PILIHAN ANAK VS PILIHAN ORTU (catatan hari anak 23 Juli 2014)

Ketika aku dikaruniai anak perempuan pertama kali, untuk urusan pasang anting2 itu ada diskusinya. Satu sisi ada saran bahwa tubuh anak adalah hak mutlak anak itu sendiri. Orang tua jangan mengotorinya meski dalam bentuk tindikan anting di telinga mereka.

Sisi lain ada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua pada anak2 mereka yang masih kecil itu sebenarnya adalah sebuah pondasi yang akan dibawa oleh anak tersebut. Bahkan meski itu berupa tindikan anting di telinga.

"Jika sudah besar, biarlah dia yang memutuskan apakah akan ditindik atau tidak."

"Tidak. Justru ketika kecil kita tindik agar ketika mereka dewasa mereka tidak lagi merasakan sakitnya ditindik. Jika mereka memilih untuk memakai anting mereka tinggal pakai, sudah ada lubangnya. Tapi jika mereka tidak ingin tinggal dibiarkan saja lubang itu. Nanti juga akan merapat perlahan."

Hari ini, tepat di hari anak 23 Juli (2014), anting yang dikenakan Hawna sejak bayi merah lepas karena perkembangan telinganya yang ukurannya sudah jauh berbeda dengan ukuran telinga bayi dulu. Pilihan itu pun ditanyakan padanya.

"Mau dilepas dan gak usah pakai lagi atau mau dilepas lalu cari yang baru yang muat?" Hawna berpikir. Dan aku tidak pernah memaksaknya pada sebuah kecenderungan pilihan. Karena aku tahu, pada titik ini anakku adalah manusia yang merdeka yang punya pilihan sendiri. Aku percaya. Pondasi yang telah kutanam dahulu akan berkontribusi pada apapun pilihan yang dia ambil. Anak. Mereka anak kita tapi bukan milik kita. Mereka hanya amanah yang dititipkan pada kita di dunia ini.

Selamat hari anak 23 Juli.

JANGAN PANGGIL DIA BODOH (catatan hari anak 23 Juli 2014)

Apa yang membekas dalam benak semua orang tentang gambaran siapa dirinya? Salah satunya adalah julukan yang diberikan oleh orang tuanya kepada dirinya, baik yang terlontar tanpa sengaja, apalagi yang sengaja.

Mulutmu adalah harimaumu.

Ingatlah. Anak-anak itu adalah serupa dengan kertas putih yang bersih. Kitalah yang mewarnai mereka dengan perlakuan kita terhadap mereka. Sehingga jika suatu hari nanti ketika mereka sudah besar tiba-tiba mereka tidak sesuai harapan kita, mungkin sebaiknya kita merenung.... jangan-jangan kitalah yang sudah ikut andil menyebabkan mereka seperti itu.

naudzubillah min dzaliik.
Semoga kita semua selalu menjadi golongan orang tua yang tidak menjerumuskan anak-anak kita ke dalam kesesatan dan kesusahan.


BANGKITLAH, NAK (catatan hari anak 23 juli 2014)




[Parenting] Ada satu peristiwa yang amat kuingat ketika baru punya anak satu dan hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara, jauh di kota Sydney Australia dulu, 19 tahun yang lalu. Yaitu ketika anak pertamaku terjatuh berdebam di atas aspal jalanan yang keras ketika dia sedang baru belajar berjalan.

Kejadiannya amat cepat. Secepat hembusan angin yang begitu saja menerbangkan daun yang sedang diam termangu di atas aspal. Spontan aku ingin berlari menangkapnya, memeluk dan menghibur anakku agar tidak menangis atas rasa sakit yang tiba-tiba datang menimpanya. Saat itulah seorang nenek2 tua memegang pergelangan tanganku. Bule asli Australia yang tetap memiliki semangat di wajahnya dan juga kebijakan.

"Mam... tenang. Beri kesempatan anakmu untuk bangun sendiri dari jatuhnya. Ini pelajaran pertama dalam hidup anakmu bahwa jatuh itu sakitnya tidak main-main."

"Tapi dia masuh begitu kecil. Kasihan. Bagaimana jika dia menangis? Bagaimana jika dia mendapat luka yang parah?"

"Lalu kenapa? Percaya padaku. Dia akan belajar dari jatuhnya itu. Tugasmu adalah mengawasinya dan memberi nasehat nanti agar dia tidak jatuh kedua kalinya."

Akhirnya aku menguatkan hati untuk sama sekali tidak memberikan pertolongan pada jatuhnya anakku tersebut meski dalam hati ingin menangis rasanya. Dan ajaib. Anakku yang sudah siap-siap menangis mengurungkan tangisannya. Di kiri kanannya tidak ada seorang pun yang bergerak ingin membantunya. Termasuk ibunya yang hanya bisa tersenyum memberi semangat. Anakku akhirnya bangkit sendiri.

Tidak menangis.

Tidak mengaduh. Dan ketika dia berjalan lagi menghampiriku dia menghindari lantai yang telah membuatnya terjatuh.

"Thank you Granny."

Nenek2 tua bule itu hanya tersenyum.

"Jangan lupa beri apresiasi positif untuk keberhasilan anakmu, nak. Tapi jangan berlebihan. Karena nanti anakmu jadi belajar bahwa kesalahan bisa membawa peruntungan."

"I will... " (insya Allah I will) Selamat hari anak 23 Juli 2014


Menuju Rumah Impian (1) : bongkar rumah

[Lifestyle] Aku dan suamiku mengunjungi rumah kami yang sedang direnovasi. Pingin lihat sudah seperti apa perubahannya.

Ternyata sudah lumayan banyak perubahannya. Dan mulai terlihat juga bahwa struktur rumah lama sudah banyak yang rusak. Bersyukur Allah masih melindungi kami sekeluarga sehingga rumah itu tidak roboh ketika kami masih menempati rumah itu dulu. Memang sih, di setahun terakhir kondisinya mulai parah memang. Setiap kali musim hujan tiba pasti listrik di rumah lama itu, yang displit jadi dua bagian, akan mati separuh rumah. Separuh rumah itu berarti bagian kamar utama, kamar putra sulungku, ruang tamu, teras depan. Itu sebabnya jika malam tiba bagian depan rumahku akan gelap sekali sepanjang musim hujan atau ketika musim hujan sudah berlalu tapi hujan turun dengan deras.

Jalan-Jalan Ke Museum Nasional (1)

 [Keluarga] Bulan lalu, alhamdulillah tulisanku yang diikut sertakan di lomba museum nasional terpilih sebagai salah satu tulisan paforit pilihan juri. Hadiahnya lumayan. Nah, karena kebetulan bulan lalu putri-putriku libur sekolahnya jadi aku ajak mereka ke museum nasional. Sayangnya, museumnya tutup jika hari senin ternyata. hahahaha.. dodol, kenapa gak merhatiin jadwal kunjungan dulu ya.

Bahagia itu Sederhana

Bahagia itu sederhana saja.

Tidak perlu memiliki harta untuk membuat hati merasa bahagia. Aku belajar hal ini dari putri bungsuku. Dia tidak pernah menuntut sesuatu yang tidak terjangkau kemampuan orang tuanya. Pun tidak pernah marah jika suatu hari menghadapi kenyataan bahwa keinginannya tidak terpenuhi. Yang dia inginkan hanya satu: dekat dan merasa nyamana dengan kedua orangtuanya.

Itu sebabnya, setiap kali bepergian, dia tidak pernah menuntut minta dibelikan sesuatu. Cukup selama di perjalanan itu, aku menggenggam tangannya dengan lembut dan mengajaknya berbincang-bincang.

Di rumah, dia tidak pernah menuntut makanan yang terhidang harus yang enak apalagi mewah. Cukup dia dilibatkan dalam proses pembuatan dan apapun hasilnya ada apresiasi positif untuk jerih payahnya tersebut.

Dan ketika PEMILU (pemilihan umum) dan PILPRES diadakan, meski dia belum masuk umurnya untuk bisa punya hak untuk mencoblos tapi dengan ikut masuk ke dalam bilik lalu melihat proses pencoblosan dan berakhir dengan kesempatan bisa merasakan ujung jarinya dicelup dan diwarnai tinta pemilu dia sudah bahagia luar biasa. 

Ah. Bahagia itu sederhana kok.




Masak Apa: Sapo Tahu

Bingung masak apa buat sahur? Aku termasuk orang yang lebih suka masakan yang mudah dan tidak terlalu rumit bikinnya. Dan utama, karena di rumah orang-orangnya tidak suka cabe alias ogah pedas, serta menghindari santan jadi kecenderunganku masak adalah sesuatu yang serba tumis atau rebus.
Kali ini, mau berbagi resep masakan SAPO TAHU.

Ayah dan Aku

[Keluarga] ini arsip dari status facebookku tanggal 15 Juli 2014

foto diambil dari akun facebook John Tesh https://www.facebook.com/JohnTesh



Kalau hal ini ditanyakan padaku, maka jawabanku sudah pasti satu orang: AYAHKU.

Sampai sekarang, aku tetap merindukan beliau meski dia sudah meninggal dunia tahun 2009 lalu.
Waktu piala dunia bertanding, aku pasti akan mendengar celotehnya yang berharap team Belanda kalah (hahaha, maaf ya buat penggemar team Belanda). Sejak dulu ayah tidak pernah mau membela team Belanda bahkan meski mereka hebat di lapangan. Alasannya sederhana: karena Belanda pernah menjajah kita. Xixixi.

Lalu ketika pemilu dan pilpres kemarin, pasti ayah akan mengajakku diskusi tentang perkembangan politik terkini. Aku dan ayah kadang berbeda pandangan tapj kami selalu berdiskusi tanpa menyakiti atau menyerang pihak yang berbeda dengan pilihan kami. Hanya saja, ayah tidak suka jika aku menyatakan keberpihakanku tapi aku tidak tahu alasannya. Harus ada alasan yang bisa dipertanggung jawabkan untuk semua pilihan keberpihakan kita.

Satu jam pasti tidak akan cukup.
Semasa hidupnya, meski sudah dilarang ibu yang takut ayah sakit, ayah tetap setia mengunjungiku setiap pagi. Ketukan tangannya di pintu rumahku sudah menjadi kerutinan.
Datang.. lalu baca koran. Setelah itu kami akan ngobrol membedah isi berita terkini yang dia baca dari koran yang dibacanya.

Rutinitas ini yang membuatku bahkan hingga 2 tahun setelah kematian beliau, tetap menunggu di ruang tamu yang sepi dan koran hari ini di tangan. Berharap ayah datang mengetuk pintu seperti dulu.

PEKAN LALU... aku akhirnya bermimpi bertemu ayahku.
Kami berbincang akrab di atas buritan sebuah kapal laut yang sedang bergerak membelah laut. Hingga tiba di sebuah dermaga, ayah memaksaku untuk turun dan kembali berkumpul dengan suami dan anak2ku.
Aku menolak. Aku ingin pergi bersamanya. Rinduku belum tuntas. Tapi ayah menepis keinginanku.

"Belum saatnya, ade. Belum saatnya."

Lalu dihantarnya aku kembali ke tepi dermaga menyambut suamiku dan anak2 yang menunggu.
Sedih.
Harus berpisah lagi.
Harus kangen lagi.

Lihat foto ini aku jadi ingat hamparan laut yang kami pandangi di atas buritan kapal di mimpi itu. Indah sekali pemandangannya kala itu.
Langit yang biru cerah.
Perairan yang biru kehijauan.
Angin yang berhembus lembut.
Dan ayah yang membiarkan kepalaku bersandar di atas pundaknya.