cerpen Xpressi 2010 : istana coklat


Istana Cokelat

Aku melayang. Berayun naik-turun. Segala sesuatu di depanku terlihat sama. Tapi aku tak peduli. Aku benar-benar menikmatinya. Potongan cokelat terakhir yang kulahap menyebarkan rasa manis yang hangat. Matahari yang terlihat di antara lengkungan cabang dan ranting mengirimkan bayangan dedaunan di wajahku. Senyumku melebar.

Kalau saja hidup sesederhana ini, kurasa aku tak akan pernah melewatkan sedetikpun dalam hidupku. Meresapi segala kenikmatan yang tersimpan dan menunggu untuk ditemukan. ''Ismail!'' kata Emir. Aku menghentikan papan ayunanku, menoleh padanya. Dia duduk di papan satunya lagi. Tangannya yang putih bersih terampil membuka kertas timah yang tampak berkilat. Sebatang cokelat utuh dan tampak menggoda terbuka di pangkuannya. Ia membagi kudapan itu menjadi dua bagian, memberikan potongan yang sama besar untukku. ''Makanlah!'' Katanya. ''Hidup sudah cukup pahit. Cokelat membuat perasaanmu lebih baik, bukan?'' Aku tahu dia akan berkata seperti itu. Kalimat itu sering kudengar saban hari sejak kami mulai bersahabat.

Aku dilahirkan dari keluarga sederhana. Ibuku hanya lulus SMP, ayahku bekerja serabutan, dan rumah mungkil kami hanya sedikit perabot. Hidup kami bisa dibilang sempurna. Ibuku wanita bahagia yang tidak pernah kehilangan lelucon dan ledakan tawa. Setiap hari ia bekerja di dapur, berkutat dengan aroma bumbu dan dentingan spatula. Ibu membagi waktunya dengan sempurna untukku, untuk ayah, dan untuk pekerjaan sambilannya. Namun bertahun-tahun berlalu, aku menyaksikan dengan cemas tawa di wajah ibuku perlahan-lahan padam, hilang sama sekali. Seandainya saja seorang pengemudi setengah mabuk tidak menabrak ayahku hingga tewas, hidupku tidak akan pernah terasa pahit.

''Bagaimana rasanya?'' Emir menghentakkan kakinya ke tanah, berayun dengan kencang di sampingku. Aku menggigit batangan cokelat yang renyah dan garing. Kehangatan kembali menyebar di tubuhku. ''Aku suka cokelat.'' kataku. ''Seandainya saja aku kaya, aku akan membuat Istana Cokelat dan hidup di dalamnya hingga dunia kiamat.''

Emir tertawa. ''Kupikir aku akan melakukan hal yang sama. Itu keren!''.
Aku berpaling padanya, menyaksikan jemarinya yagn mencengkeram rantai ayunan, wajahnya yang tersenyum pada langit, dan matanya yang terpejam menikmati angin. Tiba-tiba gelombang rasa sakit menerpaku.

Pertamakali aku bertemu dengannya, aku menyadari kesamaan di antara kami berdua: nasib buruk. Ia kehilangan ibunya dan menjalani hari-hari yang suram bersama ayahnya yang tempramen. Aku kehilangan ayahku dan hidup dalam ketidakpastian. Ayah Emir seorang Lurah kaya-raya dengan mobil mengkilap dan rumah mewah yang mengundang pertanyaan para warga. Perutnya terlihat bengkak, raut wajahnya kaku dan seram. Ia pernah membuat warga panik dengan letusan senjata apinya yang membahana, gara-gara hal sepele yang melibatkan bayangan kucing di halaman belakang. Sejak saat itu ia bersumpah, bahwa ia tak bakal segan-segan mengosongkan amunisinya jika melihat bayangan penyusup lagi di pekarangan rumahnya. Satu hal yang membuatnya begitu, ia benar-benar kikir. Ia memimpin desa dengan buruk dan kejam. Berbeda dengan janji-janjinya semasa kampanye dulu, janji-janji dan kelang sarden yang ditinggalkan di pintu-pintu rumah. Emir membenci ayahnya. Membenci segala hal yagn ia dapatkan sejak rumor tentang korupsi dan kebobrokkan ayahnya mencuat. Ia sering berkata padaku bahwa ia benar-benar menyesal dengan darah yang mengalir di tubuhnya. Aku mencoba menghentikannya, tapi sayangnya itu tak banyak berpengaruh.

Orang-orang dewasa sering memanggilnya, membelai wajahnya yang tampan, dan mengamati lekat-lekat matanya yang berbinar, hanya untuk mengatakan satu hal: ''Kau benar-benar mirip ayahmu, Emir.'' Pada awalnya hal itu tidak terlalu mengganggu. Namun sejak kami beranjak remaja, sejak kami bisa menilai berbagai hal dan menentukan apa saja yang kami inginkan, Emir tidak menyukai hal itu.

Suatu hari, demi menentang pernyataan orang-orang dewasa, ia berdiri di depan cermin dan berdandan seperti anak perempuan. Ia mengenakan kerudung, rok dan sepatu anak perempuan yang dipinjamnya dari seorang teman. Ia berjalan ke sekolah, menggegerkan semua orang, dan jujur saja, membuatku malu. ''Apa yang kau lakukan?'' Aku menarik tangannya, menyeretnya ke kamar mandi. ''Aku berharap orang-orang melihatku dan berkata betapa miripnya aku dengan ibuku.'' Ia terdengar malu dan pasrah. ''Aku tidak suka mereka bilang aku mirip ayah.''
Bahuku tiba-tiba merosot. Aku membiarkannya terpaku di depan cermin, lalu masuk ke dalam bilik kloset dan mengunci diri di dalamnya. Aku menyalakan keran keras-keras; Emir tak perlu tahu aku sedang menangis.
''Kapan ibumu pulang?''Emir mengagetkanku.

Ibuku sudah tiga tahun di Arab Saudi. Selama ini aku tinggal bersama nenekku yang sakit-sakitan. Aku terpaksa berhenti sekolah untuk membantunya membeli eras dan lauk-pauk. Ibuku tidak pernah mengirimkan uang. Hubungan kami terputus sejak kami berpelukan distanplat terminal bertahun-tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah orang-orang mengubur ayahku. Aku masih merasakan pelukannya yang hangat ditubuhku. ''Berjanjilah untuk kembali secepatnya.'' Kataku. Ibuku mengangguk. ''Belikan aku sarung dan peci baru, Mama.'' Ia mengeratkan dekapannya. Aku memejamkan mataku yang basah. Rambutnya harum, hitam bergelombang. Aku akan sangat merindukannya.
''Idul Adha nanti. ''Kataku.''Seseorang mengabariku. Dia sama seperti Mama. Tapi dia pulang lebih dulu berminggu-minggu lalu. ''Aku menelan gumpalan cokelat di mulutku. Berhenti berayun. Menendang-nendang kerikil dengan ujung kakiku. ''0 ya, apakah ayahmu tidak berkurban tahun ini?''

Emir tersenyum lelah. Memandangku tak berdaya. ''Kau tahu dia tak akan melakukannya. Kuharap suatu saat Tuhan bakal memaksanya mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya. ''Ia beranjak dari papan ayunan. ''Ayo pergi. Sepertinya aku butuh udara segar.''
Aku tersenyum. Berlari mengejarnya. Rerumputan di kaki kami menari bersama angin.

******

Emir berdiri di depan cermin kamarku. Mengagumi penampilan barunya yang mengejutkan. Sore itu, tiba-tiba saja ia berlari ke rumahku berkata bahwa ia ingin terlihat sebagaimana ia melihatku. Maka aku mengantarnya ke kios pangkas rambut langgananku, meminjaminya kaos butut berlengan pendek, dan membiarkannya tenggelam dalam rasa bangga karena terlihat seperti gelandangan. Dia bilang, ''Apa aku sudah cukup terlihat kumur?'' Aku tersenyum.

Malam itu gema takbir berkumandang dari pengeras suara masjid-masjid. Kami berkeliling membawa obor, bersuka cita di antara suara tabuhan beduk dan letupan bunga-bunga api.Aku menunjukkan padanya, bahwa seperti inilah cara kami merayakan malam takbir. Berkeliling dari sudut ke sudut kampung. Memecah kesunyian yang tercipta sejak matahari meninggalkan singgasananya di langit. Sambil membuntuti iring-iringan pawai, Emir dan aku menendang-nendang bola dengan riang. Saling berbagi operan, sundulan, hingga pakaian kami basah dan bernoda gelap. Suatu ketika aku menyundul bola itu terlalu keras, hingga kami harus melihatnya lenyap di balik tembok semen sebuah bangunan. ''Jangan cemas, serahkan saja padaku.'' Kata Emir riang. Ia memanjat tembok pagar dan menghilang dibalik kegelapan sebelum aku mampu mencegahnya.

Aku terlambat menyadari apa yang baru saja terjadi. Alih-alih menunggu, aku menyusulnya tergesa-gesa. Memanjat tembok itu, menghindari deretan baling runcing yang sengaja disematkan, dan mendarat di atasu semak-semak yang kasar. Aku melihatnya membungkuk di bawah sebuah pohon, cahaya lampu dari belakang rumah gedongnya membuat sosok Emir hanya berupa siluet gelap yang dingin dan misterius. Aku berjalan pelan-pelan, walaupun aku ingin seali berlari. Teriakanku tertahan di kerongkongan saat itu juga. Waktu berjalan sangat lambat. Membekukan segalanya. Merampas ingar-bingar yang semula terdengar. Sebelum aku sempat meraih tangannya, tiba-tiba saja sebuah ledakan terdengar. Begitu keras!!!.

Emir mendadak roboh di sampingku. Ledakan kedua menyusul. Sesuatu yang basah menggelegak dari tubuhku.
Aku mendarat keras di permukaan tanah yang beku dan asing. Sebutir peluru panas menaklukkanku.

''Ismail, ''bisik Emir. ''Aku melihatnya, aku melihat Istana itu... Istana Cokelat kita....burung-burung terbang dengan riang.... ''Aku menggenggam tangannya. Rasanya dingin. Persis seperti tanganku.

*****

Aku menyaksikan segalanya dari balik jendela bus tua yang membawaku. Segala sesuatu tampak berbeda sekarang ini. Tiga tahun sudah aku meninggalkan tempat ini. Demi masa depanku. Demi putraku. Demi Ismail. ''Mama, bawakan aku peci dan sarung baru''. Aku memejamkan mata. Rasanya berabad-abad sudah sejak aku mendengar kata-kata itu. Ismailku tersayang, sudah seperti apa rupamu saat ini, nak? Aku kembali mengeratkan sweter yang membungkus tubuhku. Menutupi luka-luka yang kudapatkan ketika aku terkurung di rumah keluarga asing yang tidak bisa menegaskan sikapnya tanpa menyakitiku. Tapi aku tak mau siapapun tahu apa yang menimpaku. Bahkan putraku. Aku memeluk peci dan sarung baru dalam tas plastik kusam, kondektur membukakan pintu untukku. ''Ismail, aku pulang, nak.''Hatiku berkata. Namun saat aku menurunkan kakiku di tepi jalan, di tanah dimana aku dibuai dan dilahirkan, hatiku tiba-tiba terasa hampa. Aku merasa sangat kesepian.

----------------------
Mulya Abdul Syukur
Mahasiswa UIN Suska Riau
Istana Cokelat ini memenangkan ( pemenang, juara ) lomba Cerpen Xpresi 2010 kategori Mahasiswa. 

mari ngintip cerpen favorit LMCR ROHTO 2010: Sebelum Salju Terakhir



(cerpen yang keren, baca deh)
penulis: Sahid Salahuddin.

KAU BENAR, STAM, London ketika winter benar-benar beku. Berulangkali tubuh tropisku menggigil. Bibirku kaku. Engah napasku kepulkan uap putih. Sepanjang apa yang ku lihat, semuanya menjadi putih.

Cukup jauh sudah ku berjalan susuri trotoar. Dua garis panjang tercetak di lapisan salju, di belakangkujejak dua ban kecil dari tas kabin yang ku seret. Bunyinya berdecit. Jalanan sepi. Dahan-dahan pohon yang gundul digantungi salju-salju lembut hingga melebat. Tiupan angin menjatuhkannya sebagian ke bawah.

Langkahku terhenti di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Ku cocokkan alamatnya dengan alamat yang tertulis dalam buku diaryku. Semua cocok. Bagai berada disebuah persimpangan waktu, aku ragu memilih antara mengetuk pintu rumah itu atau tidak sama sekali. Tanganku gemetaran, tapi bukan karena kedinginan. Kakiku melemas, bukan karena kelelahan. Wajahku menghangat. Jantungku yang menghentak cepat memekatkan kepulan uap putih menutupi pias wajahku. Bimbang. Beberapa menit yang berlalu, ku hanya mematung sambil menatap pintu rumah itu. Pintu rumahmu, Stam…

Seperti apakah wajahmu kini, my shappire stone? Rinduku mencuat.



***


Padang, 8 bulan yang lalu

“STAM,” ujarmu memperkenalkan diri.

"Stamp? As the thing you put on an envelope? " candaku. Sifat jahilku terpancing. Cahaya perak bulan tumpah di wajah pualamnya. Greget banget! Pengen tahu, seperti apa gerik mata nilam birunya nih bule, jika salah tingkah. Aku kian terpikat. Sok akrabnya itu lho…, i-ih, menggemaskan!

"No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?"

Tak berhasil. Rona wajahnya tak berubah. Gerik matanya biasa-biasa saja. Malah, giliranku yang kebingungan. Kelabakan sendiri. Harus pasang muka bagaimana di hadapan bule gondrong ini. Aku keki. Senyumku kecut. Mampus aku, kalau-kalau ia memperhatikan gesture tubuhku yang mati gaya. Salah tingkah.

Benar. Ia memperhatikannya. Suara tawanya terlepas begitu saja, penuh kemenangan, mengamati ke-grogian di wajahku yang mendadak pias. Apakah selucu itu wajahku?

"No, no, no… Just kidding. All my friends call me Stam,” ejanya pelan-pelan, “S-T-A-M. Stam. Stam Amundsend."

Ku akui, kau menang Stam. Aku termakan perangkapku sendiri. Betapa malunya aku…


***


LAMBAT LAUN, hari buruk itu terlewati. Kehidupan yang sempat diporak-porandakan gempa 7,6 SR, mulai menggeliat kembali. Tak kenal lelah, kami para relawan bekerja membantu korban-korban gempa bumi Padang. Stam dan relawan asing yang dibawanya tidaklah terlalu banyak jumlahnya. Aku dan kawan-kawan Palang Merah Remaja Jakarta datang ke Padang ini pun juga tak demikian banyak jumlahnya. Waktu yang singkat membuat kami mesti bergerak cepat dan ringkas. Di Padang, kami dibaurkan bersama BASARNAS. Dan adalah kesopanan tidak tertulis, bila BASARNAS, selaku tuan rumah, memberikan sambutan sederhana bagi mereka relawan asing yang telah datang membantu. Betapa menyenangkannya bekerjasama dengan tim relawan Stam.

Dari perkenalan yang memalukan di malam itu, Aku dan Stam menjadi dekat. Lebih dekat. Tak ku sangka, Stam adalah remaja dengan pribadi yang menyenangkan. Kami bicara mengenai apa saja. Dari membincangkan film Hollywood: Titanic; buto ijo versi Hollywood, yang mereka panggil Hulk; atau si bibir sexy Angelina Jolie dalam Tomb Raider. Tak ku sangka, Stam juga kenal si ganteng Nicholas Saputra dan si cantik Dian Sastrowardoyo. Aneh, kan? Yang lebih mencengangkan dan aneh lagi, pernah ku pergoki Stam tertawa terpingkal-pingkal saat menonton Tom and Jerry. Nggak malu tuh dia sama rambut gondrongnya, nonton film kartun begitu? Tom and Jerry lagi!

Kedekatan itulah yang membuat kami lupa bahwa kami adalah masing-masing individu yang beda negara, bahasa, dan warna kulit. Ada titik di mana aku merasa telah mengenalnya begitu lama. Tidak sebagai rekan kerja. Tidak sebagai teman dekat. Kedekatan kami melebihi kedekatan dua orang bersaudara. Keintiman yang ku tak tahu reka bentuknya seperti apa itu. Kian hari, ku tak ingin dipisahkan lagi darinya.


Stam seperti udara bagiku bernapas. Tanpanya, entah apa jadinya aku. Ia juga matahari bagiku. Duniaku gulita, bila sejenak saja ia tak bersamaku. Stam adalah segala-galanya bagiku. Ia harus jadi milikku. Milikku yang tak kan pernah dimiliki juga oleh perempuan selain aku.

Tapi, bagaimana dengan Stam, adakah ia merasakan hal yang sama juga? Atau, ia hanya menganggapku sebagai……

Ah. Sudahlah! Aku sudah cukup pusing dengan bentuk kedekatan kami ini, harus bagaimana lagi menerjemahkannya.

Ada yang membuatku berbeda di saat ku membuka mataku di pagi hari. Satu alasannya: itu semua demi Stam! Ia sudah menjadi sebab dari segala-galanya aku. Sebab aku tersenyum. Sebab aku berlama-lama di depan cermin. Sebab aku selalu bersikap ramah. Sebab yang membangkitkan gairah bekerjaku. Juga, sebab aku menghabiskan banyak halaman diary hanya untuk menuliskan namanya saja. Terkadang, semua itu menempatkanku bagai perempuan yang berjalan dengan banyak kegilaan cinta. Aku ingin menjadi ‘benar-benar’ perempuan sempurna di hadapan Stam. Bila ada perasaan yang lebih kuat dan indah daripada cinta, maka akan kusebut perasaan ini dengan sebutan itu. Bagiku, cukup seorang Stam saja untuk ku bisa bertahan hidup. Ia nafasku. Ia mataku. Ia lisanku. Bahkan, ia identitasku.

Identitasku? Ya, ia identitasku. Karena sebut namanya, maka namaku akan ikut pula tersebut. Hingga salah seorang teman relawan setempat menanyakan, apakah aku akan mengajak pacarku ke pesta ulang tahunnya pekan depan? Aku membisu.

“Pacar?” wajahku merona. Entah kenapa, pikiranku langsung tertuju kepada Stam.

Sungguh membingungkan menghadapi pertanyaan-pertanyaan semisal itu di saat aku tak mengerti bagaimana menggambarkan hubungan di antara kami ini. Gawatnya lagi, pertanyaan itu sering datangnya. Sejak saat itu, tak ada satu malam pun ku lewati, kecuali ku sebut nama Stam sebelum ku terlelap dalam tidurku.

“Mau disebut apa lagi, May, kalau itu bukan cinta? Elo di mana, Stam disitu. Makan berdua, nonton berdua. Ngintiiil aja terus kayak perangko! Jangan konyol, May, Stam cinta sama elo,” nilai seorang teman, relawan Palang Merah Jakarta juga, atas kedekatan kami.

Sampai ketika pertanyaan itu ditanyakan saat Stam ada bersamaku. Jawaban yang diucapkan Stam, sungguh sangat tidak ku duga.

"Oh no! You all got misunderstood. We're just friends."

Hatiku getas. Dalam satu kalimat saja, Stam mengartikan keintiman kami: Just Friends. HANYA. Tidak lebih!

Tentunya, keintiman yang teramat sesuai dengan budayanya di negara sana. Aku tak bisa menyalahkannya. Ia memang tak pernah menciumku. Ia tak pernah memelukku mesra. Bahkan, memegang jemari tanganku pun tak pernah dilakukannya. Untuk ukuran bule, Stam sangat santun. Naifnya aku; semula aku mengira cowok bule akan mudahnya berusaha mendapatkan interaksi fisik dari pasangan ceweknya. Harusnya, aku sadari, Stam sekalipun tak pernah mengucapkan I love you, Aku cinta padamu, atau hanya sekadar memanggilku babe, honey, lof. Harusnya aku berpikir seperti kepala barat-nya berpikir. Cewek bule saja yang sudah dicium, dipeluknya, belum tentu itu berarti cinta. Wajar rasanya, bila Stam menganggapku hanya teman. Seperti yang diucapkannya, “We’re just friends.

Stam tak tahu, setelah itu aku pulang dengan air mata yang berderai.


***


SEKARANG KAMI ‘hanya’ teman. Setengah mati aku tanamkan kata itu dalam hatiku. Setengah mati aku redam guncang dadaku. Setengah mati aku upayakan di pagi hari untuk tidak membersitkan namanya begitu kelopak mataku membuka.

“Sekarang kami ‘hanya’ teman! ‘Hanya’ teman! Hanya, hanya, hanya!”

Ku bulatkan keyakinan itu sebulat-bulatnya. Ku tak ingin goyah oleh sinar mata sapphire-nya. Oleh senyumnya. Oleh kata-katanya. Tidak akan!

Mulai sekarang, akan ku buka diri kepada cinta yang lebih bisa ku harapkan. Bukan cinta dari Stam. Bukan yang ‘hanya’ saja. Karena itu, ketika Bill, kawan yang dibawa Stam, menculikku dari pestafarewell party suatu malam, aku oke saja. Dengan begitu, orang-orang takkan menyebut aku dan Stam sebagai couple lagi. Ku tak ingin, di saat nama Stam disebut otomatis namaku tersebut juga.

Bagai pamer, aku naik ke jok belakang motornya. Begitu menyenangkan, disaksikan orang banyak, aku digandeng Bill merapat ke punggungnya. Pikirku, lain kali aku akan melakukan adegan ini di depan Stam langsung. Biar dia lihat, bahwa aku setuju dengan ‘Just friends’-nya itu.

Hampir semalaman kami berkeliling kota Padang. Lebih menyenangkannya lagi, selera kami sama. Bill sama sekali tidak canggung makan di emperan simpang Adabiah. Dua mangkok besar mie ayam dilahapnya habis tanpa malu-malu. Bill tak kalah menyenangkannya dari Stam. Aksen Skotlandianya saat berbicara, aku suka. Bila ada kekurangan di saat itu, hanyalah rasa ‘klik’ yang tak sama bila seandainya berdua dengan Stam.

Sudah jauh malam saat aku tiba di rumah. Bill mengantarku sampai ke depan gang saja. Betapa kagetnya aku melihat Stam telah berdiri menanti di teras rumahku. Raut wajahnya tak menyenangkan.

"Where is he? You didn’t wear a helmet. You didn’t even answer my phone. I can’t help thinking, why on earth you could go out without wearing a helmet and taking your cellphone. And at this hours?! I’ve been waiting for hours. I’m worried about you.”

Aku dengar nada kesal dari intonasi suaranya. I’m worried about you? Itukah dinyatakan Stam, yang pernah bilang, just friends?

"I am totally fine, Stam. Yes, I didn’t take my cell with me. But, I just had a ride around the corner. Not too far…," dustaku.

Aku tidak mengerti sikap Stam malam itu. Mata birunya memuntahkan jelaga. Aku rasakan itu.

“Wait, Stam!” tahanku, ketika Stam hendak beranjak dari teras rumahku, “I can explain.”

Ia hentikan langkahnya di ujung teras, tanpa berbalik badan menatapku. Tangannya terkepal kuat-kuat.

“Stam, at least I am here now, right by your side. I didn’t mean to make you worried. Tell me, why are you suddenly so panicky like this?” ujarku, hati-hati. Padahal, ingin sekali ku mengatakan, kenapa kau, Sayangku?

Stam menoleh memandangku. Jelaga di matanya melembut. “Sorry, Maya. To tell you the truth, it’s not because of the helmet and the phone thing that worried me. The fact is, you are more than what I can think of. Honestly, I’m jealous. Blindly jealous. I’ve never been this worried before. I need to say that you are the reason why I open my eyes in the morning, just to see you, to make sure you are happy, not upset or missing anything–"

Aku terbungkam. Jawaban itu indah bagiku.

“–Tomorrow, I am leaving for London with the first flight. I’ve finished my job here. My girlfriend is waiting for me there–”

Sepintas cemburuku terbersit. Aku harus menghargai kejujurannya. Apalagi, kejujuran itu berasal dari diri seorang Stam, lelaki yang teramat aku puja.

“–I don’t want to hurt her. Yet, I can’t hide my feeling for you and this jealousy is killing me. Now the answer is all up to you. I’ve tried to be honest.”

“I understand, Stam,” anggukku paham akan kondisinya. Entah senang, entah sedih.

“Thank you.”

Tak ada yang bersuara setelah itu. Baik, aku maupun Stam, hanya memandangi rembulan. Tak ada lagi perkataan yang lebih baik, selain hanya membiarkan hening yang berkata. Ku rebahkan kepalaku ke bahunya. Aku tak akan bertanya. Aku tak menuntut apa-apa lagi. Semuanya sudah jelas kini. Aku hanya ingin menikmati detik-detik terakhir bersamanya, sebelum ia pulang ke London. Stam tahu, betapa aku mencintainya. Sama tahunya aku atas rasa dalam hatinya. Aku terima semua kenyataan itu…

Ku sadari penuh, akan tiba masanya Stam kembali ke negerinya berasal. Kembali dalam dekapan kekasihnya. Sementara aku di sini, tidak akan pernah membuka ruang untuk menyesal dan rasa bersalah. Semua karena keinginanku. Kenyataannya, aku memang teramat mencintainya…


***


BURU-BURU, aku menuju ke kursiku. Beberapa menit lagi, pesawat akan take off meninggalkan London. Sabuk pengaman ku kencangkan. Walau aku tak memiliki keberanian mengetuk pintu rumah Stam­khawatir pacarnya ada bersamanyamemijakkan kakiku ke tanah di mana Stam dilahirkan, menghirup udara yang sama dihirup oleh Stam, mengetahui rumah di mana ia tinggal, semua itu sudah cukup bagiku. Tinggal aku berharap, Stam menemukan buku diaryku, yang sengaja ku tinggalkan di kotak pos yang ditegakkannya di depan rumah. Aku hanya ingin sedikit meninggalkan jejak baginya. Paling tidak, dengan tidak adanya amplop yang membungkus diary itu, Stam jadi tahu bahwa aku pernah datang ke sini. Setelah itu, tak ada yang ku inginkan lagi. Semua yang ku inginkan untuk ku lakukan di negeri ini, sudah tunai ku kerjakan.

Sebal juga. Mestinya, lima menit yang lalu pesawat ini take off. Entah apa yang terjadi. Di ujung pintu, di depan sana, dua orang petugas menginterogasi seseorang. Pikirku, mungkin orang yang masih tertahan di pintu pesawat itu, masih tersangkut masalah administrasi. Selang tak begitu lama, seseorang yang ternyata seorang laki-laki, tergopoh-gopoh berlari di lorong kabin. Ia berlari ke arahku. Di hadapanku, ia mengulurkan tangannya.

“Stam,” sahut lelaki itu.

Tak tergambarkan bahagiaku saat itu juga. Seperti perkenalan kami saat sambutan malam itu, aku jabat tangannya, dan kembali mengulangi semua momen itu seperti semula.

"Stamp? As the thing you put on an envelope?" candaku, riang. Tak banyak berubah. Mata birunya menyiratkan cinta.

"No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?"

Salju akan menipis. Ku titipkan harapanku: salju datanglah lagi, besok atau nanti. Stamkau benar-benar telah kembali, Sayang. Bahkan, sebelum butir salju terakhir menumpahkan cintanya dari langit.●


02 06 10

Keterangan:


shappire stone: Batu nilam/batu safir


Stamp? As the thing you put on an envelope?: Perangko? Sesuatu yang kamu lekatkan di amplop?


No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?: Bukan, bukan, bukan. Tapi kedai, seperti kedai kopi, kedai permen?


No, no, no… Just kidding. All my friends call me Stam: Bukan, bukan, bukan. Aku hanya bercanda. Teman-temanku memanggilku Stam


Oh no! You all got misunderstood. We're just friends: Oh tidak! Kalian salah duga. Kami hanya berteman


farewell party: Pesta perpisahan


Where is he? You didn’t wear a helmet. You didn’t even answer my phone. I can’t help thinking, why on earth you could go out without wearing a helmet and taking your cellphone. And at this hours?! I’ve been waiting for hours. I’m worried about you:Kemana lelaki (yang bersamamu) tadi? Kamu tak pakai helm. Tak menjawab panggilan telfonku. Tak habis pikir aku, bisa-bisanya kamu pergi tanpa helm dan HPmu. Ini sudah jam berapa? Aku sudah menunggumu lama. Aku mencemaskanmu


I am totally fine, Stam. Yes, I didn’t take my cell with me. But, I just had a ride around the corner. Not too far…: Aku baik-baik saja, Stam. Benar, aku lupa membawa HPku. Aku hanya berkeliling-keliling. Tak jauh, kok…


Wait, Stam! I can explain…: Tunggu, Stam! Aku bisa menjelaskannya…


Stam, at least I am here now, right by your side. I didn’t mean to make you worried. Tell me, why are you suddenly so panicky like this?: Stam, sekarang aku sudah di sini. Di sampingmu. Aku tak bermaksud membuatmu cemas. Katakan, mengapa kamu bisa sepanik ini?


Sorry, Maya. To tell you the truth, it’s not because of the helmet and the phone thing that worried me. The fact is, you are more than what I can think of. Honestly, I’m jealous. Blindly jealous. I’ve never been this worried before. I need to say that you are the reason why I open my eyes in the morning, just to see you, to make sure you are happy, not upset or missing anything. Tomorrow, I am leaving for London with the first flight. I’ve finished my job here. My girlfriend is waiting for me there. I don’t want to hurt her. Yet, I can’t hide my feeling for you and this jealousy is killing me. Now the answer is all up to you. I’ve tried to be honest: Maafkan aku, Maya. Sebenarnya, ini bukan tentang helm dan HP yang membuatku cemas. Kenyataannya, kau melebihi apa yang aku pikirkan selama ini. Jujur, aku cemburu. Cemburu buta. Tak pernah sebelumnya aku secemas ini. Kaulah alasan mengapa aku membuka mataku di pagi hari. Hanya untuk dapat bertemu denganmu. Memastikan bahwa kamu senang. Tidak merasa sedih dan kehilangan. Besok, pagi-pagi sekali, aku pulang ke London. Di sini, pekerjaanku sudah selesai. Pacarku di sana telah menantiku pulang. Aku tak ingin menyakiti hatinya.Pada akhirnya, aku benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan perasaanku ini kepadamu. Juga kecemburuanku. Semua terserah padamu, kini. Aku sudah berusaha jujur mengakuinya.


I understand, Stam: Aku mengerti Stam

chat dengan Hudan Hidayat: apa itu indah?