cerita Garing: Logika matematika

Jujur, saya tidak tahu apakah logika matematika itu sama dengan cara berpikir orang-orang “biasa” yang berpikiran “biasa-biasa saja” juga? Atau mungkin pertanyaannya harus diubah. Apakah berpikir secara logika matematika itu sudah pasti menghasilkan sesuatu yang amat masuk akal?

Ih, bingung kan. Kenapa harus maksa ada kata logika matematikanya. Hehehe. Tenang, baca lagi notes ini sampai selesai.

cerita garing: main tebak-tebakan

Putri bungsuku belum berusia 6 tahun memang meski dia sudah duduk di kelas 1 SD. Tapi, dia sudah merasakan duduk di bangku TK cukup lama, 2 tahun, bosan juga jika harus TK lagi. Itu persangkaan awalku ketika akhirnya memutuskan memasukkan dia ke Sekolah Dasar. Untuk sekolah dasar negeri, jelas saja tidak diterima karena sekarang SD menghendaki anak didik harus sudah berusia 6 tahun di tanggal juli. Hanya sekolah dasar negeri Standard Nasional yang sedikit longgar, jadi kurang dari 6 tahun boleh masuk SD. Batasnya di bulan desember akhir tahun dia masuk itu, usianya sudah 5 tahun 8 bulan. Sayangnya kelonggaran inipun putriku tidak lolos karena dia lahir di bulan Januari. Akhirnya masuklah dia ke SD swasta.

Melatih Kesabaran

Entah apa yang ada di kepalaku siang tadi. Semula, hanya ingin melihat-lihat saja pameran Kids Expo di Balai Kartini Jakarta tadi siang. Ini hari pertama pameran tersebut. Niat dari rumah, mau mencari sepatu untuk bungsuku. Biasanya harga pameran sedikit lebih murah ketimbang harga toko. Tapi, ternyata tidak ada satupun stand sepatu di pameran anak-anak tersebut. Yang ada hanyalah Istri Gubernur DKI Jakarta (ah, apa menariknya?). Akhirnya, setelah berputar-putar, aku bertemu dengan sebuah stand Kimmi n Friends. Ini sebuah boneka dari kardus yagn tinggal di rumah yang juga terbuat dari kardus dan memiliki aneka perabotan yang amat sangat "cewek" yang juga terbuat dari kardus.

My Lovely Day

Senja masih menyisakan warna jingga di cakrawala. Sementara wajah bulat matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Ragu aku meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Lalu perlahan membuang napas panjang, membuang resah.

Huff. Mungkin ada sedikit rasa kecewa yang terselip di dalam dada ini. Rasanya sungguh tidak enak manakala ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada tapi tidak ada satupun yang bisa kita lakukan untuk menendangnya pergi. Sedih. Semua rasa sedih yang bersemayam di dalam dadaku ini bermula dari berakhirnya percakapan yang aku lakukan di telepon tadi.

Asyiknya membaca cerpen temanku ini

(cerpen) gubrak, nyoh, dan din- din- din.


by Cepi Sabre on Tuesday, 18 January 2011 at 16:48


Gubrak, Nyoh, dan Din- Din- Din.

Gubrak!

Aku melemparkan tubuhku begitu saja ke atas sofa seperti layang-layang putus. Hasilnya: gubrak yang sangat keras. Sofa hijau pupus ini berderak, sepertinya ada yang patah. Aduh, aku harus memperbaikinya. Tapi, hijau pupus? Sofa ini seharusnya merah menyala. Seingatku, aku tidak pernah membeli sofa berwarna hijau pupus. Terlalu teduh. Orang-orang akan betah duduk berlama-lama di sini. Bukan itu mauku. Aku punya ruang tamu untuk menerima tamu, bukan untuk melayani tamu yang betah berlama-lama. Merah. Sofa harus berwarna merah. Dan menyala.

Aku tidak tahu mana yang harus kurisaukan dari sofa ini, sesuatu yang patah di dalamnya atau warnanya yang hijau pupus. Istriku pasti menggantinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Ini pemberontakan, tidak bisa tidak. Istriku yang jarang bicara itu sudah berani mengganti sofaku tanpa bertanya padaku. Hei, aku arsiteknya di sini. Aku memang arsitek. Soal warna, soal interior, aku lebih tahu dari siapapun. Tapi lebih dari itu semua, aku seorang suami. Laki-laki. Perasaan bahwa kekuasaanku sebagai suami dikangkangi mulai menjalari tubuhku. Telingaku mulai terasa panas.

Gubrak!

Aku marah. Istriku harus tahu bahwa aku yang punya kuasa di sini. Tapi aku terlalu lelah untuk memulai sebuah pertengkaran. Tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Pekerjaan di proyek mulai memasuki masa kritis. Aku terjepit di antara tenggat waktu dan klien yang cerewet. Atasanku mengerahkan semua pekerja untuk bekerja siang dan malam. Itu juga termasuk aku. Aku juga pekerja, walaupun arsitek. Kuputuskan untuk menginap di proyek. Terlalu merepotkan kalau aku harus pulang ke rumah. Tiga hari.

Hari ini barulah aku bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari. Aku lelah luar biasa, tentu saja. Salah satu supir di proyek kuminta untuk mengantarku pulang. Aku terlalu lelah untuk bisa mengendarai mobilku sendiri. Dan benar-benar seperti layang-layang putus, setelah melewati beberapa lapangan dan beberapa sawah, tubuhku akhirnya terhempas di sofa hijau pupus ini. Ah, sofa hijau pupus. Kenapa harus hijau pupus? Supir yang mengantarku masih berteriak-teriak dari dalam mobil. Sepertinya dia masih ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi aku sudah tidak peduli. Pintu kututup dengan keras.

Gubrak!

Setelah tiga kali gubrak, seorang perempuan akhirnya mendatangiku. Istriku. Dia berdiri saja di sisiku. Menatapku lama dan tidak bicara. Seperti biasanya. Istriku memang jarang bicara. Mungkin dia memang dididik seperti itu. Dididik bahwa suami adalah segala-galanya. Raja, kalau bukan dewa. Mungkin juga istriku bisa memahami pekerjaanku yang berat. Memahami suaminya yang seringkali pulang larut malam dalam keadaan lelah. Bahkan tidak jarang baru pulang ke rumah setelah beberapa hari lembur. Seperti sekarang.

“Kopi.”

Kata orang, beda antara pelacur dengan istri yang sah adalah secangkir kopi. Secangkir di pagi hari dan secangkir lagi malamnya. Tapi aku sendiri tidak pernah tertarik untuk mencoba seorang pelacur. Bukan karena mereka tidak menyediakan kopi, tapi karena aku memang tidak tertarik. Selain karena mahal juga. Bekerja sekeras ini pun aku masih harus pontang-panting untuk membiayai kebutuhanku dan istriku. Orang bilang, aku diperbudak pekerjaan. Tapi sebenar-benarnya, aku diperbudak oleh kebutuhan. Harga-harga terus naik. Merambat atau meroket sama saja. Naik. Intinya, tidak ada anggaran buat melacur.

Membuat secangkir kopi tidak mungkin memakan waktu sampai satu paragraf. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis satu paragraf, tapi seorang arsitek yang kelelahan butuh tidak kurang dari setengah jam. Setengah jam untuk secangkir kopi, lama sekali.

Aku memaksa kaki-kakiku yang lelah untuk membawaku ke dapur. Istriku sedang mengaduk kopi dengan lembut. Pinggulnya, aduh, pinggulnya. Sudah setahun kami menikah. Ratusan kali aku sudah tidur dengan istriku. Tapi tiga hari aku tidak bertemu dengan istriku, dan pinggulnya itu, dan pinggulnya itu. Aku memeluknya dari belakang. Menciumi lehernya dari belakang. Istriku tersentak. Kaget. Tapi lehernya dijulurkannya juga.

Nyoh.

Aku terus menciumi leher istriku. Lehernya begitu jenjang. Kemana saja aku tiga hari ini, atau setahun ini, sampai tidak menyadari begitu indahnya leher istriku. Aku mulai merasa menjadi dewa yang mati selama tiga hari, lalu bangkit dan menebus tiga hari yang terlewati itu. Kepala istriku menggeliat ke sana ke mari. Istriku seperti menikmatinya. Tangannya mulai sibuk mencari-cari pegangan. Mungkin karena takut jatuh. Mungkin juga karena tak kuat menahan sesuatu. Di dalam hatinya, istriku mungkin juga bertanya-tanya, kemana saja suaminya ini selama tiga hari atau setahun belakangan?

Nyoh.

Cepat sekali istriku membalik badannya. Kami berhadap-hadapan seperti jagoan dari film-film barat lama. Bedanya, kami sama tidak menenteng pistol di pinggang. Sebentar saja kami sudah saling mencium. Bibir istriku begitu merah. Dan basah. Aku membayangkan irisan tomat dengan es batu yang sering kuminum di proyek ketika matahari begitu garang. Betapa segar meminumnya dalam beberapa tenggak. O, tiga hari yang sungguh melelahkan. O, tiga hari. O, tiga hari. Dan aku bersyukur bibir istriku tidak berwarna hijau pupus.

Baru setahun kami menikah. Sudah tiga hari istriku kutinggalkan. Aku tidak pernah menyadari betapa hebat ciuman istriku. Sama seperti aku tidak menyadari betapa indah lehernya. Tangan istriku tidak lagi mencari-cari pegangan, tangannya menggapai-gapai. Melihatnya seperti melihat orang yang sedang tenggelam dan berusaha minta tolong. Sepertinya, bibirku menenggelamkan bibirnya, seperti laut menenggelamkan butir-butir pasir. Aku percaya, kalau saat itu ada penjaga pantai, mereka pasti akan bergegas berlari menolongnya. Aku percaya, celana mereka pasti merah. Bukan hijau pupus.

Nyoh.

Nyoh.

Nyoh.

Din, din, din.

Kami berdua hampir meledak. Tiga hari, gubrak, sofa hijau pupus, dan kopi setengah jam. Tiga hari, leher yang jenjang, dan bibir-bibir yang nyoh. Istriku pasti tidak berharap laut segera membawa butir-butir pasir terdampar di pantai. Hampir empat paragraf lamanya kami berciuman. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis empat paragraf, tapi seorang arsitek yang sedang terbakar nafsu butuh tidak kurang dari satu jam. Dan aku bersyukur bahwa aku adalah arsitek, bukan penulis. Tapi din- din-din itu sekarang mulai menggangguku.

Sebuah ingatan akan sofa hijau pupus berkelebat cepat di kepalaku. Aku tidak berharap din- din- din itu adalah tamu yang menikmati teduhnya ruang tamuku dengan sofa hijau pupusnya. Tapi ingatan itu mulai mengendurkan cengkeramanku. Begitu juga istriku. Dia pasti lebih terganggu pada din- din- din itu daripada memikirkan sofa yang dibelinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Tangannya mulai pindah ke dadaku, mendorong pelan, memberi isyarat untuk menjauh. Laut masih harus bersabar menunggu datangnya badai.

Din, din, din.

Ada alasannya kalau aku memilih warna merah untuk sofa. Di saat kami hampir meledak seperti ini, alasan itu dan naluri arsitekku ternyata benar. Ini saatnya menepuk dada kukira. Tapi dada yang hampir meledak ini tidak bisa ditepuk sembarang waktu. Istriku memandangiku dengan bingung. Wajahnya pias. Aku lebih bingung melihatnya bingung. Dari dapur, istriku berusaha mengintip asal suara yang membatalkan badai yang kami buat selama empat paragraf.

Din, din, din.

Aku tidak meninggalkan bekas apa-apa di bibirnya, tapi istriku berusaha membersihkan bibirnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sofa hijau pupus itu saja sudah menyinggung kelaki-lakianku. Cukup untuk menghasilkan sebuah gubrak. Lalu sebuah bekas ciuman yang dihapus bisa menghasilkan berapa gubrak? Hanya kebingunganlah yang sekarang memisahkan aku dengan beberapa gubrak itu. Istriku benar-benar sedang ketakutan. Dia seperti didatangi oleh hantu laut. Istriku memang jarang bicara, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya sepucat ini.

“Suamiku,” katanya.

“Hah!”

Din, din, din.

“Suamiku pulang,” katanya lagi.

Din, din, din.

Apa-apaan ini? Tiga hari kutinggalkan istriku dan dia sudah bisa menyebut din- din- din itu sebagai suaminya. Dua juta gubrak tidak akan cukup untuk meredakan amarahku. Terbakar. Tidak ada lagi laut, tidak ada lagi pasir, tidak ada lagi badai. Kering. Cepat aku berlari ke ruang tamu. Sofa hijau pupus itu lagi. Dari balik jendela aku melihat sebuah mobil dengan seorang laki-laki di dalamnya. Kepalanya mulai terjulur keluar. Din- din- din yang tidak mendapat tanggapan memaksanya menurunkan kaca mobil dan menjulurkan kepala. Dari wajahnya yang merah aku tahu bahwa din- din- din itu akan segera berubah menjadi gubrak.

Tapi bukan laki-laki dengan wajah merah di dalam mobil itu yang menggangguku. Juga bukan din- din- din-nya. Di belakang mobil itu aku melihat sebuah rumah kecil. Dari jendela rumah itu aku bisa melihat sofa merah menyala di ruang tamunya. Sofa merah menyalaku. Di depan pintunya, seorang perempuan sedang menyapu teras kecilnya. Istriku. Bibirnya memang tidak merah, tidak basah, tapi dia istriku. Lalu siapa laki-laki yang din- din- din ini? Dan yang lebih penting lagi, siapa perempuan yang nyoh- nyoh- nyoh selama empat paragraf tadi?

Gubrak!
--------------------
- end of note -

Pertanyaannya....?

Semula, aku ikut event resolusi diri di hasfa publisher itu sekedar mengirimkan mimpi yang sudah terlanjur aku tulis.

Bersyukur 2

Alhamdulillah lagi, naskahku yang diikut sertakan di lomba resolusi di tahun 2011 kembali terpilih. Pertanyaan selanjutnya yang aku ajukan pada diriku adalah, kapan mau mulai menjalankan resolusiku tersebut?? BIsmillah.. semoga berhasil menjalankannya.

Pengumuman Resolusi Diri 2011
by Hasfa Publisher on Wednesday, 19 January 2011 at 10:19
Pengumuman Resolusi Diri 2011

Sejak dilansirnya kegiatan menulis Resolusi Diri 2011, banyak respon dan
sangat beragam. Mulai dari yang langsung berminat, hingga yang berminat
tapi tidak tahu harus menulis apa. Ketika kegiatan ini mensyaratkan
hanya maksimal 333 karakter saja, hampir semua mempertanyakannya.

Alhamdulillah telah tersusun 111 resolusi diri 2011i. Maka tak ada alasan bagi kami untuk tidak mengucapkan
banyak terima kasih kepada mereka yang sudah mengirimkan resolusi dirinya sebelum pukul 11 hari Selasa 11 Januari 2011, dan kini akan menjadi bahan bacaan ini.

Setiap usaha tidaklah akan sia-sia, selama itu menjadi kesungguhan. Maka
setiap resolusi peserta kegiatan ini pun, kami berharap menjadi energi hingga menjadi sumbu yang terbakar.

Berikut daftar namanya:

Ade Anita
adew fatim
Agustina Leonita
agustini suciningtyas
Aliyah Azka
Annisa Septia
April Susiloningrum
Arien Ratih
Arif Zunaidi
Biolen F Sinaga
chaironnisa fitry
Daniel Hermawan
Desi Sachiko
Dewayanie
Dewi Chairani
Dila Saktika Negara
dini sari
Dreamyhollic Santi
dwi handoko
dwi harjanto
Dyah Prabaningrum
Eka Nur Susanti
Eka Putri Hapsari
Eka Rachma Kurniasi
elis homsini
Endang Ssn
Esha Amanita
Eva Syamsudin
Evi Syahida
Faricha Hasan
Faujiah Lingga
Fauziah Harsyah
Fitri Gendrowati
gadis puri rahayu
Galuh Kencono Wulan
Ghufron Cholid
I Putu Gede Pradipta
Ibnu Atoirahman
Inggar Saputra
Intan Hs
Isyana Devi Pram
Kiandra Aesha
Laksmi Laksmi Satiti
Lamhot
Linda Nurhayati
Mega Anindyawati
Mieny Angel
Muhammad Iqbal
Naqiyyah Syam
Nurul Ikoma Kristanti
Pik Parwati
Puput Happy/Futicha Turisqoh
Ratnadwi
Rezky Darozatus sholihin
Riawani Elyta
Rika Rusianum
Shabrina WS
shane_shane issabel_cute83
Shii Chan
Siska Indah Kurniawati
Sri Wahyuti
Sri Winarti
Sukimah
Syarifah Bachrum
ukhty dhea tazkiyatun afiffah/ Monita Dea Etika Saris
Ummu SaRah Bint Achmed
Vana Pinkerz
Veronica Gabriella
Winda Melanta Ginting
Woro Sri Ngudiastuti
Wulan Wahyuning Ratri
Yogi Ramadhanosta
yukie coriander
Yulia Fatmianeri
Yulli Riswati
Yunita Adawiah
Yuridista Putri Pratiwi
Zee Shabrina

Selamat menikmati 2011. Salam kebaruan.
Insya Allah akan diberitahukan segera jika e-book Revolusi Diri 2011 ini siap launching.

Bersyukur 1

Alhamdulillah... akhirnya, aku bisa masuk ke 30 besar cerpen terbaik versi Taman Sastra. Tinggal tunggu pengumuman berikutnya, apakah bisa masuk 3 besar? hehehe... mari bermimpi dan berharap.

NILAH 30 PESERTA LOMBA Judul Awal Rumah Group TAMAN SASTRA YANG KARYANYA AKAN DI BUKUKAN, RUMAH DAN PUISI SIAPAKAH YG AKAN BERGELAR JUARA I, II, DAN III ?

TOP 10 PESERTA KELOMPOK I :

16 SINTA AGUSTINA - RUMAH TUA - S E P I
19 APIP THE FRONT LINER - RUMAH API - KEARIFAN LELAKI RENTA
20 LINA LI - RUMAH BERKALANG OMBAK - TERPENJARA SUKA
40 LONYENK RAP - RUMAH SEMUT - BAYI-BAYI LUKA
48 EVATYA LUNA - RUMAHKU SURGAKU - RUMAH MASA DEPAN
56 ROSI MEILANI - RUMAH PERUT BUMI - WHITE MALVERN
58 AKH MUL - RUMAH KARDUS - SENANDUNG KAUM PINGGIRAN
68 FADILA HANUM - RUMAH KANIBAL - ANDAI DOSA BUSUK BAUNYA
69 MUHIBBAT AT THABARY - RUMAH GERIMIS - PESAN UNTUK LANGIT
78 FITRI AMALIYAH BATUBARA - RUMAH HATI - RUMAH PEREMPUANMU


TOP 10 PESERTA KELOMPOK II :

81 WINDA KRISNADEFA - RUMAH KERTAS ZOIA - UNTUK HARAP DAN MIMPI
106 ROSINTAN HASIBUAN - RUMAH SUAMI - KALBU KAYU
119 HERI JIP-AJIP - RUMAH RODA - PURNAMA TANGGAL 14
120 MUTAMINAH SANG PENULIS - RUMAH PELANGI - AKU PULANG
126 ARIESKA ARIF - RUMAH 911 - LASKAR PEMIMPI MENULIS
133 DIAN ANGGRAHINI P - RUMAHKU, RUMAH JOGLO - RUMAHKU, RUMAH JOGLO
137 MUHAMMAD HADDIY - RUMAH BADAI YANG MENGERAM AMUK DLM DIRI - RUMAH DOA BERATAP BADAI
144 SYARI VAQOTH - RUMAH CINTA DALAM TENDA - AYAT-AYAT IBU
148 SPARKLING AUTUMN - RUMAH, MERAH-PUTIH DAN CINTA - PENYAIR ATAU PENYIHIR
160 ROBIN WIJAYA - RUMAH ATAP LANGIT - WANITA BERBAJU SYAHDU


INILAH TOP 10 PESERTA KELOMPOK III

166 LIA ARRUMAISHA - RUMAH POHON IMPIAN - TOPLES-TOPLES AIR MATA
168 LAMHOT SUSANTI SARAGIH - RUMAH RINDU : DUNIA DALAM ANGANKU - DALAM PERJALANAN PULANG
171 AMERUL RIZKI - RUMAH HUJAN - KISAH DARI HUJAN

176 ADE ANITA - RUMAH UMAK - PULANG

189 CICIT SUCRITAWATI R - RUMAH PASIR YANG TERHEMPASKAN - DAN TIDAK AKAN PERNAH
201 HAVEZ ANNAMIR - RUMAH BINTANG - UNTUK IBUKU
214 EDU BADRUS SHALEH - RUMAH PUISI - RUMAH TEPI
231 ABOY GHEMBWELL SHURTYE - RUMAH KEDUA - RUMAH CINTA
232 AKHI DIRMAN AL-AMIN - RUMAH CINTA YANG KU DAMBA - KUPU-KUPU DI TELAN MALAM
237 DANG AJI SIDIK - RUMAH REOT - SEANDAINYA MASIH ADA CINTA


SILAHKAN TEBAK DGN MENULIS COMMENT DI BAWAH NOTE INI, SIAPAKAH NAMA PENULIS YG AKAN MENJADI JUARA I LOMBA INI ? BAGI YG MENJAWAB DENGAN BENAR AKAN MENDAPAT NILAI 3 POINT YG AKAN DI TAMBAH PD PENILAIAN LOMBA SELANJUTNYA.

- TIAP ORANG HANYA BERHAK MENULIS 1 BUAH NAMA
- JIKA TERDAPAT BEBERAPA ORANG YG MENEBAK YG SAMA DAN BENAR, MAKA AKAN DI LAKUKAN PENGUNDIAN

Like · Comment · Share