[Lifestyle] Aku dan suamiku mengunjungi rumah kami yang sedang direnovasi. Pingin lihat sudah seperti apa perubahannya.
Ternyata sudah lumayan banyak perubahannya. Dan mulai terlihat juga bahwa struktur rumah lama sudah banyak yang rusak. Bersyukur Allah masih melindungi kami sekeluarga sehingga rumah itu tidak roboh ketika kami masih menempati rumah itu dulu. Memang sih, di setahun terakhir kondisinya mulai parah memang. Setiap kali musim hujan tiba pasti listrik di rumah lama itu, yang displit jadi dua bagian, akan mati separuh rumah. Separuh rumah itu berarti bagian kamar utama, kamar putra sulungku, ruang tamu, teras depan. Itu sebabnya jika malam tiba bagian depan rumahku akan gelap sekali sepanjang musim hujan atau ketika musim hujan sudah berlalu tapi hujan turun dengan deras.
Jalan-Jalan Ke Museum Nasional (1)
[Keluarga] Bulan lalu, alhamdulillah tulisanku yang diikut sertakan di lomba museum nasional terpilih sebagai salah satu tulisan paforit pilihan juri. Hadiahnya lumayan. Nah, karena kebetulan bulan lalu putri-putriku libur sekolahnya jadi aku ajak mereka ke museum nasional. Sayangnya, museumnya tutup jika hari senin ternyata. hahahaha.. dodol, kenapa gak merhatiin jadwal kunjungan dulu ya.
Bahagia itu Sederhana
Bahagia itu sederhana saja.
Tidak perlu memiliki harta untuk membuat hati merasa bahagia. Aku belajar hal ini dari putri bungsuku. Dia tidak pernah menuntut sesuatu yang tidak terjangkau kemampuan orang tuanya. Pun tidak pernah marah jika suatu hari menghadapi kenyataan bahwa keinginannya tidak terpenuhi. Yang dia inginkan hanya satu: dekat dan merasa nyamana dengan kedua orangtuanya.
Itu sebabnya, setiap kali bepergian, dia tidak pernah menuntut minta dibelikan sesuatu. Cukup selama di perjalanan itu, aku menggenggam tangannya dengan lembut dan mengajaknya berbincang-bincang.
Di rumah, dia tidak pernah menuntut makanan yang terhidang harus yang enak apalagi mewah. Cukup dia dilibatkan dalam proses pembuatan dan apapun hasilnya ada apresiasi positif untuk jerih payahnya tersebut.
Dan ketika PEMILU (pemilihan umum) dan PILPRES diadakan, meski dia belum masuk umurnya untuk bisa punya hak untuk mencoblos tapi dengan ikut masuk ke dalam bilik lalu melihat proses pencoblosan dan berakhir dengan kesempatan bisa merasakan ujung jarinya dicelup dan diwarnai tinta pemilu dia sudah bahagia luar biasa.
Ah. Bahagia itu sederhana kok.
Masak Apa: Sapo Tahu
Bingung masak apa buat sahur? Aku termasuk orang yang lebih suka masakan yang mudah dan tidak terlalu rumit bikinnya. Dan utama, karena di rumah orang-orangnya tidak suka cabe alias ogah pedas, serta menghindari santan jadi kecenderunganku masak adalah sesuatu yang serba tumis atau rebus.
Kali ini, mau berbagi resep masakan SAPO TAHU.
Kali ini, mau berbagi resep masakan SAPO TAHU.
Ayah dan Aku
Jumat, 18 Juli 2014
[Keluarga] ini arsip dari status facebookku tanggal 15 Juli 2014
![]() |
| foto diambil dari akun facebook John Tesh https://www.facebook.com/JohnTesh |
Kalau hal ini ditanyakan padaku, maka jawabanku sudah pasti satu orang: AYAHKU.
Sampai sekarang, aku tetap merindukan beliau meski dia sudah meninggal dunia tahun 2009 lalu.
Waktu piala dunia bertanding, aku pasti akan mendengar celotehnya yang berharap team Belanda kalah (hahaha, maaf ya buat penggemar team Belanda). Sejak dulu ayah tidak pernah mau membela team Belanda bahkan meski mereka hebat di lapangan. Alasannya sederhana: karena Belanda pernah menjajah kita. Xixixi.
Lalu ketika pemilu dan pilpres kemarin, pasti ayah akan mengajakku diskusi tentang perkembangan politik terkini. Aku dan ayah kadang berbeda pandangan tapj kami selalu berdiskusi tanpa menyakiti atau menyerang pihak yang berbeda dengan pilihan kami. Hanya saja, ayah tidak suka jika aku menyatakan keberpihakanku tapi aku tidak tahu alasannya. Harus ada alasan yang bisa dipertanggung jawabkan untuk semua pilihan keberpihakan kita.
Satu jam pasti tidak akan cukup.
Semasa hidupnya, meski sudah dilarang ibu yang takut ayah sakit, ayah tetap setia mengunjungiku setiap pagi. Ketukan tangannya di pintu rumahku sudah menjadi kerutinan.
Datang.. lalu baca koran. Setelah itu kami akan ngobrol membedah isi berita terkini yang dia baca dari koran yang dibacanya.
Rutinitas ini yang membuatku bahkan hingga 2 tahun setelah kematian beliau, tetap menunggu di ruang tamu yang sepi dan koran hari ini di tangan. Berharap ayah datang mengetuk pintu seperti dulu.
PEKAN LALU... aku akhirnya bermimpi bertemu ayahku.
Kami berbincang akrab di atas buritan sebuah kapal laut yang sedang bergerak membelah laut. Hingga tiba di sebuah dermaga, ayah memaksaku untuk turun dan kembali berkumpul dengan suami dan anak2ku.
Aku menolak. Aku ingin pergi bersamanya. Rinduku belum tuntas. Tapi ayah menepis keinginanku.
"Belum saatnya, ade. Belum saatnya."
Lalu dihantarnya aku kembali ke tepi dermaga menyambut suamiku dan anak2 yang menunggu.
Sedih.
Harus berpisah lagi.
Harus kangen lagi.
Lihat foto ini aku jadi ingat hamparan laut yang kami pandangi di atas buritan kapal di mimpi itu. Indah sekali pemandangannya kala itu.
Langit yang biru cerah.
Perairan yang biru kehijauan.
Angin yang berhembus lembut.
Dan ayah yang membiarkan kepalaku bersandar di atas pundaknya.
Aku Punya Dua Lelaki Hebat (alhamdulillah) (1)
Jumat, 04 Juli 2014
Sejak menikah, aku tidak menggunakan tenaga pembantu rumah tangga (sekarang, istilah ini di perkotaan dan di kalangan menengah terpelajar diganti dengan istilah asisten rumah tangga; bahasa inggris untuk kedua profesi ini adalah housemaid). Semua berawal ketika aku menyusul suamiku yang menjalankan tugas belajar di luar negeri kala itu tidak lama setelah melahirkan anak pertama. Tenaga housemaid disana mahal. Tapiiii... barang-barang elektroniknya murah. Jadi, meski tidak menggunakan tenaga housemaid, aku menggunakan secara maksimal keberadaan benda-benda elektronik untuk memudahkan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Hasilnya, aku sih happy-happy aja.
Oh ya, jangan menyangka bahwa hidupku sebelumnya memang terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Kebetulan, sebelum menikah aku dikaruniai sebuah keluarga yang cukup berada. Jadi, yang namanya pembantu rumah tangga alias housemaid itu selalu ada di rumahku. Terkadang satu orang, terkadang lebih dari satu; pernah sampai tiga orang malah. Rumah ayah memang besar, berdiri di atas lahan setengah hektar, bertingkat dua pula dengan tujuh (7) buah kamar tidur dan tiga (3) buah kamar mandi serta dua buah halaman di depan dan samping rumah yang amat luas. Rasanya jaman dahulu tuh tidak mungkin jika tidak menggunakan tenaga pembantu untuk membereskan rumah itu. Belum cucian pakaiannya yang selalu menggunung karena berasal dari 5 orang anak (anggota tetap rumah, yaitu kami-kami ini) dan minimal 4 orang dewasa (selain ibu dan ayah, selalu ada saudara yang tinggal menumpang di rumah. Entah untuk keperluan sekolah, atau tugas dinas kantor atau belum menikah tapi bekerja di Jakarta. Kami adalah keluarga perantauan, dan ayah dianggap sesepuh dalam hal ini di kampung halamananya sehingga jika ada saudara dari Palembang atau Sumatra Selatan yang akan ke Jakarta, pasti tinggalnya di rumah).
Karena dari kecil selalu dilayani oleh pembantu rumah tangga (dibantu oleh saudara yang juga tinggal di rumah) maka aku tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Tidak terbiasanya tuh sampai ke level benar-benar tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Itu sebabnya ketika baru menikah dan suamiku belum berangkat tugas belajar ke luar negeri itu, suamiku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah dalam rangka mendidik aku istrinya. Mulai dari membereskan tempat tidur, mengebutnya dengan sapu lidi (dulu waktu awal nikah, aku cuek saja dengan apapun kondisi tempat tidur kami. Berantakan kek, rapi kek, dibiarkan begitu saja. Lalu suamiku yang mengajakku membereskannya; awalnya mengajari caranya seterusnya menegur jika aku lupa. Akhirnya aku jadi otomatis merapikannya (dengan catatan: kalau aku ingat...).
Sampai urusan mencuci pakaian dan menyeterikanya pun dikerjakan oleh suamiku sebelum dia berangkat bekerja atau ketika ada di akhir pekan. Termasuk juga cuci piring malah. Dulu aku paling jijik jika disuruh cuci piring oleh suamiku. Jadi, jika dia membujuk aku untuk cuci piring sisa makan dan memasak kami, aku selalu mengerjakannya sambil berlinang air mata. hahahha.... Waktu itu sebellll banget. Hingga muncul sebuah ide cemerlang.
"Mas... kenapa sih kita nggak makan pake daun saja. Jadi setelah makan, tinggal buang."
"Hush. Memangnya kita sedang tinggal di hutan."
"Ade sebel kalau harus cuci piring tiap hari."
"Ya gimana? Kalau tidak dicuci nanti bertumpuk terus... lagian, kalau tidak dicuci nanti piringnya habis terus kita makan pake apa? Makan pake daun nggak bisa pake kuah. Iya kan?"
Suamiku sabarrrrrr sekali orangnya. Dia tidak marah karena aku selalu menolak mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang buatku benar-benar baru itu (kebanyakan sih karena alasan tidak bisa mengerjakannya alias gak tau caranya). Tapi parahnya, dia juga selalu menolak keras proposal yang aku ajukan agar kami mencari tenaga pembantu rumah tangga untuk membantuku.
"De... rumah kita tuh isinya cuma kita berdua. Perabotan juga nggak banyak. Rumahnya juga mungil. Apa yang mau dikerjakan oleh dia coba, padahal gaji terus dikasih? Nggak ah. Kita bisa kok mengerjakan sendiri."
Iya juga sih. Sebelum menikah, aku memang mengajukan syarat bahwa aku akan menikah jika dia sudah punya rumah milik sendiri. Aku tidak mau jika hanya rumah kontrakan saja. Karena, dari pengalaman yang aku lihat pada orang-orang, sering mereka yang tinggal di rumah kontrakan pada akhirnya tidak pernah sempat untuk menabung untuk membeli rumah sendiri. Akibatnya, seumur hidup harus tinggal di rumah kontrakan. Padahal, di keluargaku, rumah dan tanah itu adalah investasi. Jadi, punya rumah sendiri itu termasuk investasi yang harus dimiliki. Meski kecil yang penting sudah rumah sendiri. Jadi, setelah menikah, suamiku memboyongku tinggal di rumah tipe 45 di pinggir kota Jakarta. Mungil dan sederhana. Dan seperti pengantin baru lainnya, barang-barang yang kami miliki baru televisi, mini HIFI, lemari, seperangkat meja makan dan seperangkat tempat tidur. Sudah. Tidak ada lemari pajangan, tidak ada pajangan, karpet atau apa saja. Memang benar apa yang dikatakan suamiku. Jika kami memiliki pembantu saat itu, dia juga bingung kali mau mengerjakan apa di rumah yang isi rumahnya saja cuma sedikit banget. Paling ujung-ujungnya dia keluar rumah setelah membereskan tempat tidur (yang cuma ada satu itu) lalu ngerumpi dengan tetangga. hahahahha... gabut berat.
Bukan tanpa usaha akalku untuk memudahkan pekerjaan baruku membereskan rumah. Aku pernah, saking bencinya dengan pekerjaan cuci piring, akhirnya membuang semua piring-piring kotor di dapur ke tempat sampah. Lalu aku membeli piring yang baru; yang bentuknya sama persis, tapi lebih bersih. Tinggal disiram air sejenak untuk menghilangkan debu, lalu mengelapnya sampai kering. Lewat sebulan aku melakukan hal itu, duit sakuku pun habis. hahahahha.... dan sepertinya pemulung di luar sana sedang bergembira karena setiap hari menenukan piring-piring yang masih amat layak pakai di tempat sampah.
Setelah duitku habis, aku minta suamiku. Tapi suami belum gajian. Jadi, aku naik kereta api dan berangkat ke Jakarta (kesannya jauhhh banget ya rumahku itu. hahaha.. padahal sih cuma di pinggir Jakarta saja dan kereta api tuh transportasi paling cepat tanpa ngetem dan tanpa macet). Aku ke rumah orang tuaku. Ibu selalu memberikan salam tempel setiap kali kami bertemu. Cukup untuk membeli piring baru. Tapi, duit itu seminggu langsung habis. Lalu aku kembali ke rumah orang tua lagi, dan ibuku kembali memberiku uang. Tapi kali ini di depan ayahku. Melihat adegan aku menerima uang saku dari ibu, ayah langsung menegur ibu dan aku.
"Jangan memberi dia uang lagi." kata ayah.
"Buat jajan saja kok. Sedikit." Ibu membela diri.
"Nggak. Dengar kataku, jangan memberi dia uang, kecuali jika dia memang memintanya dengan sebuah alasan. Anakmu itu sudah menikah, sudah punya suami, jadi kita tidak boleh lagi ikut urusan rumah tangga mereka."
"Ai kolot nian. Aku cuma ngasi uang jajan saja, bukan ingin mencampuri urusan rumah tangga anak-anak."
"Memberi uang jajan pada anak yang sudah menikah itu termasuk mencampuri urusan rumah tangga anak-anak. Mulai sekarang, semuanya harus sepengetahuan suaminya. Kalau dibelakang suaminya kamu memberi dia uang jajan, itu berarti kamu mengajarkan anak untuk diam-diam menerima pemberian dari orang lain tanpa sepengetahuan suaminya."
Lalu dengan sekali renggut, ayah mengambil uang yang sudah terkepal di dalam genggaman tanganku. Duhhhh.... hilang sudah uang untuk membeli piring baruku. hiks.
Ibuku marah ditegur demikian, di depan aku lagi anaknya. Jadi, ibu marah-marah lalu masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. Ayah tidak menggubrisnya. Sebaliknya, dia mendekatiku.
"De, mulai sekarang, ayah melarang kamu untuk menerima hadiah apapun, termasuk uang, tanpa sepengetahuan dari suamimu. Ingat ya nak, setelah menikah, suami itu adalah orang pertama yang harus kamu patuhi. Bahkan kamu harus lebih patuh ke dia ketimbang pada ayah dan ibu. Jika suamimu sekarang hanya bisa memberimu uang gajinya saja, maka kamu harus terima dan belajarlah untuk menghemat. Jika suamimu memberimu uang tambahan di luar gaji dan mengajak untuk bersenang-senang, nikmati. Tapi jika dengan uang tambahan itu dia punya pemikiran lain, ikhlaskan selama itu untuk kebaikan. Tapi jangan pernah menerima uang dari siapapun, siapapun, termasuk dari ayah dan ibu tanpa sepengetahuan dari suamimu. NGERTI?"
"Ngerti ayah."
"Dan selain bermufakat diam-diam di belakang punggung suamimu, kamu juga tidak boleh berbohong padanya."
Aku menangis waktu itu. Kebayang lagi harus cuci piring jika tidak bisa membeli piring baru. hahahha.... Akhirnya, dengan sisa uang yang aku miliki, aku naik kereta api dan turun di stasiun Pasar Minggu. Disanalah aku menemukan pring plastik. Harganya jauhhhh lebih murah daripada piring beling. Dijual perkodi dengan harga yang amat murah. Wah. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sejak itu, kami menggunakan pirng plastik untuk makan. Setelah makan dibuang. Horeeee.
Sampai akhirnya, suamiku mulai curiga.
"De... piring-piring kita kenapa sekarang plastik semua ya?" (duh.. kenapa dia tiba-tiba bertanya sih? Biasanya gak pernah ada pertanyaan. Aku mengalami dilema. Mau berbohong, kata ayah tidak boleh berbohong. Kalau jujur, takutnya nanti kena marah. Tapi... aku adalah anak yang selalu menuruti perkataan ayahku. Jadi, aku jujur berkata padanya.)
"Mas... ade malas kalau harus cuci piring terus. Ade jijik. Jadi, sejak sebulan lalu, ade buang piring. Lalu..... bla..bla..bla..." (mulutku terus bercerita dengan jujur, sejujur-jujurnya. Karena kejujuran pertamaku ini, sampai sekarang aku sulit sekali berbohong di depan suamiku).
Suamiku yang sabarnya luar biasa itu (semoga Allah senantiasa memberinya keberkahan) sama sekali tidak marah. Dia kaget, dan mungkin shock juga, tapi sama sekali tidak marah. Dia mau mengerti dan berkata bahwa dia akan membantuku tapi tetap saja aku harus mengerjakannya.
"Kalau kamu nggak pernah mengerjakannya, nanti kamu gak pernah tahu bagaimana cara mengerjakannya."
Sejak itu, jika selesai makan, maka suamiku menyisihkan semua kotoran di piring kotor, membuangnya ke tempat sampah, dan piring yang sudah tidak ada kotorannya lagi itu ditaruh di tempat cuci piring. Aku tetap dimintanya untuk mencucinya. Tapi kali ini dia menemani dengan berdiri di sampingku dan bercerita tentang apa saja. Sehingga aku tidak punya kesempatan untuk bersedih atau merasa sedang dikerjain, atau merasa sendirian lalu punya pikiran sedang melakukan pekerjaan yang menjijikkan.
Lama-lama, yang semula cemberut mencuci piring dan cuma terdiam sambil mendengarkan dia berbicara apa saja, aku mulai tergelitik untuk ikut menimpali semua pembicaraannya. Lalu, perlahan mulai melakukan pekerjaan cuci piring sambil ngobrol hingga tidak terasa semua piring sudah bersih dicuci. Setelah semua pekerjaan dapur beres, sambil ngobrol seru kami kembali ke dalam kamar dan melakukan pekerjaan lazimnya sepasang pengantin baru. #eh? :P
Satu bulan yang lalu, yaitu bulan JUni 2014, ketika sedang membicarakan pengalaman sebuah keluarga baru dan mertua mereka, suamiku memberi sebuah komentar yang buatku surprise sekali. Karena selama ini aku tidak pernah mendengar dia mengatakan seperti itu.
"Kalau aku sih, aku lebih suka dengan sistem ayah kamu. Dia tidak pernah mencampuri urusan rumah tangga anaknya; dan memberi kesempatan pada anak untuk mandiri."
"Tapi mas, mertuanya dia kan tidak mau jika dia sampai terpuruk gitu."
"Sekali lagi, aku lebih setuju dengan cara ayahmu terhadap rumah tangga anak-anaknya. Ayahmu memang kayaknya cuek, tapi sebenarnya dia mengajarkan anaknya bahwa hidup ada kalanya di bawah, tidak selalu di atas, tapi justru dengan itu anaknya jadi belajar." (sambil melirikku manis sekali. Uhuk.... uhuk).
Oh ya, jangan menyangka bahwa hidupku sebelumnya memang terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Kebetulan, sebelum menikah aku dikaruniai sebuah keluarga yang cukup berada. Jadi, yang namanya pembantu rumah tangga alias housemaid itu selalu ada di rumahku. Terkadang satu orang, terkadang lebih dari satu; pernah sampai tiga orang malah. Rumah ayah memang besar, berdiri di atas lahan setengah hektar, bertingkat dua pula dengan tujuh (7) buah kamar tidur dan tiga (3) buah kamar mandi serta dua buah halaman di depan dan samping rumah yang amat luas. Rasanya jaman dahulu tuh tidak mungkin jika tidak menggunakan tenaga pembantu untuk membereskan rumah itu. Belum cucian pakaiannya yang selalu menggunung karena berasal dari 5 orang anak (anggota tetap rumah, yaitu kami-kami ini) dan minimal 4 orang dewasa (selain ibu dan ayah, selalu ada saudara yang tinggal menumpang di rumah. Entah untuk keperluan sekolah, atau tugas dinas kantor atau belum menikah tapi bekerja di Jakarta. Kami adalah keluarga perantauan, dan ayah dianggap sesepuh dalam hal ini di kampung halamananya sehingga jika ada saudara dari Palembang atau Sumatra Selatan yang akan ke Jakarta, pasti tinggalnya di rumah).
Karena dari kecil selalu dilayani oleh pembantu rumah tangga (dibantu oleh saudara yang juga tinggal di rumah) maka aku tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Tidak terbiasanya tuh sampai ke level benar-benar tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Itu sebabnya ketika baru menikah dan suamiku belum berangkat tugas belajar ke luar negeri itu, suamiku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah dalam rangka mendidik aku istrinya. Mulai dari membereskan tempat tidur, mengebutnya dengan sapu lidi (dulu waktu awal nikah, aku cuek saja dengan apapun kondisi tempat tidur kami. Berantakan kek, rapi kek, dibiarkan begitu saja. Lalu suamiku yang mengajakku membereskannya; awalnya mengajari caranya seterusnya menegur jika aku lupa. Akhirnya aku jadi otomatis merapikannya (dengan catatan: kalau aku ingat...).
Sampai urusan mencuci pakaian dan menyeterikanya pun dikerjakan oleh suamiku sebelum dia berangkat bekerja atau ketika ada di akhir pekan. Termasuk juga cuci piring malah. Dulu aku paling jijik jika disuruh cuci piring oleh suamiku. Jadi, jika dia membujuk aku untuk cuci piring sisa makan dan memasak kami, aku selalu mengerjakannya sambil berlinang air mata. hahahha.... Waktu itu sebellll banget. Hingga muncul sebuah ide cemerlang.
"Mas... kenapa sih kita nggak makan pake daun saja. Jadi setelah makan, tinggal buang."
"Hush. Memangnya kita sedang tinggal di hutan."
"Ade sebel kalau harus cuci piring tiap hari."
"Ya gimana? Kalau tidak dicuci nanti bertumpuk terus... lagian, kalau tidak dicuci nanti piringnya habis terus kita makan pake apa? Makan pake daun nggak bisa pake kuah. Iya kan?"
Suamiku sabarrrrrr sekali orangnya. Dia tidak marah karena aku selalu menolak mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang buatku benar-benar baru itu (kebanyakan sih karena alasan tidak bisa mengerjakannya alias gak tau caranya). Tapi parahnya, dia juga selalu menolak keras proposal yang aku ajukan agar kami mencari tenaga pembantu rumah tangga untuk membantuku.
"De... rumah kita tuh isinya cuma kita berdua. Perabotan juga nggak banyak. Rumahnya juga mungil. Apa yang mau dikerjakan oleh dia coba, padahal gaji terus dikasih? Nggak ah. Kita bisa kok mengerjakan sendiri."
Iya juga sih. Sebelum menikah, aku memang mengajukan syarat bahwa aku akan menikah jika dia sudah punya rumah milik sendiri. Aku tidak mau jika hanya rumah kontrakan saja. Karena, dari pengalaman yang aku lihat pada orang-orang, sering mereka yang tinggal di rumah kontrakan pada akhirnya tidak pernah sempat untuk menabung untuk membeli rumah sendiri. Akibatnya, seumur hidup harus tinggal di rumah kontrakan. Padahal, di keluargaku, rumah dan tanah itu adalah investasi. Jadi, punya rumah sendiri itu termasuk investasi yang harus dimiliki. Meski kecil yang penting sudah rumah sendiri. Jadi, setelah menikah, suamiku memboyongku tinggal di rumah tipe 45 di pinggir kota Jakarta. Mungil dan sederhana. Dan seperti pengantin baru lainnya, barang-barang yang kami miliki baru televisi, mini HIFI, lemari, seperangkat meja makan dan seperangkat tempat tidur. Sudah. Tidak ada lemari pajangan, tidak ada pajangan, karpet atau apa saja. Memang benar apa yang dikatakan suamiku. Jika kami memiliki pembantu saat itu, dia juga bingung kali mau mengerjakan apa di rumah yang isi rumahnya saja cuma sedikit banget. Paling ujung-ujungnya dia keluar rumah setelah membereskan tempat tidur (yang cuma ada satu itu) lalu ngerumpi dengan tetangga. hahahahha... gabut berat.
Bukan tanpa usaha akalku untuk memudahkan pekerjaan baruku membereskan rumah. Aku pernah, saking bencinya dengan pekerjaan cuci piring, akhirnya membuang semua piring-piring kotor di dapur ke tempat sampah. Lalu aku membeli piring yang baru; yang bentuknya sama persis, tapi lebih bersih. Tinggal disiram air sejenak untuk menghilangkan debu, lalu mengelapnya sampai kering. Lewat sebulan aku melakukan hal itu, duit sakuku pun habis. hahahahha.... dan sepertinya pemulung di luar sana sedang bergembira karena setiap hari menenukan piring-piring yang masih amat layak pakai di tempat sampah.
Setelah duitku habis, aku minta suamiku. Tapi suami belum gajian. Jadi, aku naik kereta api dan berangkat ke Jakarta (kesannya jauhhh banget ya rumahku itu. hahaha.. padahal sih cuma di pinggir Jakarta saja dan kereta api tuh transportasi paling cepat tanpa ngetem dan tanpa macet). Aku ke rumah orang tuaku. Ibu selalu memberikan salam tempel setiap kali kami bertemu. Cukup untuk membeli piring baru. Tapi, duit itu seminggu langsung habis. Lalu aku kembali ke rumah orang tua lagi, dan ibuku kembali memberiku uang. Tapi kali ini di depan ayahku. Melihat adegan aku menerima uang saku dari ibu, ayah langsung menegur ibu dan aku.
"Jangan memberi dia uang lagi." kata ayah.
"Buat jajan saja kok. Sedikit." Ibu membela diri.
"Nggak. Dengar kataku, jangan memberi dia uang, kecuali jika dia memang memintanya dengan sebuah alasan. Anakmu itu sudah menikah, sudah punya suami, jadi kita tidak boleh lagi ikut urusan rumah tangga mereka."
"Ai kolot nian. Aku cuma ngasi uang jajan saja, bukan ingin mencampuri urusan rumah tangga anak-anak."
"Memberi uang jajan pada anak yang sudah menikah itu termasuk mencampuri urusan rumah tangga anak-anak. Mulai sekarang, semuanya harus sepengetahuan suaminya. Kalau dibelakang suaminya kamu memberi dia uang jajan, itu berarti kamu mengajarkan anak untuk diam-diam menerima pemberian dari orang lain tanpa sepengetahuan suaminya."
Lalu dengan sekali renggut, ayah mengambil uang yang sudah terkepal di dalam genggaman tanganku. Duhhhh.... hilang sudah uang untuk membeli piring baruku. hiks.
Ibuku marah ditegur demikian, di depan aku lagi anaknya. Jadi, ibu marah-marah lalu masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. Ayah tidak menggubrisnya. Sebaliknya, dia mendekatiku.
"De, mulai sekarang, ayah melarang kamu untuk menerima hadiah apapun, termasuk uang, tanpa sepengetahuan dari suamimu. Ingat ya nak, setelah menikah, suami itu adalah orang pertama yang harus kamu patuhi. Bahkan kamu harus lebih patuh ke dia ketimbang pada ayah dan ibu. Jika suamimu sekarang hanya bisa memberimu uang gajinya saja, maka kamu harus terima dan belajarlah untuk menghemat. Jika suamimu memberimu uang tambahan di luar gaji dan mengajak untuk bersenang-senang, nikmati. Tapi jika dengan uang tambahan itu dia punya pemikiran lain, ikhlaskan selama itu untuk kebaikan. Tapi jangan pernah menerima uang dari siapapun, siapapun, termasuk dari ayah dan ibu tanpa sepengetahuan dari suamimu. NGERTI?"
"Ngerti ayah."
"Dan selain bermufakat diam-diam di belakang punggung suamimu, kamu juga tidak boleh berbohong padanya."
Aku menangis waktu itu. Kebayang lagi harus cuci piring jika tidak bisa membeli piring baru. hahahha.... Akhirnya, dengan sisa uang yang aku miliki, aku naik kereta api dan turun di stasiun Pasar Minggu. Disanalah aku menemukan pring plastik. Harganya jauhhhh lebih murah daripada piring beling. Dijual perkodi dengan harga yang amat murah. Wah. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sejak itu, kami menggunakan pirng plastik untuk makan. Setelah makan dibuang. Horeeee.
Sampai akhirnya, suamiku mulai curiga.
"De... piring-piring kita kenapa sekarang plastik semua ya?" (duh.. kenapa dia tiba-tiba bertanya sih? Biasanya gak pernah ada pertanyaan. Aku mengalami dilema. Mau berbohong, kata ayah tidak boleh berbohong. Kalau jujur, takutnya nanti kena marah. Tapi... aku adalah anak yang selalu menuruti perkataan ayahku. Jadi, aku jujur berkata padanya.)
"Mas... ade malas kalau harus cuci piring terus. Ade jijik. Jadi, sejak sebulan lalu, ade buang piring. Lalu..... bla..bla..bla..." (mulutku terus bercerita dengan jujur, sejujur-jujurnya. Karena kejujuran pertamaku ini, sampai sekarang aku sulit sekali berbohong di depan suamiku).
Suamiku yang sabarnya luar biasa itu (semoga Allah senantiasa memberinya keberkahan) sama sekali tidak marah. Dia kaget, dan mungkin shock juga, tapi sama sekali tidak marah. Dia mau mengerti dan berkata bahwa dia akan membantuku tapi tetap saja aku harus mengerjakannya.
"Kalau kamu nggak pernah mengerjakannya, nanti kamu gak pernah tahu bagaimana cara mengerjakannya."
Sejak itu, jika selesai makan, maka suamiku menyisihkan semua kotoran di piring kotor, membuangnya ke tempat sampah, dan piring yang sudah tidak ada kotorannya lagi itu ditaruh di tempat cuci piring. Aku tetap dimintanya untuk mencucinya. Tapi kali ini dia menemani dengan berdiri di sampingku dan bercerita tentang apa saja. Sehingga aku tidak punya kesempatan untuk bersedih atau merasa sedang dikerjain, atau merasa sendirian lalu punya pikiran sedang melakukan pekerjaan yang menjijikkan.
Lama-lama, yang semula cemberut mencuci piring dan cuma terdiam sambil mendengarkan dia berbicara apa saja, aku mulai tergelitik untuk ikut menimpali semua pembicaraannya. Lalu, perlahan mulai melakukan pekerjaan cuci piring sambil ngobrol hingga tidak terasa semua piring sudah bersih dicuci. Setelah semua pekerjaan dapur beres, sambil ngobrol seru kami kembali ke dalam kamar dan melakukan pekerjaan lazimnya sepasang pengantin baru. #eh? :P
Satu bulan yang lalu, yaitu bulan JUni 2014, ketika sedang membicarakan pengalaman sebuah keluarga baru dan mertua mereka, suamiku memberi sebuah komentar yang buatku surprise sekali. Karena selama ini aku tidak pernah mendengar dia mengatakan seperti itu.
"Kalau aku sih, aku lebih suka dengan sistem ayah kamu. Dia tidak pernah mencampuri urusan rumah tangga anaknya; dan memberi kesempatan pada anak untuk mandiri."
"Tapi mas, mertuanya dia kan tidak mau jika dia sampai terpuruk gitu."
"Sekali lagi, aku lebih setuju dengan cara ayahmu terhadap rumah tangga anak-anaknya. Ayahmu memang kayaknya cuek, tapi sebenarnya dia mengajarkan anaknya bahwa hidup ada kalanya di bawah, tidak selalu di atas, tapi justru dengan itu anaknya jadi belajar." (sambil melirikku manis sekali. Uhuk.... uhuk).
Pindah Rumah (3) : Persiapkan Rumah Baru
Selasa, 01 Juli 2014
[Lifestyle] Sebagian barang sudah dipindahkan ke rumah baru? Nah... apakah kita siap pindah ke rumah baru sekarang? Nanti dulu. Ada beberapa hal yang harus disiapkan sebelum kita benar-benar pindah ke rumah baru meski sebagian barang sudah dipindahkan.
Pindah Rumah (2) : Angkut Barang
[Lifestyle] Ini bagian kedua dari serial tulisan tentang Pindah Rumah. Sebelumnya, kita sudah melakukan persiapan kan. Berarti sekarang tinggal angkut-angkut barangnya.
Kebetulan, karena saya piindah rumahnya dekat saja, maka saya sepertinya tidak memerlukan jasa "pindah rumah". Kakak saya, kebetulan pindah rumahnya agak jauh jadi dia menyewa sebuah mobil.
Harga mobil bak terbuka sewaan biasanya berkisar antara Rp100.000/sekali jalan bolak balik. Itu sudah termasuk jasa untuk supirnya. Nah, jika ada tenaga angkut barang yang dibawa supir, masing-masing bisa diberi lagi jasa angkut barangnya antara Rp30.000 s.d 75.000 (tergantung berat apa nggak barang yang diangkutnya).
Kebetulan, karena saya piindah rumahnya dekat saja, maka saya sepertinya tidak memerlukan jasa "pindah rumah". Kakak saya, kebetulan pindah rumahnya agak jauh jadi dia menyewa sebuah mobil.
Harga mobil bak terbuka sewaan biasanya berkisar antara Rp100.000/sekali jalan bolak balik. Itu sudah termasuk jasa untuk supirnya. Nah, jika ada tenaga angkut barang yang dibawa supir, masing-masing bisa diberi lagi jasa angkut barangnya antara Rp30.000 s.d 75.000 (tergantung berat apa nggak barang yang diangkutnya).
Langganan:
Komentar (Atom)










