[Lifestyle] Hayoo ngaku siapa yang masih bingung mau milih siapa tanggal 9 April 2014 nanti? Tulisanku ini tidak iklan atau kampanye atau review titipan dari partai manapun nih. Aku menulis karena aku merasa pingin menulis sesuatu jelang Pemilu 2014 ini.
Nah, kali ini aku mau ngasih tahu biar kalian tidak bingung menentukan siapa yang harus dicoblos tanggal 9 April 2014 nanti.
Ingat ya, yang kita pilih tanggal 9 April itu adalah calon Anggota DPR, DPRD dan DPD. Mereka yang akan jadi wakil kita ceritanya untuk duduk di gedung MPR/DPR sana. Dan konon, akan membawa suara aspirasi kita (tentu saja suara yang ditampung lewat suara Partai yang mereka wakili ya).
Perempuan Emas bernama Srikandi Merah Putih
Senin, 24 Maret 2014
[Lifestyle] Pernah gak suatu hari kalian membenci sesuatu dan
mengajukuan protes? Aku pernah.
Pernah gak suatu hari kalian membenci sesuatu dan
ingin menjauhinya saja sejauh mungkin? Aku pernah.
Aku pernah membenci orang-orang
Indonesia. Persoalannya sepele saja, karena aku rajin mengikuti berita di media
cetak dan televisi yang terus-menerus mengangkat sisi negatif dari rakyat di
negara kita ini. Bapak yang memperkosa anak kandungnya sendiri, ustad yang
mencabuli anak didiknya, ibu yang membunuh anak kandungnya, nenek-nenek yang
sudah tua diperkosa secara brutal oleh gerombolan pemuda pengangguran, penipuan
disana sini, kejahatan disana sini, pertengkaran dimana-mana, perkelahian yang
terjadi di banyak tempat, perseteruan yang menjadi hal yang amat biasa terjadi,
WUAAA.... semua bertumpuk,
menggumpal dan akhirnya:
Tidak Berguna Yang Berguna: Teman
Minggu, 23 Maret 2014
Manusia itu makhluk sosial kata Aristoteles. Artinya, dia tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Bahkan meski untuk sesuatu hal yang tidak berarti sekalipun, tetap saja keberadaan orang lain di sisinya dibutuhkan. Itu sebabnya jika ada orang yang menyendiri, lalu menolak kehadiran orang lain di dekatnya, dan benar-benar menolak keterlibatan siapapun di sisinya, bisa dikatakan bahwa orang tersebut sedang mengalami kondisi "tidak sehat" jiwanya.
Lalu dia kembali mengirimiku sms dengan berbagai keluhan, curhat, kekesalan, kekecewaan dan balasan smsku padanya tidak banyak kata. Tapi kali ini ada tambahannya, yaitu aku menambahkan icon senyum di ujungnya.
Dan ini sms balasan dia yang terakhir:
hehehehe.... Bantuanku bagi dia pasti tidak berguna dan tidak membantu apa-apa. Tapi, kehadiranku sebagai teman untuknyalah yang berguna.
Namanya juga makhluk sosial.
Iya gak?
Karena kebutuhan akan kehadiran orang lainlah maka sebuah pertemanan pun dijalin dengan berbagai macam niat dan alasan.
Kehadiran seorang teman itu lebih berarti bahkan ketimbang harta yang berlimpah. Bersama teman, kita sebagai manusia bisa membagi beban hidup yang berupa beban pikiran.
Kehadiran disini, tidak mesti harus berupa wujud harus dalam sebuah pertemuan fisik bahkan (meski kehadiran fisik tentu selalu memberi nilai tambah yang positif). Dan ini adalah ceritaku tentang seorang teman yang hanya bisa aku jumpai dalam untaian sms ketika kami berkomunikasi karena ada jarak tempat yang memisahkan kami yang cukup jauh (sebelumnya, ini aku tulis jadi status facebook).
Seorang teman beberapa minggu lalu selalu mengirimiku sms yang berisi curhat kekesalannya karena kondisi kehidupannya yang memprihatinkan. SMS-nya panjang kali lebar kali tinggu hingga berubah menjadi volume yang amat besar. Banyak. Dan aku hanya membalasnya dengan satu kata saja: bersabarlah.
- Anakku sakit. Tapi aku tidak punya uang sepeserpun.
- Astaga. Uang di dompetku hanya cukup untuk membeli beras dan sepotong ikan saja hari ini, tapi di tengah jalan tadi ada orang yang merampokku dan memaksaku untuk menyerahkan uang tersebut. Padahal anakku masih sakit dan belum makan dari pagi. Aku ingin menangis saja rasanya kak. Teganya orang tersebut.
- Duh, hari ini ternyata ada bazar murah hingga tidak ada seorang pun pembeli yang mampir untuk membeli daganganku.
Lalu temanku itu terus mengirimiku sms dan sms dan sms yang isinya kurang lebih sama, keluhan dan kekesalan dan kekecewaan. Dan balasan smsku selalu sama, hanya satu kata : bersabarlah.Akhirnya, dia berhenti mengirimiku sms.
Hidup memang berisi persoalan dan persoalan yang tiada pernah berkeputusan. Ketika sebuah persoalan hidup yang satu selesai, maka muncul persoalan hidup yang lain. Pada beberapa orang, kemunculan persoalan hidup yang tidak berkesudahan itu tentu saja membuat hidupnya menjadi begitu sibuk. Dan pada akhirnya, membuat lelah. Aku tahu pasti, temanku itu pasti merasa lelah dengan persoalan hidupnya yang terasa tidak ada akhirnya. Dan aku tahu dia pasti kesal dengan nasehatku yang selalu sama. Tapi... memang itulah pilihan jawaban atas semua persoalan hidup yang dia hadapi saat ini menurutku.
Sabar itu, memang hanya sebuah kata. Tapi makna yang terkandung di dalamnya amat berat untuk diterapkan. Padahal, jika saja sabar itu sukses di terapkan, maka yang lahir kemudian di dalam hati seseorang adalah perasaan IKHLAS. Ikhlas menerima persoalan hidup yang datang menerpa sebagai bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Ikhlaslah yang kelak akan melahirkan sebuah rasa bahwa di balik semua kesulitan selalu diiringi dengan kemudahan. Tidak pernah dan tidak akan pernah Allah SWT memberikan sebuah kesulitan pada makhluk ciptaan_Nya tanpa bekal kemudahan di balik kesulitan tersebut. Dan .... aku percaya bahwa temanku tersebut sedang dituntun untuk mendapatkan kemudahan untuk mengatasi persoalan hidupnya.
dan tiga malam lalu, (akhirnya) dia kembali menulis sms kepadaku:
"jujur nih, aku sebenarnya kesal karena balasan smsku selalu kakak balas dengan satu kata saja. Kenapa sih kakak tidak memberi balasan yang panjang? Kakak bosan ya dengan keluhanku? kakak tuh.... " (kembali mengomel dan marah2 dan curhat keluhan yang panjang).
Akhirnya, aku pun membalas semua smsnya tidak dengan satu kata lagi:
"Tidak. kakak tidak kesal. Hanya saja, jika kamu mengeluh dan kakak tanggapi, nanti kamu jadi senang hati dengan keluhanmu itu. Dan karena senang lalu keluhanmu akan semakin berkobar melebar. Pada akhirnya, karena mendapat dukungan, kakak takut kamu jadi menyalahkan Tuhan."
Lalu dia membalas: "Itu sebabnya aku benci kakak." Aku diamkan saja smsnya. Tidak membalas apa2. Dia berhenti mengirimiku sms.
Sepi.
Handphoneku tidak lagi bergetar oleh notif dari dia.
Dan aku pun tidak berusaha untuk menghubunginya.
Aku percaya pada apapun keputusan yang akan diambil oleh temanku itu. Jika dia merasa berteman dengan ku tidak membawa manfaat, maka aku tidak akan memaksanya untuk terus berteman denganku. Jika dia merasa bahwa kehadiranku mengganggunya, maka aku akan memaafkannya. Dan jika dia memutuskan untuk tidak akan menghubungiku lagi dengan sms-sms-nya.
well.
Apa boleh buat. Aku hanya bisa mendoakan agar dia baik-baik saja.
Tapi semalam dia kembali mengirimiku sms: "Aku benci kakak. Tapi aku kangen pingin curhat lagi sama kakak. Masih boleh kan kak aku curhat dan marah2 gaje ke kakak? Aku benci kakak, tapi setelah lama tidak menyapa kakak, aku jadi tahu bahwa aku sayang banget sama kakak. Aku sayang kakak karena Allah. Maafin aku ya kak."Akhirnya, aku jadi senyum sendiri dan tanpa terasa.. jadi terharu sendiri.
Lalu dia kembali mengirimiku sms dengan berbagai keluhan, curhat, kekesalan, kekecewaan dan balasan smsku padanya tidak banyak kata. Tapi kali ini ada tambahannya, yaitu aku menambahkan icon senyum di ujungnya.
Dan ini sms balasan dia yang terakhir:
bebn pikrn ku sdkt berkrng jk mencertkn nya dg kakak trmks kakak membc sms dn membc keluh kesah ku,walau smua mashh tak berkurng tp k lega aja
hehehehe.... Bantuanku bagi dia pasti tidak berguna dan tidak membantu apa-apa. Tapi, kehadiranku sebagai teman untuknyalah yang berguna.
Namanya juga makhluk sosial.
Iya gak?
![]() |
| gambar diambil dari sini |
Masa Kecil yang Bahagia
Sabtu, 22 Maret 2014
Masa kecil itu.... selalu luar biasa ya. Aku alhamdulillah memiliki masa kecil yang bahagia. Berbagai macam permainan sudah pernah aku coba, meski semua permainan sederhana. Bukan permainan yang mahal-mahal seperti yang dimiliki oleh anak-anak keluarga berada di perkotaan (penekanannya perkotaan karena aku memang lahir dan besar di kota Jakarta).
Orang tuaku dulu memang memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk bermain dengan siapa saja dan dengan apa saja (bahkan). Pada prinsipnya, ada sebuah nasehat yang ayah sering utarakan padaku ketika aku masih kecil dahulu, "boleh main apa saja, dengan siapa saja, asal jangan sampai merugikan dirimu dan merugikan keluargamu. Titik." Karena pengalaman bermain yang luas tersebut maka alhamdulillah aku merasa sudah melalui masa kecil yang bahagia.
Sekarang, aku sudah ibu-ibu. Dan anak-anakku ada yang masih kecil, ada yang remaja dan ada yang sudah besar. Tentu saja aku ingin mereka pun bisa melalui masa kecil yang bahagia. Itu sebabnya kemarin ketika menjemput putri bungsuku pulang dari sekolahnya, di anak tangga sekolah, putriku tampak sedang berkutat dengan sesuatu di tangannya. Teman-temannya sedang mengerubungi dia.
"Mamanya Hawna.. mamanya Hawna... lihat deh, Hawna masa gak bisa niup balon tiup."
Aku pun melirik ke arah Hawna. Dia tampak sedang berusaha untuk melilitkan cairan alot seperti jelly dari tube kecil agar bisa melilit di pucuk sedotannya. Lalu dia mulai meniup ujung yang tidak ada jellynya. Pipinya gembung. Wajahnya memerah. Tapi tidak ada balon yang keluar.
Seorang temanku, sesama ibu-ibu segera menegurku.
"Ish.. anakmu itu loh. Main gak karuan seperti itu. Itu ngapain coba buang-buang uang beli kayak gituan. Habis ditiup juga nanti dibuang. Aku sudah marahi anakku. Sana.. marahi anakmu juga."
Aku pun mendekati putri bungsuku ini. Dan diam memperhatikan kesibukannya.
"Bisa nggak nak?"
Putriku akhirnya berhenti meniupnya. Dan menatapku dengan wajah memelas.
"Susahhh.. nggak bisa aku niupnya."
Aku memang tidak ingin memarahi anakku. Meski apa yang dia beli dengan uangnya ini adalah sebuah benda yang sia-sia dan jika dipikir-pikir membuang-buang uang, tapi.... ini memang bagian dari masa kecil dia. Dia berhak mencoba berbagai macam permainan. Dan sejauh itu tidak membahayakan nyawanya, aku lebih permisif. Itu sebabnya alih-alih menuruti saran temanku, aku pun meletakkan tas belanjaan di atas lantai dan membantu Hawna memahami seni melilit jelly di ujung sedotan agar jelly itu bisa mengembang dan mengggelembung seperti balon ketika ditiup.
Akhirnya... wajah serius Hawna pun berubah menjadi wajah yang ceria dan bahagia ketika dia berhasil membuat sebuah balon. Tentu saja setelah mengorbankan sebuah sedotan kecil... (hahaha, karena dia selalu menggigit ujung sedotan sehingga ujung sedotan itu pecah.
Gak papah deh. Yang penting Happy ending.
Semoga ini semua kelak menjadi kenang-kenangan masa kecil yang bahagia buat Hawna.
Orang tuaku dulu memang memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk bermain dengan siapa saja dan dengan apa saja (bahkan). Pada prinsipnya, ada sebuah nasehat yang ayah sering utarakan padaku ketika aku masih kecil dahulu, "boleh main apa saja, dengan siapa saja, asal jangan sampai merugikan dirimu dan merugikan keluargamu. Titik." Karena pengalaman bermain yang luas tersebut maka alhamdulillah aku merasa sudah melalui masa kecil yang bahagia.
Sekarang, aku sudah ibu-ibu. Dan anak-anakku ada yang masih kecil, ada yang remaja dan ada yang sudah besar. Tentu saja aku ingin mereka pun bisa melalui masa kecil yang bahagia. Itu sebabnya kemarin ketika menjemput putri bungsuku pulang dari sekolahnya, di anak tangga sekolah, putriku tampak sedang berkutat dengan sesuatu di tangannya. Teman-temannya sedang mengerubungi dia.
"Mamanya Hawna.. mamanya Hawna... lihat deh, Hawna masa gak bisa niup balon tiup."
Aku pun melirik ke arah Hawna. Dia tampak sedang berusaha untuk melilitkan cairan alot seperti jelly dari tube kecil agar bisa melilit di pucuk sedotannya. Lalu dia mulai meniup ujung yang tidak ada jellynya. Pipinya gembung. Wajahnya memerah. Tapi tidak ada balon yang keluar.
![]() |
| Aku dulu menyebut ini "Kelembungan" tapi anak2 sekarang menyebutnya balon tiup. Gambar diambil dari sini |
"Ish.. anakmu itu loh. Main gak karuan seperti itu. Itu ngapain coba buang-buang uang beli kayak gituan. Habis ditiup juga nanti dibuang. Aku sudah marahi anakku. Sana.. marahi anakmu juga."
Aku pun mendekati putri bungsuku ini. Dan diam memperhatikan kesibukannya.
"Bisa nggak nak?"
Putriku akhirnya berhenti meniupnya. Dan menatapku dengan wajah memelas.
"Susahhh.. nggak bisa aku niupnya."
Aku memang tidak ingin memarahi anakku. Meski apa yang dia beli dengan uangnya ini adalah sebuah benda yang sia-sia dan jika dipikir-pikir membuang-buang uang, tapi.... ini memang bagian dari masa kecil dia. Dia berhak mencoba berbagai macam permainan. Dan sejauh itu tidak membahayakan nyawanya, aku lebih permisif. Itu sebabnya alih-alih menuruti saran temanku, aku pun meletakkan tas belanjaan di atas lantai dan membantu Hawna memahami seni melilit jelly di ujung sedotan agar jelly itu bisa mengembang dan mengggelembung seperti balon ketika ditiup.
Akhirnya... wajah serius Hawna pun berubah menjadi wajah yang ceria dan bahagia ketika dia berhasil membuat sebuah balon. Tentu saja setelah mengorbankan sebuah sedotan kecil... (hahaha, karena dia selalu menggigit ujung sedotan sehingga ujung sedotan itu pecah.
Gak papah deh. Yang penting Happy ending.
Semoga ini semua kelak menjadi kenang-kenangan masa kecil yang bahagia buat Hawna.
Dua Bola Mata
Jumat, 14 Maret 2014
Seorang saudaraku, menderita kebutaan sejak lahir.
Dia hafal Al Quran. Beberapa kali terpilih untuk mewakili MTQ bagi Tuna Netra untuk daerahnya.
Ketika masih kecil dahulu, aku sering main ke rumahnya dan tidur-tiduran di kamarnya yang selalu temaram. Tidak pernah ada lampu disana. Sehingga, kita yang bisa melihat harus hati-hati berjalan disana. Tapi, bagi saudaraku, dia hafal seluruh jengkal isi kamarnya dengan amat baik.
"Kenapa sih tidak dipasang lampu saja?"
"Untuk apa? Toh aku tidak bisa melihat. Sama saja bagiku, Ade."
Aku hanya bersungut-sungut. Bagi dia memang sama, tapi tidak bagiku. Bagiku kamarnya itu terlalu temaram dan aku bahkan kesulitan untuk menemukan ujung dipan tempat tidurnya sehingga tulang kering kakiku sering menabrak ujung dipan tempat tidurnya yang keras. Meski demikian, semangat dia untuk belajar dan bergaul tidak pernah ada bedanya denganku. Dia bisa berceloteh tentang apa saja. Juga hafal lagu-lagu banyak sekali. Dan spesialnya adalah:
Dia hafal Al Quran.
Sedangkan aku yang bisa melihat, masih terbata-bata membaca Al Quran-nya.
Itu sebabnya dia mengajar mengaji dan bahkan bisa melakukan bisnis kecil-kecilan yaitu berdagang.
"Oi, De. Aku memang buta, tapi badanku sehat; otakku masih bisa dipakai untuk berpikir. Dan semua yang ada di aku ini dalam kondisi sempurna. Di dunia ini tidak ada orang bodoh, yang ada hanya orang malas. Kau tuh malas."
Aku hanya bisa nyengir mendengar teguran (sindiran tajam) nya.
Di tempat lain, aku juga mengenal seseorang yang juga mengalami kebutaan, tidak dari lahir. Tapi, dia amat berbeda dengan saudaraku itu. Sepenuhnya dia merasa bahwa kebutaannya itu benar-benar sesuatu yang membuatnya tidak bisa melakukan banyak hal. Itu sebabnya dia hanya bisa duduk diam, hingga tiba-tiba dia sudah melakukan profesi sebagai peminta-minta yang duduk mengharapkan sumbangan dari orang-orang yang lewat. Hari-harinya dilalui dengan duduk bersila, punggung tegak, dan mulut terkunci rapat.
"Kasihani saya bu, saya buta. Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena kebutaan saya."
Saudara saya yang lain, yang juga mengalami kebutaan setelah dia dewasa, pandai memainkan Akordion. Gloukoma yang dideritanya ketika dia berusia 30 tahun, dan membuat kedua matanya tidak dapat melihat lagi, tidak membuatnya patah semangat. Sedih, itu pasti. Dia menghabiskan waktu satu tahun untuk menangisi nasibnya yang dirasakan malang tersebut. Bagaimana tidak sedih karena ketika dia buta, dia sibuk menangis dan lupa bahwa kehidupan terus berjalan meski dia bersedih. Suaminya tetap harus pergi ke ladang (saudaraku itu tinggal di dusun yang ada di tepi Sungai Musi); anak-anaknya terus tumbuh dengan berbagai macam keperluannya. Sementara kehidupan di dusun tidak terbiasa memiliki pembantu rumah tangga seperti halnya kehidupan di perkotaan. Akhirnya, atas kesepakatan seluruh keluarga, suaminya menikah lagi. Kesedihan saudara saya itu bertambah.
Tapi jangan pernah membayangkan kehidupan poligami yang penuh dengan intrik persaingan seperti halnya gambaran rumah tangga poligami yang digambarkan oleh banyak tulisan dan sinetron. Rumah tangga poligami yang dibangun oleh saudara saya itu aman tentram. Istri muda membantu keluarga suaminya dan sekaligus menghibur istri tua suaminya. Saudara saya yang buta tersebut dilatih untu menjadi mandiri. Bahkan anak pertama dari pasangan suami dan istri muda tersebut, sejak kecil dilatih untuk membantu saudara saya yang buta tersebut. Sehingga, ketika anak pertama tersebut berusia 5 tahun, anak tersebut sudah seperti anak sendiri. Melayani saudara saya yang buta ini, melatihnya, membantunya sekaligus menghiburnya (karena anak-anak memiliki hati malaikat yang mampu menghibur orang lain). Akhirnya, saudara saya tersebut bisa menjadi pribadi yang mengagumkan seperti sekarang. Dia hafal Al Quran dan selalu mengisi waktu luangnya dengan mujarobah (melantunkan hafalan Al Quran). Serta bermain musik. Dia pandai sekali memainkan akordion.
Lagu-lagu melayu tempo dulu dia hafal di luar kepala. Dia juga akhirnya bisa kembali menjadi ratu di rumahnya sendiri. Dengan ceria dia akan melayani semua tamu yang berkunjung ke rumahnya. Memasak, mengambil sesuatu, berjalan kesana kemari. Lincah. Anak tirinya bahkan dengan ikhlas melayani semua kebutuhan yang tidak bisa dia lakukan karna kebutaannya karena dia memang sudah tidak pernah lagi mengeluhkan kebutaannya dan tidak ingin membuat orang ikut gusar lagi dan susah hati karena kebutaannya. Itu sebabnya banyak orang yang akhirnya sayang padanya.
Waktu berjalan-jalan di Kuala Lumpur, Malaysia, aku sering sekali bertemu dengan rombongan Tuna Netra yang ceria dan bisa terus beraktifitas dalam berbagai profesi. Negara Malaysia memang memberikan fasilitas berlimpah berupa kemudahan bagi orang cacat yang ada di negaranya. Jadi, jangan heran jika di kampus, mall, perkantoran, taman, ada banyak orang cacat yang bisa beraktifitas normal dan berbaur dengan orang lainnya.
Hmm.
Cerita-cerita di atas, tiba-tiba saja jadi muncul di benakku setelah tanpa sengaja aku melihat video di bawah ini. Tonton deh. Sehabis menonton video ini, aku jadi bersyukur. Alhamdulillah aku dilahirkan dalam kondisi sempurna.
Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan kesempurnaan pada kita semua. Aamiin.
l
Dia hafal Al Quran. Beberapa kali terpilih untuk mewakili MTQ bagi Tuna Netra untuk daerahnya.
Ketika masih kecil dahulu, aku sering main ke rumahnya dan tidur-tiduran di kamarnya yang selalu temaram. Tidak pernah ada lampu disana. Sehingga, kita yang bisa melihat harus hati-hati berjalan disana. Tapi, bagi saudaraku, dia hafal seluruh jengkal isi kamarnya dengan amat baik.
"Kenapa sih tidak dipasang lampu saja?"
"Untuk apa? Toh aku tidak bisa melihat. Sama saja bagiku, Ade."
Aku hanya bersungut-sungut. Bagi dia memang sama, tapi tidak bagiku. Bagiku kamarnya itu terlalu temaram dan aku bahkan kesulitan untuk menemukan ujung dipan tempat tidurnya sehingga tulang kering kakiku sering menabrak ujung dipan tempat tidurnya yang keras. Meski demikian, semangat dia untuk belajar dan bergaul tidak pernah ada bedanya denganku. Dia bisa berceloteh tentang apa saja. Juga hafal lagu-lagu banyak sekali. Dan spesialnya adalah:
Dia hafal Al Quran.
Sedangkan aku yang bisa melihat, masih terbata-bata membaca Al Quran-nya.
Itu sebabnya dia mengajar mengaji dan bahkan bisa melakukan bisnis kecil-kecilan yaitu berdagang.
"Oi, De. Aku memang buta, tapi badanku sehat; otakku masih bisa dipakai untuk berpikir. Dan semua yang ada di aku ini dalam kondisi sempurna. Di dunia ini tidak ada orang bodoh, yang ada hanya orang malas. Kau tuh malas."
Aku hanya bisa nyengir mendengar teguran (sindiran tajam) nya.
Di tempat lain, aku juga mengenal seseorang yang juga mengalami kebutaan, tidak dari lahir. Tapi, dia amat berbeda dengan saudaraku itu. Sepenuhnya dia merasa bahwa kebutaannya itu benar-benar sesuatu yang membuatnya tidak bisa melakukan banyak hal. Itu sebabnya dia hanya bisa duduk diam, hingga tiba-tiba dia sudah melakukan profesi sebagai peminta-minta yang duduk mengharapkan sumbangan dari orang-orang yang lewat. Hari-harinya dilalui dengan duduk bersila, punggung tegak, dan mulut terkunci rapat.
"Kasihani saya bu, saya buta. Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena kebutaan saya."
Saudara saya yang lain, yang juga mengalami kebutaan setelah dia dewasa, pandai memainkan Akordion. Gloukoma yang dideritanya ketika dia berusia 30 tahun, dan membuat kedua matanya tidak dapat melihat lagi, tidak membuatnya patah semangat. Sedih, itu pasti. Dia menghabiskan waktu satu tahun untuk menangisi nasibnya yang dirasakan malang tersebut. Bagaimana tidak sedih karena ketika dia buta, dia sibuk menangis dan lupa bahwa kehidupan terus berjalan meski dia bersedih. Suaminya tetap harus pergi ke ladang (saudaraku itu tinggal di dusun yang ada di tepi Sungai Musi); anak-anaknya terus tumbuh dengan berbagai macam keperluannya. Sementara kehidupan di dusun tidak terbiasa memiliki pembantu rumah tangga seperti halnya kehidupan di perkotaan. Akhirnya, atas kesepakatan seluruh keluarga, suaminya menikah lagi. Kesedihan saudara saya itu bertambah.
Tapi jangan pernah membayangkan kehidupan poligami yang penuh dengan intrik persaingan seperti halnya gambaran rumah tangga poligami yang digambarkan oleh banyak tulisan dan sinetron. Rumah tangga poligami yang dibangun oleh saudara saya itu aman tentram. Istri muda membantu keluarga suaminya dan sekaligus menghibur istri tua suaminya. Saudara saya yang buta tersebut dilatih untu menjadi mandiri. Bahkan anak pertama dari pasangan suami dan istri muda tersebut, sejak kecil dilatih untuk membantu saudara saya yang buta tersebut. Sehingga, ketika anak pertama tersebut berusia 5 tahun, anak tersebut sudah seperti anak sendiri. Melayani saudara saya yang buta ini, melatihnya, membantunya sekaligus menghiburnya (karena anak-anak memiliki hati malaikat yang mampu menghibur orang lain). Akhirnya, saudara saya tersebut bisa menjadi pribadi yang mengagumkan seperti sekarang. Dia hafal Al Quran dan selalu mengisi waktu luangnya dengan mujarobah (melantunkan hafalan Al Quran). Serta bermain musik. Dia pandai sekali memainkan akordion.
![]() |
| ini pemain akordion dan akordionnya yang sering berkeliling di Eat n Eat Gandaria City, Jakarta Selatan |
Lagu-lagu melayu tempo dulu dia hafal di luar kepala. Dia juga akhirnya bisa kembali menjadi ratu di rumahnya sendiri. Dengan ceria dia akan melayani semua tamu yang berkunjung ke rumahnya. Memasak, mengambil sesuatu, berjalan kesana kemari. Lincah. Anak tirinya bahkan dengan ikhlas melayani semua kebutuhan yang tidak bisa dia lakukan karna kebutaannya karena dia memang sudah tidak pernah lagi mengeluhkan kebutaannya dan tidak ingin membuat orang ikut gusar lagi dan susah hati karena kebutaannya. Itu sebabnya banyak orang yang akhirnya sayang padanya.
Waktu berjalan-jalan di Kuala Lumpur, Malaysia, aku sering sekali bertemu dengan rombongan Tuna Netra yang ceria dan bisa terus beraktifitas dalam berbagai profesi. Negara Malaysia memang memberikan fasilitas berlimpah berupa kemudahan bagi orang cacat yang ada di negaranya. Jadi, jangan heran jika di kampus, mall, perkantoran, taman, ada banyak orang cacat yang bisa beraktifitas normal dan berbaur dengan orang lainnya.
Hmm.
Cerita-cerita di atas, tiba-tiba saja jadi muncul di benakku setelah tanpa sengaja aku melihat video di bawah ini. Tonton deh. Sehabis menonton video ini, aku jadi bersyukur. Alhamdulillah aku dilahirkan dalam kondisi sempurna.
Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan kesempurnaan pada kita semua. Aamiin.
l
Model Rumah Panggung Untuk Mengatasi Banjir di Perkotaan
Kamis, 13 Maret 2014
[Lifestyle] Masih ngomongin seputar model rumah nih ceritanya dakuh. Setelah sebelumnya aku ngomongin tentang bentuk rumah Limas Palembang yang diabadikan di duit kertas Rp10.000, maka aku mau cerita bahwa sekarang ada sebuah trend yang memang belum naik daun saat ini, yaitu trend mendirikan model rumah Limas Palembang di perkotaan.
Rumah Palembang di Duit Rp10.000
[Lifestyle] Dari pagi, aku ngutak-ngatik video maker karena memanga berniat untuk membuat video trailer untuk keperluan promo novelku "Yang Tersimpan Di Sudut Hati" (eh, jangan lupa ya teman-teman, hari sabtu besok tanggal 15 maret 2014 pukul 14.00, ada acara bedah novelku di TM Bookstore, Depok Town Square). Nah... ketika keasyikan ngutak ngatik runut jalan ceritanya, aku bertemu dengan gambar rumah limas asli yang lukisannya ada di uang atau duit kertas cebanan atau Rp10.000.
![]() |
| ini dia nih rumahnya. Sama kan dengan bentuk rumah yang ada di duit Rp10.000-an. Foto ini aku dapat dari sini |
Bedah Novelku kelak tanggal 15 maret 2014
Kamis, 06 Maret 2014
Alhamdulillah.. akhirnya, aku dapat juga kesempatan insya Allah untuk membedah novelku di hadapan publik. Sekalian promo lagi.
Datang ya.. datang ya...
Datang ya.. datang ya...
Langganan:
Komentar (Atom)












