menengok cerpen pemenang LMCR 2011 kategori B juara 3: Saat hitam dan putih menyatu


SAAT HITAM DAN PUTIH MENYATU

Oleh Jennifer Sidharta (pemenang ke 3 lomba cipta cerpen remaja, kategori B tahun 2011)

Jika merah berarti benar, dan biru berarti salah, maka ungu adalah hidup.
*
“Citra, kau sudah mengerjakan PR kan? Pinjam ya!”
“Jangan! Itu kan sama saja dengan mencontek!” sahutku. Itu, sebuah kesalahan besar, tentu saja.
Apaan sih? Tak usah sok suci deh!”
Selalu begitu. Bahkan orang yang memeriksa PR kami mendiamkan saja, meskipun jelas-jelas semua jawabannya sama persis. Seakan kini mencontek bukanlah sesuatu yang salah.
Aneh kan? Kalau memang mencontek bukanlah suatu kecurangan, kalau memang itu hal yang wajar, mengapa dulu aku diajari bahwa mencontek itu dosa? Bahwa hal-hal itu salah, dan tak seharusnya dilakukan?  Tapi aku juga tak mengerti diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa menjadi seperti mereka saja? Apa sebenarnya yang kuinginkan? Mengapa aku merasa harus terus berpegang pada nilai moral yang selama ini diajarkan padaku? Mengapa aku ingin mereka juga berhenti melakukan perbuatan yang menyimpang?
*
“Bunga, pinjam pulpen ya!”
“Bunga, bagi kertas ulangan dong!”
“Ya, ambil saja,” sahutku dengan seulas senyum.
“Terima kasih! Bunga memang sangat baik!”
Ha! Penjilat. Memangnya aku tak tahu kalau kalian menjelek-jelekkan aku? Setiap hari meminjam barang-barangku, menyalin tugas, bahkan mencontek ulanganku! Ingin rasanya kulabrak mereka, tapi takkan kulakukan hal bodoh itu. Percuma saja. Karena bukannya mereka akan sadar dan memperbaiki kelakuan mereka, tapi aku malah akan dikata-katai. Munafik, dan lain-lain.
Aneh ya? Setahuku di pelajaran moral diajarkan secara jelas apa yang ‘benar’ dan apa yang ‘salah’. Tapi, melihat keadaan sekarang, kurasa seharusnya isi buku-buku itu direvisi.
Meski begitu, semakin kupikirkan, semakin kurasa akulah yang menyimpang. Tetap saja, rasanya ada yang tak benar. Apakah jika semua orang, katakanlah, mencontek, maka orang yang tidak menconteklah yang salah? Apakah memang aku yang salah? Apakah zaman sudah berubah, hingga nilai-nilai moral pun berubah? Apakah kini apa yang benar dan salah berbeda dari apa yang dulu dianggap benar dan salah?
*
     Apa yang seharusnya kulakukan? Adakah orang yang memikirkan hal yang sama denganku? Mungkin sebaiknya aku berhenti berpikir seperti ini, berlaku seperti ini. Ya, semua akan terasa jauh lebih mudah dan menyenangkan jika aku menjadi sama seperti mereka.  Memang awalnya akan terasa sakit, dan aku akan membenci diriku sendiri karena menjadi seorang pecundang yang bahkan tak mampu memperjuangkan isi hatiku. Tapi, kurasa  lebih mudah melawan diriku sendiri, daripada melawan semua orang di luar sana.
Aku tahu itu namanya melarikan diri dari masalah, tapi memangnya apa dayaku?! …Tapi, memang dasar aku bodoh! Walau aku tahu tak ada gunanya, aku tetap ingin berharap. Berharap setidaknya…Seandainya ada seorang saja yang mengerti apa yang kurasakan…
*
Semua orang memiliki cara masing-masing dalam mempergunakan hidup mereka. Cara hidup yang tampak berbeda mungkin saja menyimpan suatu keinginan yang serupa. Dan pada suatu saat, mereka yang memiliki keinginan yang serupa akan bertemu. Saat itu, sesuatu pasti terjadi!
     Siang itu, sekelompok anak sedang bercakap-cakap sambil menyusuri sebuah koridor sekolah mereka dalam perjalanan menuju kantin.
“Benar-benar deh,  Citra. Sok suci banget! Seakan-akan dia tak pernah menyalin PR saja.”
“Bukan cuma itu, tahu! Dia juga tak suka saat kita ngerjain  orang,  sering memprotes nilai. Padahal menurutku nilainya sudah bagus, untuk apa lagi memprotes nilai? Oh, dan lagi, dia sangat rajin, kudengar ia belajar setiap hari! Aneh kan?”
Banget! Tapi, kalau soal belajar, kurasa ada yang lebih freak lagi. Tahu Bunga kan? Sepertinya dia belajar setiap saat!”
Saat mereka sedang asyik mengobrol, seorang anak muncul dari arah yang berlawanan, dan seketika mereka pun terdiam.
“Hai!” sapa gadis yang baru muncul itu.
“Ah, hai Bunga!” sapa mereka serentak, sebelum buru-buru meninggalkan Bunga sambil berbisik-bisik.
“Kau mendengar percakapan mereka kan?” tanya seorang gadis lain yang muncul dari balik ujung koridor yang lain.
“Sama sepertimu, Citra,” sahut Bunga tak acuh.
“Dan kau diam saja? Kau benar-benar murid teladan ya. Tepat seperti perkataan mereka,” tutur Citra sedikit sinis.
“Kau masih lebih baik daripada aku. Kau peduli pada mereka dan menegur mereka. Kau juga begitu peduli tentang nilaimu, hingga memprotes nilai segala. Benar-benar contoh pelajar teladan,” balas Bunga.
“Hentikan cara bicaramu yang seperti itu,” hardik Citra kesal.
“Seperti apa?”
“Munafik. Menurutmu aku tak sadar? Kau hidup dalam kebohongan! Berpura-pura untuk menyenangkan orang lain, dan mengenakan topeng untuk menciptakan gambaran palsu. Kau memiliki banyak wajah agar diterima dan diakui mereka, padahal wajah-wajah tersebut saling bertolak belakang!”
“Diam! Apa yang kau tahu tentangku? Apa hakmu berbicara seperti itu? Kau juga tahu seperti apa mereka, mereka semua! Cara hidup, penampilan, pemikiran, apa saja yang tak sesuai standar akan mereka cela dan ubah tanpa memikirkan kehendak pemilik hidup itu. Lalu, bagaimana kalau aku sebenarnya tak mau mereka ubah? Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan, selain berpura-pura menjadi seperti mereka? Lagipula, bagaimana denganmu? Kau sendiri tak berbeda dariku!”
“Enak saja! Aku tak sepertimu! Aku hanya menuntut apa yang menjadi hakku! Memangnya apa salahnya, kalau aku sudah belajar mati-matian dan ada kelalaian dalam penilaian hingga nilaiku lebih rendah dari yang seharusnya kudapat, lalu aku memprotes hal itu?! Salahkah aku, kalau merasa marah? Kalau aku sudah memeras otak dan keringat, tapi ada yang dengan santainya menyalin hasil kerjaku! Tak bolehkah aku merasa dirugikan?”
Sesaat mereka terdiam. Napas mereka tersengal-sengal karena tanpa sadar mereka telah meninggikan suara, bahkan hingga saling berteriak. Saat itu, hanya ada mereka berdua di lorong yang memang jarang dilalui orang itu. Mereka saling berpandangan, dan tiba-tiba, tanpa alasan apa pun, mereka tertawa.
“Bodoh sekali! Mengapa kita malah bertengkar?” ujar Bunga, masih tertawa.
“Entahlah. Mungkin karena…kau tahu, sebenarnya, sudah lama aku tahu tentangmu lewat gosip teman-teman sekelasku…”
“Aku juga! Saat itu, menurutku kau adalah orang yang menarik. Dan, jujur saja, aku iri padamu.”
“Apa? Tak mungkin! Seharusnya aku yang iri padamu! Kau tahu, kau sebenarnya disukai banyak orang. Sedangkan aku, sejak dulu selalu dijauhi yang lain.”
“Mereka menyukaiku karena aku bisa mereka manfaatkan, Citra. Tak pernah ada yang benar-benar tulus menjadi temanku. Beda denganmu. Mungkin memang benar kau tak dekat dengan banyak orang, tapi mereka yang kagum padamu menyukaimu apa adanya. Karena memang itu yang kau tampilkan, dirimu apa adanya. Aku tak bisa jujur dan berani sepertimu.”
“Itu tak benar! Aku, aku sebenarnya menyukaimu, karena kau berbeda, Bunga! Memang kau tak terang-terangan menentang apa yang mereka lakukan, tapi kau tak ikut-ikutan berbuat seperti mereka. Kurasa itu hebat.”
Bunga tersenyum dan berkata pelan, “Kau tahu, kurasa kita memang sangat mirip. Aku sangat senang, Citra. Mulai sekarang aku tahu ada seseorang yang menjadi sahabatku karena tulus peduli padaku.”
“Bunga, kau…mengapa kau mau menahan perasaanmu yang sebenarnya dan tetap bersikap baik pada mereka?”
“Entahlah. Mungkin karena sebenarnya aku masih peduli pada mereka. Aku hanya ingin melakukan apa yang kuanggap benar, tapi aku tak mau memaksa orang lain hidup mengikuti kepercayaanku, karena itu akan membuatku sama saja dengan mereka. Dan kau? Mengapa kau bisa sebegitu pedulinya hingga menegur mereka?”
“Kurasa karena menurutku itu tak benar. Dan aku yakin mereka juga tahu apa yang mereka lakukan itu salah. Meskipun, sekarang ini apa yang benar dan salah nyaris tak bisa dibedakan. Aku hanya tak ingin melakukan apa yang salah hanya karena semua orang juga melakukannya. Kurasa, aku juga tak mau mereka melakukan apa yang salah. Aku sangat egois ya?”
Percakapan mereka disela dering bel tanda istirahat sudah berakhir. Sambil tertawa dan bercanda mereka berlari menuju ruang kelas mereka masing-masing.
*
     “Kau sudah dengar? Kabarnya sekarang Bunga dan Citra bersahabat akrab!”
“Oh, cocok deh! Keduanya kan sama-sama sok dan menyebalkan.”
“Sepasang freak. Hahaha.”
Informasi menyebar dengan cepat. Sepertinya tak ada yang mampu menyaingi jaringan informasi anak sekolah. Satu orang saja yang tahu,  dalam waktu sangat singkat semua orang sudah mengetahui hal tersebut.
Seperti biasa, Bunga dan Citra mengabaikan semua gosip tentang mereka. Tentu saja, semakin mereka mengabaikannya, semakin gosip-gosip itu menjadi-jadi.
“Aku benar-benar heran. Apa saja bisa jadi gosip. Apanya yang menarik dari dua orang yang bersahabat coba?” ujar Citra suatu hari.
“Mungkin karena kita beda kelas, tiba-tiba kita bersahabat. Kalau aku sih lebih heran, ada saja yangsegitunya kurang kerjaan bergosip tentang orang lain. Seakan tak ada topik yang lebih penting saja.”
Saat mereka sedang asyik mengobrol, sekelompok anak berpapasan dengan mereka. Sekelompok anak yang sejak dulu, entah mengapa, tak menyukai mereka berdua.
“Aduh, ada dua orang suci di sini! Aku jadi merasa bersalah sudah membuang sampah sembarangan barusan,” ledek seorang dari mereka.
“Suci? Yang benar saja! Sepertinya ada yang tak sadar diri. Memangnya dia selalu benar? Please deh, manusia tuh tak ada yang sempurna. Sadar dong!” sahut yang lain.
“Hei! Kalau ada yang mau kalian sampaikan, katakan langsung pada orangnya! Pengecut!” sembur Citra yang tak tahan lagi diejek seperti itu.
“Kok, kau malah marah? Jangan-jangan, kau mengira kami sedang membicarakanmu? Ge-er banget sih,” ejek seorang dari mereka, disambut gelak tawa teman-temannya.
“Sudahlah, Citra. Yuk, kita pergi saja,” bujuk Bunga seraya menarik tangan Citra.
“Ih, menjijikkan,” ledek seorang dari mereka, namun ia segera menutup mulutnya karena dipelototi oleh Bunga.
“Citra? Kau tak apa-apa?” tanya Bunga lembut saat mereka sudah berada di tempat lain.
“Mereka benar…Mereka benar, Bunga. Aku juga tahu, kok. Aku sok benar, mengatur-atur dan menegur mereka. Padahal aku juga pernah berbuat salah. Perbuatanku yang menganggap mereka menyebalkan itu salah, karena itu namanya main hakim sendiri kan? Mereka benar. Benar aku juga harus mawas diri, tapi maaf, aku bukan robot. Aku juga bisa marah, lelah, kesal, sedih, dan kecewa. Aku juga berdarah saat dilukai, terutama seperti apa yang mereka lakukan tadi,” sahut Citra pelan seraya menahan tangis.
“Aku tahu. Mungkin aku tak sepenuhnya mengerti perasaanmu, karena bagaimanapun juga kita adalah dua orang yang berbeda. Tapi aku tahu rasa sakit itu. Mungkin bagi orang lain aku menyebalkan, cerewet, munafik, perfeksionis, dan penjilat. Tapi aku hanya berusaha menjadi pribadi yang kuinginkan, meski aku harus hidup dalam idealisme dan penolakan.”
“…Terima kasih, Bunga.”
“Untuk apa? Aku hanya menceritakan apa yang kurasakan. Seharusnya aku yang berterima kasih padamu.”
“Terima kasih karena menemaniku. Terima kasih karena kau ada untukku, karena kau mau menjadi sahabatku.”
“Hei, itu gunanya sahabat kan? Lagipula, bersahabat itu hubungan dua orang. Aku juga berterima kasih, karena kau adalah sahabatku. Kalau aku tak punya sahabat sepertimu, mungkin aku sudah mencabut nyawaku sendiri.”
“Tak boleh! Itu tak benar, kau tak boleh bunuh diri! Bunuh diri sama saja dengan lari dari masalah! Lagi pula, kalau kau tak ada…aku akan sendiri lagi.”
“Tenanglah, Citra. Kita akan selalu bersama, kita akan saling menolong dalam menghadapi rintangan apa pun. Jadi, jangan takut, sahabat sejatiku.”
“…Ng, maaf mengganggu kalian. Tapi, kau dipanggil ke kantor guru, Bunga,” ujar seorang anak yang tanpa disadari sudah berada di dekat mereka.
Bunga dan Citra saling berpandangan, lalu mengangkat bahu tak peduli. Tak ada gunanya menduga-duga tak tentu arah, jadi, mereka pun mengikuti anak itu menuju kantor guru.
*
“Bunga, kau sadar apa yang telah kau lakukan?! Lihat ini! Katakan, apa yang kau lihat!”
“Ini…akun facebook saya kan?”
“Iya, lihat apa yang kau tulis dalam statusmu!”
“Tapi, itu kan status saya, Bu! Fungsi status kan menuliskan apa yang saya rasakan, jadi apa salahnya? Lagipula, setahu saya tak ada guru yang menjadi teman facebook saya. Ibu dapat itu darimana?”
“Tak penting darimana Ibu tahu tentang ini! Dengar, Bunga, tulisanmu itu bisa menyinggung perasaan orang! Karena kau biasanya tak seperti ini. Dan,  ini adalah pertama kalinya kau membuat masalah, hukumanmu hanya kau harus mengganti status itu! Dan jangan mengulanginya lagi! Sudah, kau boleh pergi.”
*
     “Ada apa, Bunga?” tanya Citra cemas.
Ia sejak i tadi menunggu Bunga di depan kantor guru.
“Citra, apakah memang aku harus terus berbohong agar tak menyinggung perasaan orang? Salahkah aku, kalau merasa lelah dengan semua kepura-puraan dan basa-basi ini? Tak bolehkah aku mengeluh, tak pantaskah mengharap pujian? Dilarangkah protes dan komentar? Sudah tak ada lagikah kebebasan aspirasi? Salahkah aku, kalau merasa dikhianati? Salahkah aku, kalau merasa tak adil?”
“Bunga? Memangnya apa yang terjadi?”
“Aku dimarahi, hanya karena status facebook! Aneh kan? Lagi pula, seingatku tak ada guru yang menjadi teman facebookku, jadi darimana mereka tahu? Katakan padaku, Citra, apakah kalau perkataan kita mungkin akan menyinggung perasaan orang lain, maka kita tak boleh mengatakannya?”
“Entahlah, Bunga. Tapi, kau juga tahu seperti apa dunia ini sekarang. Tak ada lagi benar atau salah, hitam atau putih. Semua telah menyatu, membaur dalam kebingungan yang tak terpecahkan. Satu-satunya yang menjadi standar adalah keinginan mereka yang berkuasa, yang menjadi ukuran moral adalah nilai moral yang dimiliki mayoritas orang. Mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang lama hanya akan ditertawakan dan dikucilkan.”
“Tapi kau tetap berpegang teguh pada nilai-nilai lama itu.”
“Aku berpegang teguh pada apa yang kupercayai, dan aku akan memperjuangkan idealismeku, meskipun aku harus melawan dunia dan semua anggota masyarakat.”
“Kau sangat kuat, Citra. Sedangkan aku, hanya mampu berteori. Sama seperti segala hal lain, aku sudah tahu harus apa. Segala macam pertanyaan dan teori mampu kujawab, kumengerti. Tapi, apa daya jika hati dan teori tak selaras? Haruskah aku tetap berharap, walau luka belum menutup? Haruskah aku terus memperjuangkan teoriku, kepercayaanku, walau mereka yang mengajariku dan membuatku mempercayai nilai-nilai itu melanggar perkataan mereka sendiri? Di saat yang kujadikan patokan saling bertentangan, yang mana yang seharusnya aku contoh?”
“Jujur, aku tak tahu, Bunga. Kau juga tahu, tak ada lagi yang dapat dijadikan patokan. Saat ini sangat sulit mencari tokoh yang dapat diteladani. Semua ‘benar’ dan ‘salah’ yang kita pelajari dulu pada prakteknya saling bercampur. Lihatlah, saat ini bohong dan kecurangan sudah ditoleransi. Malah, mereka yang terus mencoba jujur dan tuluslah yang terus disakiti dan dicemooh. Kalaupun kita terus membela apa yang kita anggap benar, takkan ada yang menghargainya. Meskipun begitu, apakah kau mau menyerah?”
“…Jahat, Citra. Kalau kau berkata seperti itu, aku malah semakin tak mau menyerah.”
“Kau juga tak rela kan, Bunga? Kita sudah berjuang sampai saat ini, jika kita berhenti sekarang, semua usaha kita selama ini akan  sia-sia. Mungkin selamanya, bahkan sampai ajal menjemput kita pun, apa yang kita harapkan tidak terwujud. Tapi apakah itu berarti kita boleh menyerah begitu saja? Apakah kau mau membohongi hatimu sendiri?”
“Kau tahu, Citra, mungkin semuanya tak segelap yang kita bayangkan. Aku punya sahabat sepertimu, dan seandainya ada orang-orang lain yang berpikiran sama seperti kita, mungkin impian kita tak sebegitu sulit diraih. Lagipula, selama kita terus berjuang, aku yakin sesuatu akan terjadi. Pasti akan ada perubahan! Mungkin orang-orang di sekeliling kita lama-lama akan sadar dan ikut berubah.”
“Pasti, Bunga. Selama dilakukan dengan sepenuh hati, takkan ada hal yang sia-sia. Lagipula, kita tak mungkin membuang kepercayaan kita begitu saja, lalu menjalani hidup yang kosong tanpa arti. Kita hidup karena percaya! Menyerah berarti membunuh hati kita sendiri. Aku lebih baik mati dengan hati yang masih percaya daripada hidup tanpa kepercayaan. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga. Kau benar, Citra. Apapun yang terjadi, akan kita hadapi bersama. Kurasa sebenarnya kita sangat beruntung, karena kita percaya dan memiliki harapan. Tapi kita harus terus berjuang, Citra, untuk mempertahankan hal itu, dan untuk membaginya pada sebanyak mungkin orang.”
*
     Meski ada yang tak bisa dilawan, biarlah kami terus berjuang. Walau mimpi akan selalu menjadi angan, biarkan harapan beri sedikit kekuatan. Walau bagi orang lain hitam dan putih telah menyatu, kami akan terus bertahan dan membela apa yang kami anggap putih.
*
Jennifer Sidharta, siswi SMA IPEKA TOMANG Jakarta Barat
Hobinya membaca dan menulis, melambungkan cita-citanya  ingin menjadi penulis. Ia telah merintisnya, menulis fiksi dan nonfiksi di akun facebook miliknya dan mengikuti LMCR-2011

Noleh cerpen pemenang lomba cerpen LMCR): Puisi Bernyawa


PUISI BERNYAWA

penulis: Azmi Farah Fairuzya (pemenang 1 kategori B, Lomba menulis cerpen remaja (LMCR) 2011)


Dalam kesehariannya, gadis itu hanya diam menatap jendela. Tatapannya kosong, tetapi dalam sirat matanya menggambarkan kepedihan yang teramat dalam. Ia tak pernah mau pergi dari ruangan yang menghadap balkon itu. Tangannya tak pernah lepas menggenggam tirai tipis yang menghiasi jendela. Tubuhnya tampak lebih kurus tak terawat, kulit sawo matangnya tampak kering dan pucat pasi. Mata indahnya dikelilingi lingkaran hitam, dan mulutnya serasa membeku.
Aku mengenalnya cukup baik. Aku sering menjahilinya dan bercanda gurau dengannya. Bagiku dia adalah gadis yang cukup ramah, periang, sedikit pendiam, tidak mudah marah, lucu, dan pencair suasana. Namun ia memiliki satu keburukan: terlalu jadi  seseorang  pemikir. Mungkin ini yang menjadikan alasannya menjadi seperti ini. Rasanya aku iba melihatnya seperti itu. Tingkah lakunya sudah tidak berbeda dengan patung yang biasa digunakan untuk menghiasi rumah. Entah apa yang membuatnya begitu, yang aku tau pasti dia sangatlah tertekan oleh suatu keadaan.
Setiap hari, aku selalu mencoba mengajaknya berbicara. Namun tak pernah ada jawabnya. Aku mencoba menarik perhatiannya dengan membawakan hal-hal yang membuat dirinya selalu bersemangat ketika dia belum seperti ini, namun sedikit lirikan saja tak aku dapati.
“Sudahlah, Nak, kamu pulang saja, sudah petang. Orang tuamu pasti mencarimu.” Ibunya yang sedari tadi menangis di samping pintu memandangi kami akhirnya mengeluarkan suara.
“Tidak, Tante. Saya masih ingin di sini. Tadi sudah pamit. Tante istirahat saja.” Jawabku.
Aku merebahkan diri di atas kursi mencari beribu hal yang dapat menarik perhatiannya. Berbagai macam hal sudah aku coba. Bahkan, memutar lagu dengan sangat keras pun tidak juga membuatnya bergerak. Aku nyaris menyerah, sampai akhirnya aku menemukan sebuah buku harian yang ia genggam dengan erat.
“Boleh aku pinjam buku itu?” Kataku sembari menunjuk buku itu. Namun tetap tak ada jawaban. Hanya saja, ia menggenggam bukunya lebih erat. Aku tersenyum tipis. Paling tidak, aku tahu bahwa ia masih dapat mendengarku, masih dapat memberi respon terhadap pernyataanku, dan dari responnya aku tahu bahwa buku itu adalah rahasianya. Aku memancingnya dengan mencoba menarik buku tersebut. Harapanku ia akan bergerak lebih banyak, kalau perlu berpindah tempat, membentakku, atau paling tidak menatapku. Namun yang terjadi terlalu jauh dari harapanku. Ketika aku mencoba menariknya, hanya tangannya yang berusaha mempertahankan buku itu. Aku merinding. Ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya, aku merasa tangannya teramat dingin dan tubuhnya merinding. Aku menjauhkan tanganku lalu mengelus pundaknya. Tepat saat itu, ibunya masuk untuk memberi makanan.
“Makanlah dulu, Mia. Kamu sudah tidak makan seminggu ini. Makan!” Isakan mamanya semakin mengeras. Namun tetap tak ada gerakan. Ketika kucoba menyuapinya, tetap tak mau membuka mulutnya. Setengah jam sampai bubur buatan ibunya dingin, akhirnya ibunya keluar meninggalkan kamar.
Hari itu sangat melelahkan untukku. Aku pun memutuskan untuk pergi.
“Mi, aku pulang dulu. Besok aku akan datang lagi. Kuharap, besok kamu mau berbagi denganku. Besok pagi  mesti makan!” Kataku lembut sambil memeluk dirinya dari belakang.
Rabu sepulang sekolah, aku datang membesuknya lagi bersama dengan Bu Aini, guru bimbingan konseling di sekolahku. Mungkin, ia  lebih mengetahui tentang sifat manusia akan lebih membantu. Ibu Mia mengantarkan kami ke ruangan tempat Mia berada. Pakaiannya belum berubah, aku rasa ia belum bergerak sedikit pun. Masih sama seperti kemarin.
Aku menyapanya lembut dan membiarkan Bu Aini berbincang dengannya. Aku duduk di sudut ruangan dan memasang headset, sehingga aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Tampak jelas bagaimana Bu Aini membujuknya untuk melakukan kegiatan yang sudah beberapa hari ini ia tinggalkan. Satu jam berlalu tetap tak ada perubahan. Bu Aini mengambil kursi dan duduk di sampingnya. Aku terus memandangi mereka berdua, penasaran dengan apa yang di katakan oleh Bu Aini. Sampai akhirnya, Bu Aini berdiri dan mengajakku pulang. Aku ingin berbincang dengan Mia, tetapi Bu Aini melarangku. Akhirnya aku mematuhinya  dan meninggalkan ruangan. Sebelum aku menutup pintu, aku mengintip Mia sebentar. Aku terkejut, sehingga aku memutuskan untuk mengulang mengintipnya. Benar saja apa yang kulihat sebelumnya, Mia sedang mengusap pipinya. Apakah ia menangis? Paling tidak, guruku berhasil membuatnya bergerak.
Dua minggu setelah hari itu, aku dikejutkan dengan kabar masuknya Mia ke rumah sakit akibat dehidrasi parah yang ia alami. Mungkin saja, satu minggu ini dia masih tetap belum menyentuh makanan sedikit pun. Satu minggu ini memang aku tidak sempat membesuknya, karena ada ulangan tengah semester yang harus kulalui. Sehingga tidak ada kesempatan untukku mengetahui perkembangannya.
Aku datang ke rumah sakit tepat ketika Bu Aini turun dari mobilnya. Kami memutuskan untuk pergi bersama. Langkahku berat dan tubuhku gemetar. Berdoa di setiap langkahku supaya Mia baik-baik saja. Memasuki ruangan tempat Mia terbaring tak berdaya, ibu Mia berhambur keluar dan memeluk Bu Aini. Bu Aini terus menenangkan beliau. Aku berjalan menghampiri ranjang Mia. Tubuhnya kelihatan kurus dan pucat. Berbagai macam selang menempel di sekujur tubuhnya. Aku membelainya, mengajaknya berbicara dan dengan sabar menunggu jawabnya.
Tiba-tiba aku teringat akan buku harian Mia. Aku ingin sekali membacanya. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan meminta izin pada ibunya untuk mengambil barang milik Mia, yang mungkin bisa membantu.
Benar saja, buku harian itu tergeletak  di tempat ia biasanya berdiri. Aku mengambilnya dan merapikan beberapa bagian ruang itu yang berserakan. Kemudian berpamitan pulang.
Sesampaiku di rumah dan berbenah diri, aku merebahkan diri di atas kasur. Memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan buku harian itu. Salahkah aku bila ingin membacanya? Apakah aku melanggar hak pribadi seseorang? Tapi aku ingin membacanya, aku ingin membantunya.
“Tuhan, maafkan aku bila ini perbuatan yang salah.” Kataku dalam hati, kemudian mengambil buku harian itu dari dalam tas.
Aku mengunci kamar dan menyalakan lampu belajar di meja belajarku. Perlahan-lahan aku buka buku harian itu. Tampak beberapa foto Mia di halaman pertamanya. Foto yang penuh dengan coretan di berbagai bagian tubuhnya yang dahulu sedikit berisi. Kemudian di sambut dengan tulisan mungilnya,“Hei! My name is Mia. I’m not beautiful, I’m not slim, I’m not even smart, any problems? This is me,  no one said that you have to like me”
Aku tersenyum sedih, aku sering sekali mendengar anak ini mengeluh akan bentuk tubuhnya. Aku semakin penasaran. Aku membalik-balik setiap halaman, dan menemukan puisi pertamanya.
Bila saja penantianku bukanlah agama tanpa Tuhan,
Bila  saja aku melangkah tanpa kedua kakiku yang terpasang
Getar-getar hati mengamuk menyeruak
Menggemparkan, berharap berbuah melodi
Kalau saja Tuhan memberikanku kemudahan bersila,
Kalau saja Tuhan mempersilakan aku menyentuh bintang,
Lalu bergaun putri salju..
Akankah engkau diam dan berhenti menatapku?
Atau kau akan berbalik memujiku?
Yang tiada berharga, tiada bernilai
Aku hanya bungkam,
Terlawan oleh anak panah yang tersesat
Dan ketika aku berdiri ingin membanggakan diriku,
Aku tahu..
Bahwa sedikitpun tak ada yang bisa dibanggakan dariku…
Apa itu salahku?
            Aku berkali-kali membaca puisi ini untuk memahami maksudnya, tetapi sulit untuk kudapati.  Mungkinkah maksud puisi ini untuk seseorang yang sering menghinanya? Aku mengutuk diriku sendiri karena kebodohanku. Kenapa harus puisi? Kenapa bukan curahan hati saja yang biasanya diawali dengan “dear diary”? Lagi aku membaliknya, dan kudapati puisi berikutnya.
Diam!
Tak usah kau jawab lonceng gereja itu,
Tetaplah bergeming..
Suara itu menyakitkanku,
Mengingatkan aku pada anugerah yang tak pernah aku syukuri
Aku tak mau lisanku nanti menyangsi diriku karena berdosa,
Aku tak mau tanganku ini membawaku pada kobaran api
Karena kecerobohanku memegang hatiku
Aku tak ingin sejarah hatiku terus kau nodai,
Pergilah untuk menapaki sebuah jembatan pelangi yang rapuh
Carilah sebuah benang halus di deruan ombak
Dan tangkaplah satu saja asap dari cerobong disana..
Bila kau dapati, teruslah pecahkan benteng air mataku!
            Aku semakin yakin bahwa yang membuat ia tertekan adalah bentuk tubuhnya. Ia tersiksa dengan setiap hinaan yang dilontarkan oleh teman-teman.
Setelah berhenti berpikir dan menguap, aku melirik puisi berikutnya. “Sepertinya ini berbeda,” gumamku.

aku yang menatap lembut kegelapan hatiku ,
berhembus lesu menghancurkan anganku
tanpa apa aku meletakkan sebuah asa ,
bahkan untuk mengucapkannya , aku tak mampu ..
dan kini lenyap terbawa cinta ..
cinta yang entah apa aku tak mampu untuk mengeja

oh Tuhan,
siapakah aku dalam keputus asaan ini?
aku yang benar benar kehilangan separuh jiwaku
yang kini berlari bersama merpati yang tak tau arahnya
meratapi sang surya yang menggarang dan tak berprasaan , seperti mereka
oh Tuhan,
siapakah aku dalam kebisuan ini?
yang hilang bersembunyi dengan airmata yang mendanau
oh Tuhan,
siapkah aku menghadapi hari esok ?
bahkan kini untuk memanggil diriku aku tak mampu ?
oh Tuhan,
Murkakah Engkau bila aku ingin mendahului kehendakMu ketika kehendaMu atas kehendakku tak mampu kuraih ?
oh Tuhan,
hancurkah aku mengatakan diriMu jahat ?
oh Tuhan,
Terkutukkah aku mengatakan aku tak suka bahkan benci diriMu ,
oh Tuhan,
Nerakakah tempatku kelak bila mengutuk ‘ia yang tak mengerti aku, yang jahat padaku, namun yang mengadakan aku’?
oh Tuhan, siapakah aku dalam petanyaan bodoh ini?
membisu, mengeluarkan air mata, dan sendiri menutup diri ..
            Aku terus mengulangi dan terus mengulangi puisinya pada bagian ‘ia yang tak mengerti aku , yang jahat padaku namun yang mengadakan aku’, mungkinkah yang dimaksud adalah sang ibu? Aku teringat ia pernah menuliskan di akun jejaring sosialnya, bahwa ia kesal dengan ibunya. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Semakin ke belakang, puisinya semakin berubah.
            “Gadis misterius.” Kataku lirih. Kemudian ku lanjutkan membaca puisinya.
Bila saja ada suatu tempat untukku dapat bersembunyi,
Bila saja ada sebuah kata untukku dapat melukiskannya,
Dan bila saja ada sepenggal nada untukku dapat menyanyikannya
Ingin kuteriakkan goresan lukanya
Ingin kuhempaskan perihnya
Lalu ingin kusuguhkan tiap tetes air mata yang terjatuh
Ketika kebisuan ini menggangguku menikmati jalan ceritaku,
Dan ketika ketakutan ini menghancurkanku untuk menikmati tiap langkahku..
Bukankah terlalu pedih untukku terus merasakannya?
Ingin ku tinggalkan saja mimpi burukku, kututup mataku, kutinggalkan lukaku,
Lalu kupergikan semua rasa…
Biar semua hilang,
Pergi…
Karena solusi hanya dapat menjadi ilusi,
Dan karena gurauan hanya dapat menjadi gangguan,
Tak dapat lagi yang dapat kuarungi…..
Sampai pada akhirnya tak ada lagi kekuatan,
Tak ada lagi pengharapan,
Tak ada lagi yang tersisa selain kenangan,
Dan sampai pada akhirnya,
Semua akan kutinggalkan.
            “Aku mau kali nerima tiap tetes air matamu, tapi kamu aja yang terlalu nutup diri. Bukan, kamu aja yang terlalu takut untuk berbicara dengan orang lain. Udah berapa kali aku bilang ke kamu, untuk belajar berbicara dengan orang lain? Ceritakan apa yang kamu rasakan, kalau memang kamu tidak bisa dekat dengan ibumu, bisa dengan temanmu. Dasar gadis kelas kepala!” Kataku menjawab puisinya.
Kalau ada yang bisa kau rasakan
Di sini, dalam sebuah garis yang membentangkan lara
Perhatikanlah sebuah rajutan nada,
Apakah kau temukan keistimewaan?
Rasakanlah luka ini!
Adakah sebuah obat tukku hilangkan rasa ini?
Sentuhlah hati ini..
Tampak rapuh serapuh kapas
Bolehkah aku menahannya?
Demi pertengahan rasa yang ku genggam erat
Bolehkah aku memeluknya?
Luka yang teriris sepi, terpeluk dalam belenggu air mata
Atau, perkenankan aku untuk melepasnya..
Meninggalkan semua beban,
Meninggalkan penyesalan
Bersembunyi dalam kebahagiaan,
Dan mengepakkan sayap seakan aku tak pernah hidup
            Dua puisi terakhir yang kubaca, sepertinya mengisyaratkan ia sudah lelah dengan kehidupan ini. Aku menerka-nerka banyak hal. Mungkin, inikah yang membuatnya bungkam? Membunuh dirinya secara perlahan? Aku tidak tahu, tapi aku ingin memastikannya. Aku akan ke rumah sakit esok.
Di sinilah aku berada, koridor rumah sakit tempat Mia dirawat. Aku mendengar pembicaraan Ibu Mia dengan dokter yang mengatakan seharusnya Mia sudah bangun. Tetapi, ia belum juga bangun. Aku menyimpulkan ia hanya berpura-pura belum sadar. Aku beranjak memasuki ruangannya, mendekati ranjangnya, dan mengajaknya berbicara.
“Katakanlah padaku, tak usah kau tutupi lagi. Aku sudah membacanya. Sudah menelitinya.” Kataku memulai. Tetap tak ada jawaban.
“Kamu kenapa? Masih malu dengan bentuk tubuhmu? Kamu masih kesal dengan orang tuamu? Kamu kesal dengan teman-temanmu? Bangunlah! Jangan seperti ini. Tidakkah kamu merasakan air mata ibumu?” Ia tetap bergeming, kali ini aku menyerah.
Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku membuka buku hariannya di halaman terakhir, dan membacakan puisi terakhirnya.
Aku bermain misteri dalam hentakan detik-detikku, memikirkan setiap khayalan dan mimpi-mimpiku. Bertanya pada setiap hembusan angin. Dapatkah aku menggapainya? Atau justru mataku ini keburu terpejam?”
Mia pun terbangun dan menghadapku. Kemudian berusaha mengambil buku hariannya yang kubawa.
“Apa yang kamu lakukan? Lancang banget kamu baca buku harianku!” Katanya lirih namun terdengar sangat kesal.
“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi padamu.” Kataku tegas.
“Lalu?” Tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Lalu aku tau kau tak suka dengan tubuhmu. Hei! My name is Mia. I’m not beautiful, I’m not slim, I’m not even smart, any problems? This is me,  no one said that you have to like me sudah cukup membuktikkan kamu marah dengan bentuk tubuhmu sendiri. Iya kan?”
            “Bukan itu masalah utamanya.” Air matanya pecah.
            “Ibumu? ‘ia yang tak mengerti aku , yang jahat padaku namun yang mengadakan aku’ kah?” Kataku mengulangi sebaris puisinya. Ia menggeleng. Aku mengusap air matanya.
            “Lalu apa? Katakan padaku. Aku tak akan marah, apa pun itu.” Kataku lembut. Kemudian ia memintaku untuk mendekatkan diri padanya.
            “Aku ingin mati.” Katanya lirih.
            “Aku tahu kau ingin mati. Aku membacanya. Puisi-puisi terakhirmu mengisyaratkannya. Tapi bukan itu yang kutanya. Tak ada orang ingin mati cepat bila tanpa alasan yang kuat. Alasan itu yang ingin aku ketahui.”
            “Aku nggak masalah tubuhku tidak seindah kamu, Bunga. Aku tak masalah. Aku tak masalah tidak langsing, tidak putih, tidak cantik, tidak populer, tidak anak olimpiade, aku tak masalah. Sungguh.” Air matanya semakin deras. Aku menggenggam tangannya.
“Lalu?” Tanyaku tak sabar dengan lanjutan ceritanya.
“Memang sebelumnya tidak masalah. Sebelumnya. Tapi kini menjadi masalah yang besar. Aku malu. Sangat malu. Kamu tau bagaimana orang-orang menghinaku? Bagaimana orang memperlakukanku? Seharusnya kamu tau. Kamu sering bermain bersamaku. Rasanya, di sini sakit.” Ia menyentuh dadanya.
“Kamu jangan gitu, Mia. Kamu itu..” Belum selesai aku bicara, Mia memotongku.
“Mudah saja kamu mengatakan, Bunga. Aku tau apa yang akan  kamu katakan. Seperti biasanya. Tetapi tidak bisa. Tetap saja sakit. Terlebih Ibu tidak mau mendengarkan ini. Ibu tidak tau apa yang aku rasakan. Ia tetap memaksaku memakai pakaian yang aku merasa tak pantas. Ibu tak mau membantuku supaya langsing. Ketika aku ingin alat untuk membantuku mengecilkan alat, Ibu tak mau membelikanku. Rasanya… Ibuku seperti menginginkanku tetap dicemooh oleh teman-temanku. Kamu tidak tau bagaimana rasanya? Mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi, aku merasa sangat tertekan akan itu. Bukan aku yang meminta untuk bertubuh seperti ini. Kalau boleh meminta, aku ingin sepertimu. Langsing, tinggi, putih, cantik, dan pintar. Tapi, beginilah aku.” Katanya sambil terisak. Aku memeluknya. Pertahananku pecah, aku menangis.
“Maaf, maaf, maaf. Aku tidak tahu bagaimana di posisimu. Tidak pernah tau yang kamu rasakan. Aku busuk, maaf. Apa yang kamu ingin untukku lakukan?”
Stay close to me. And help me.” Katanya menatap mataku dalam.
I will.” Kataku sekali lagi memeluknya. Aku menghadap ke arah pintu, melihat ke arah Ibu Mia dan Bu Aini yang tersenyum kepadaku sambil berlinang air mata.
Satu minggu aku terus menemani Mia yang harus mendapati perawatan khusus di rumah sakit untuk menggantikan cairan yang hilang pada dirinya. Mia mulai kembali mau bercerita, bercanda, dan bermain. Aku juga memberikan figura berisi fotonya dan tanda tangan dari teman-teman satu kelas.
            “Kamu tahu? Teman – teman sangat merindukanmu. Mereka minta maaf bila mereka sering menyakitimu. Namun,           mereka melakukannya karena mereka menyayangimu. Mereka memperhatikanmu.” Kataku padanya.
            “Mia?” Tanya seseorang yang tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangan.
            “Iya, Om siapa?” Tanya Mia sambil mengulurkan tangan.
“Om Andi dari sebuah penerbit. Omnya Bunga. Om suka dengan puisi kamu yang dikirim oleh Bunga. Boleh Om bukukan?” Katanya langsung pada sasaran.
“Hah?” Mia tak percaya. Mia menatapku tajam, aku hanya tertawa.
“Kamu bisa menjadi penyair hebat bila rajin menulis. Om akan menyatukan puisi kamu dengan puisi-puisi penulis hebat. Kamu juga bisa mendapatkan uang dari hasil penjualan buku ini. Boleh?”
“Hah? Silahkan om.” Katanya dengan sedikit tak percaya.
“Baiklah. Om pamit dulu. Ini ada sedikit buah untuk Mia. Cepat sembuh ya.”
Setelah pamanku pergi,  Mia masih tetap saja melongo menghadap ke pintu. Kemudian ia menatapku tajam.
“Kau membaca rahasiaku tanpa izinku. Kemudian, puisi kau berikan pada orang lain tanpa izinku pula?” Katanya keras sambil memukulku.
Hello! This is your dream.” Kataku semangat.
But that is a secret!”
“Ini yang mau aku bilang kemarin sebelum kau putuskan perkataanku. Kamu itu hebat. Nulis buku harian aja pake puisi, lebay! Tapi dari sini aku tau, kamu memang penulis sejati. Siapa yang tau itu rahasia? Itu tampak bukan seperti rahasia, tapi itu seperti puisi yang memiliki nyawa.” Jawabku dengan sedikit bercanda.
            “Berlebihan kamu!” Katanya menjitakku.
            “Tapi kamu suka kan?”
            “Iya, makasih ya.” Katanya.
            “Sama-sama.” Jawabku.
            “Terima kasih, kamu adalah sahabat terbaik. Kamu membukakan jalan impianku. Kamu udahbanyak bantu aku waktu aku tertekan. Terlebih, kamu udah nyadarin apa yang aku enggak sadar. Sebuah puisi yang tampak bernyawa, sepertinya lucu juga.” Katanya tersenyum.
Kami  pun berpelukan.*
Azmi Farah Fairuzya, saat ini duduk di bangku kelas XII IPA -   SMAN 3 Semarang