noleh cerpen pemenang lomba cerpen Xpressi 2010 : istana coklat


Istana Cokelat

Aku melayang. Berayun naik-turun. Segala sesuatu di depanku terlihat sama. Tapi aku tak peduli. Aku benar-benar menikmatinya. Potongan cokelat terakhir yang kulahap menyebarkan rasa manis yang hangat. Matahari yang terlihat di antara lengkungan cabang dan ranting mengirimkan bayangan dedaunan di wajahku. Senyumku melebar.

Kalau saja hidup sesederhana ini, kurasa aku tak akan pernah melewatkan sedetikpun dalam hidupku. Meresapi segala kenikmatan yang tersimpan dan menunggu untuk ditemukan. ''Ismail!'' kata Emir. Aku menghentikan papan ayunanku, menoleh padanya. Dia duduk di papan satunya lagi. Tangannya yang putih bersih terampil membuka kertas timah yang tampak berkilat. Sebatang cokelat utuh dan tampak menggoda terbuka di pangkuannya. Ia membagi kudapan itu menjadi dua bagian, memberikan potongan yang sama besar untukku. ''Makanlah!'' Katanya. ''Hidup sudah cukup pahit. Cokelat membuat perasaanmu lebih baik, bukan?'' Aku tahu dia akan berkata seperti itu. Kalimat itu sering kudengar saban hari sejak kami mulai bersahabat.

Aku dilahirkan dari keluarga sederhana. Ibuku hanya lulus SMP, ayahku bekerja serabutan, dan rumah mungkil kami hanya sedikit perabot. Hidup kami bisa dibilang sempurna. Ibuku wanita bahagia yang tidak pernah kehilangan lelucon dan ledakan tawa. Setiap hari ia bekerja di dapur, berkutat dengan aroma bumbu dan dentingan spatula. Ibu membagi waktunya dengan sempurna untukku, untuk ayah, dan untuk pekerjaan sambilannya. Namun bertahun-tahun berlalu, aku menyaksikan dengan cemas tawa di wajah ibuku perlahan-lahan padam, hilang sama sekali. Seandainya saja seorang pengemudi setengah mabuk tidak menabrak ayahku hingga tewas, hidupku tidak akan pernah terasa pahit.

''Bagaimana rasanya?'' Emir menghentakkan kakinya ke tanah, berayun dengan kencang di sampingku. Aku menggigit batangan cokelat yang renyah dan garing. Kehangatan kembali menyebar di tubuhku. ''Aku suka cokelat.'' kataku. ''Seandainya saja aku kaya, aku akan membuat Istana Cokelat dan hidup di dalamnya hingga dunia kiamat.''

Emir tertawa. ''Kupikir aku akan melakukan hal yang sama. Itu keren!''.
Aku berpaling padanya, menyaksikan jemarinya yagn mencengkeram rantai ayunan, wajahnya yang tersenyum pada langit, dan matanya yang terpejam menikmati angin. Tiba-tiba gelombang rasa sakit menerpaku.

Pertamakali aku bertemu dengannya, aku menyadari kesamaan di antara kami berdua: nasib buruk. Ia kehilangan ibunya dan menjalani hari-hari yang suram bersama ayahnya yang tempramen. Aku kehilangan ayahku dan hidup dalam ketidakpastian. Ayah Emir seorang Lurah kaya-raya dengan mobil mengkilap dan rumah mewah yang mengundang pertanyaan para warga. Perutnya terlihat bengkak, raut wajahnya kaku dan seram. Ia pernah membuat warga panik dengan letusan senjata apinya yang membahana, gara-gara hal sepele yang melibatkan bayangan kucing di halaman belakang. Sejak saat itu ia bersumpah, bahwa ia tak bakal segan-segan mengosongkan amunisinya jika melihat bayangan penyusup lagi di pekarangan rumahnya. Satu hal yang membuatnya begitu, ia benar-benar kikir. Ia memimpin desa dengan buruk dan kejam. Berbeda dengan janji-janjinya semasa kampanye dulu, janji-janji dan kelang sarden yang ditinggalkan di pintu-pintu rumah. Emir membenci ayahnya. Membenci segala hal yagn ia dapatkan sejak rumor tentang korupsi dan kebobrokkan ayahnya mencuat. Ia sering berkata padaku bahwa ia benar-benar menyesal dengan darah yang mengalir di tubuhnya. Aku mencoba menghentikannya, tapi sayangnya itu tak banyak berpengaruh.

Orang-orang dewasa sering memanggilnya, membelai wajahnya yang tampan, dan mengamati lekat-lekat matanya yang berbinar, hanya untuk mengatakan satu hal: ''Kau benar-benar mirip ayahmu, Emir.'' Pada awalnya hal itu tidak terlalu mengganggu. Namun sejak kami beranjak remaja, sejak kami bisa menilai berbagai hal dan menentukan apa saja yang kami inginkan, Emir tidak menyukai hal itu.

Suatu hari, demi menentang pernyataan orang-orang dewasa, ia berdiri di depan cermin dan berdandan seperti anak perempuan. Ia mengenakan kerudung, rok dan sepatu anak perempuan yang dipinjamnya dari seorang teman. Ia berjalan ke sekolah, menggegerkan semua orang, dan jujur saja, membuatku malu. ''Apa yang kau lakukan?'' Aku menarik tangannya, menyeretnya ke kamar mandi. ''Aku berharap orang-orang melihatku dan berkata betapa miripnya aku dengan ibuku.'' Ia terdengar malu dan pasrah. ''Aku tidak suka mereka bilang aku mirip ayah.''
Bahuku tiba-tiba merosot. Aku membiarkannya terpaku di depan cermin, lalu masuk ke dalam bilik kloset dan mengunci diri di dalamnya. Aku menyalakan keran keras-keras; Emir tak perlu tahu aku sedang menangis.
''Kapan ibumu pulang?''Emir mengagetkanku.

Ibuku sudah tiga tahun di Arab Saudi. Selama ini aku tinggal bersama nenekku yang sakit-sakitan. Aku terpaksa berhenti sekolah untuk membantunya membeli eras dan lauk-pauk. Ibuku tidak pernah mengirimkan uang. Hubungan kami terputus sejak kami berpelukan distanplat terminal bertahun-tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah orang-orang mengubur ayahku. Aku masih merasakan pelukannya yang hangat ditubuhku. ''Berjanjilah untuk kembali secepatnya.'' Kataku. Ibuku mengangguk. ''Belikan aku sarung dan peci baru, Mama.'' Ia mengeratkan dekapannya. Aku memejamkan mataku yang basah. Rambutnya harum, hitam bergelombang. Aku akan sangat merindukannya.
''Idul Adha nanti. ''Kataku.''Seseorang mengabariku. Dia sama seperti Mama. Tapi dia pulang lebih dulu berminggu-minggu lalu. ''Aku menelan gumpalan cokelat di mulutku. Berhenti berayun. Menendang-nendang kerikil dengan ujung kakiku. ''0 ya, apakah ayahmu tidak berkurban tahun ini?''

Emir tersenyum lelah. Memandangku tak berdaya. ''Kau tahu dia tak akan melakukannya. Kuharap suatu saat Tuhan bakal memaksanya mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya. ''Ia beranjak dari papan ayunan. ''Ayo pergi. Sepertinya aku butuh udara segar.''
Aku tersenyum. Berlari mengejarnya. Rerumputan di kaki kami menari bersama angin.

******

Emir berdiri di depan cermin kamarku. Mengagumi penampilan barunya yang mengejutkan. Sore itu, tiba-tiba saja ia berlari ke rumahku berkata bahwa ia ingin terlihat sebagaimana ia melihatku. Maka aku mengantarnya ke kios pangkas rambut langgananku, meminjaminya kaos butut berlengan pendek, dan membiarkannya tenggelam dalam rasa bangga karena terlihat seperti gelandangan. Dia bilang, ''Apa aku sudah cukup terlihat kumur?'' Aku tersenyum.

Malam itu gema takbir berkumandang dari pengeras suara masjid-masjid. Kami berkeliling membawa obor, bersuka cita di antara suara tabuhan beduk dan letupan bunga-bunga api.Aku menunjukkan padanya, bahwa seperti inilah cara kami merayakan malam takbir. Berkeliling dari sudut ke sudut kampung. Memecah kesunyian yang tercipta sejak matahari meninggalkan singgasananya di langit. Sambil membuntuti iring-iringan pawai, Emir dan aku menendang-nendang bola dengan riang. Saling berbagi operan, sundulan, hingga pakaian kami basah dan bernoda gelap. Suatu ketika aku menyundul bola itu terlalu keras, hingga kami harus melihatnya lenyap di balik tembok semen sebuah bangunan. ''Jangan cemas, serahkan saja padaku.'' Kata Emir riang. Ia memanjat tembok pagar dan menghilang dibalik kegelapan sebelum aku mampu mencegahnya.

Aku terlambat menyadari apa yang baru saja terjadi. Alih-alih menunggu, aku menyusulnya tergesa-gesa. Memanjat tembok itu, menghindari deretan baling runcing yang sengaja disematkan, dan mendarat di atasu semak-semak yang kasar. Aku melihatnya membungkuk di bawah sebuah pohon, cahaya lampu dari belakang rumah gedongnya membuat sosok Emir hanya berupa siluet gelap yang dingin dan misterius. Aku berjalan pelan-pelan, walaupun aku ingin seali berlari. Teriakanku tertahan di kerongkongan saat itu juga. Waktu berjalan sangat lambat. Membekukan segalanya. Merampas ingar-bingar yang semula terdengar. Sebelum aku sempat meraih tangannya, tiba-tiba saja sebuah ledakan terdengar. Begitu keras!!!.

Emir mendadak roboh di sampingku. Ledakan kedua menyusul. Sesuatu yang basah menggelegak dari tubuhku.
Aku mendarat keras di permukaan tanah yang beku dan asing. Sebutir peluru panas menaklukkanku.

''Ismail, ''bisik Emir. ''Aku melihatnya, aku melihat Istana itu... Istana Cokelat kita....burung-burung terbang dengan riang.... ''Aku menggenggam tangannya. Rasanya dingin. Persis seperti tanganku.

*****

Aku menyaksikan segalanya dari balik jendela bus tua yang membawaku. Segala sesuatu tampak berbeda sekarang ini. Tiga tahun sudah aku meninggalkan tempat ini. Demi masa depanku. Demi putraku. Demi Ismail. ''Mama, bawakan aku peci dan sarung baru''. Aku memejamkan mata. Rasanya berabad-abad sudah sejak aku mendengar kata-kata itu. Ismailku tersayang, sudah seperti apa rupamu saat ini, nak? Aku kembali mengeratkan sweter yang membungkus tubuhku. Menutupi luka-luka yang kudapatkan ketika aku terkurung di rumah keluarga asing yang tidak bisa menegaskan sikapnya tanpa menyakitiku. Tapi aku tak mau siapapun tahu apa yang menimpaku. Bahkan putraku. Aku memeluk peci dan sarung baru dalam tas plastik kusam, kondektur membukakan pintu untukku. ''Ismail, aku pulang, nak.''Hatiku berkata. Namun saat aku menurunkan kakiku di tepi jalan, di tanah dimana aku dibuai dan dilahirkan, hatiku tiba-tiba terasa hampa. Aku merasa sangat kesepian.

----------------------
Mulya Abdul Syukur
Mahasiswa UIN Suska Riau
Istana Cokelat ini memenangkan ( pemenang, juara ) lomba Cerpen Xpresi 2010 kategori Mahasiswa. 

mari ngintip cerpen favorit LMCR ROHTO 2010: Sebelum Salju Terakhir



(cerpen yang keren, baca deh)
penulis: Sahid Salahuddin.

KAU BENAR, STAM, London ketika winter benar-benar beku. Berulangkali tubuh tropisku menggigil. Bibirku kaku. Engah napasku kepulkan uap putih. Sepanjang apa yang ku lihat, semuanya menjadi putih.

Cukup jauh sudah ku berjalan susuri trotoar. Dua garis panjang tercetak di lapisan salju, di belakangkujejak dua ban kecil dari tas kabin yang ku seret. Bunyinya berdecit. Jalanan sepi. Dahan-dahan pohon yang gundul digantungi salju-salju lembut hingga melebat. Tiupan angin menjatuhkannya sebagian ke bawah.

Langkahku terhenti di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Ku cocokkan alamatnya dengan alamat yang tertulis dalam buku diaryku. Semua cocok. Bagai berada disebuah persimpangan waktu, aku ragu memilih antara mengetuk pintu rumah itu atau tidak sama sekali. Tanganku gemetaran, tapi bukan karena kedinginan. Kakiku melemas, bukan karena kelelahan. Wajahku menghangat. Jantungku yang menghentak cepat memekatkan kepulan uap putih menutupi pias wajahku. Bimbang. Beberapa menit yang berlalu, ku hanya mematung sambil menatap pintu rumah itu. Pintu rumahmu, Stam…

Seperti apakah wajahmu kini, my shappire stone? Rinduku mencuat.



***


Padang, 8 bulan yang lalu

“STAM,” ujarmu memperkenalkan diri.

"Stamp? As the thing you put on an envelope? " candaku. Sifat jahilku terpancing. Cahaya perak bulan tumpah di wajah pualamnya. Greget banget! Pengen tahu, seperti apa gerik mata nilam birunya nih bule, jika salah tingkah. Aku kian terpikat. Sok akrabnya itu lho…, i-ih, menggemaskan!

"No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?"

Tak berhasil. Rona wajahnya tak berubah. Gerik matanya biasa-biasa saja. Malah, giliranku yang kebingungan. Kelabakan sendiri. Harus pasang muka bagaimana di hadapan bule gondrong ini. Aku keki. Senyumku kecut. Mampus aku, kalau-kalau ia memperhatikan gesture tubuhku yang mati gaya. Salah tingkah.

Benar. Ia memperhatikannya. Suara tawanya terlepas begitu saja, penuh kemenangan, mengamati ke-grogian di wajahku yang mendadak pias. Apakah selucu itu wajahku?

"No, no, no… Just kidding. All my friends call me Stam,” ejanya pelan-pelan, “S-T-A-M. Stam. Stam Amundsend."

Ku akui, kau menang Stam. Aku termakan perangkapku sendiri. Betapa malunya aku…


***


LAMBAT LAUN, hari buruk itu terlewati. Kehidupan yang sempat diporak-porandakan gempa 7,6 SR, mulai menggeliat kembali. Tak kenal lelah, kami para relawan bekerja membantu korban-korban gempa bumi Padang. Stam dan relawan asing yang dibawanya tidaklah terlalu banyak jumlahnya. Aku dan kawan-kawan Palang Merah Remaja Jakarta datang ke Padang ini pun juga tak demikian banyak jumlahnya. Waktu yang singkat membuat kami mesti bergerak cepat dan ringkas. Di Padang, kami dibaurkan bersama BASARNAS. Dan adalah kesopanan tidak tertulis, bila BASARNAS, selaku tuan rumah, memberikan sambutan sederhana bagi mereka relawan asing yang telah datang membantu. Betapa menyenangkannya bekerjasama dengan tim relawan Stam.

Dari perkenalan yang memalukan di malam itu, Aku dan Stam menjadi dekat. Lebih dekat. Tak ku sangka, Stam adalah remaja dengan pribadi yang menyenangkan. Kami bicara mengenai apa saja. Dari membincangkan film Hollywood: Titanic; buto ijo versi Hollywood, yang mereka panggil Hulk; atau si bibir sexy Angelina Jolie dalam Tomb Raider. Tak ku sangka, Stam juga kenal si ganteng Nicholas Saputra dan si cantik Dian Sastrowardoyo. Aneh, kan? Yang lebih mencengangkan dan aneh lagi, pernah ku pergoki Stam tertawa terpingkal-pingkal saat menonton Tom and Jerry. Nggak malu tuh dia sama rambut gondrongnya, nonton film kartun begitu? Tom and Jerry lagi!

Kedekatan itulah yang membuat kami lupa bahwa kami adalah masing-masing individu yang beda negara, bahasa, dan warna kulit. Ada titik di mana aku merasa telah mengenalnya begitu lama. Tidak sebagai rekan kerja. Tidak sebagai teman dekat. Kedekatan kami melebihi kedekatan dua orang bersaudara. Keintiman yang ku tak tahu reka bentuknya seperti apa itu. Kian hari, ku tak ingin dipisahkan lagi darinya.


Stam seperti udara bagiku bernapas. Tanpanya, entah apa jadinya aku. Ia juga matahari bagiku. Duniaku gulita, bila sejenak saja ia tak bersamaku. Stam adalah segala-galanya bagiku. Ia harus jadi milikku. Milikku yang tak kan pernah dimiliki juga oleh perempuan selain aku.

Tapi, bagaimana dengan Stam, adakah ia merasakan hal yang sama juga? Atau, ia hanya menganggapku sebagai……

Ah. Sudahlah! Aku sudah cukup pusing dengan bentuk kedekatan kami ini, harus bagaimana lagi menerjemahkannya.

Ada yang membuatku berbeda di saat ku membuka mataku di pagi hari. Satu alasannya: itu semua demi Stam! Ia sudah menjadi sebab dari segala-galanya aku. Sebab aku tersenyum. Sebab aku berlama-lama di depan cermin. Sebab aku selalu bersikap ramah. Sebab yang membangkitkan gairah bekerjaku. Juga, sebab aku menghabiskan banyak halaman diary hanya untuk menuliskan namanya saja. Terkadang, semua itu menempatkanku bagai perempuan yang berjalan dengan banyak kegilaan cinta. Aku ingin menjadi ‘benar-benar’ perempuan sempurna di hadapan Stam. Bila ada perasaan yang lebih kuat dan indah daripada cinta, maka akan kusebut perasaan ini dengan sebutan itu. Bagiku, cukup seorang Stam saja untuk ku bisa bertahan hidup. Ia nafasku. Ia mataku. Ia lisanku. Bahkan, ia identitasku.

Identitasku? Ya, ia identitasku. Karena sebut namanya, maka namaku akan ikut pula tersebut. Hingga salah seorang teman relawan setempat menanyakan, apakah aku akan mengajak pacarku ke pesta ulang tahunnya pekan depan? Aku membisu.

“Pacar?” wajahku merona. Entah kenapa, pikiranku langsung tertuju kepada Stam.

Sungguh membingungkan menghadapi pertanyaan-pertanyaan semisal itu di saat aku tak mengerti bagaimana menggambarkan hubungan di antara kami ini. Gawatnya lagi, pertanyaan itu sering datangnya. Sejak saat itu, tak ada satu malam pun ku lewati, kecuali ku sebut nama Stam sebelum ku terlelap dalam tidurku.

“Mau disebut apa lagi, May, kalau itu bukan cinta? Elo di mana, Stam disitu. Makan berdua, nonton berdua. Ngintiiil aja terus kayak perangko! Jangan konyol, May, Stam cinta sama elo,” nilai seorang teman, relawan Palang Merah Jakarta juga, atas kedekatan kami.

Sampai ketika pertanyaan itu ditanyakan saat Stam ada bersamaku. Jawaban yang diucapkan Stam, sungguh sangat tidak ku duga.

"Oh no! You all got misunderstood. We're just friends."

Hatiku getas. Dalam satu kalimat saja, Stam mengartikan keintiman kami: Just Friends. HANYA. Tidak lebih!

Tentunya, keintiman yang teramat sesuai dengan budayanya di negara sana. Aku tak bisa menyalahkannya. Ia memang tak pernah menciumku. Ia tak pernah memelukku mesra. Bahkan, memegang jemari tanganku pun tak pernah dilakukannya. Untuk ukuran bule, Stam sangat santun. Naifnya aku; semula aku mengira cowok bule akan mudahnya berusaha mendapatkan interaksi fisik dari pasangan ceweknya. Harusnya, aku sadari, Stam sekalipun tak pernah mengucapkan I love you, Aku cinta padamu, atau hanya sekadar memanggilku babe, honey, lof. Harusnya aku berpikir seperti kepala barat-nya berpikir. Cewek bule saja yang sudah dicium, dipeluknya, belum tentu itu berarti cinta. Wajar rasanya, bila Stam menganggapku hanya teman. Seperti yang diucapkannya, “We’re just friends.

Stam tak tahu, setelah itu aku pulang dengan air mata yang berderai.


***


SEKARANG KAMI ‘hanya’ teman. Setengah mati aku tanamkan kata itu dalam hatiku. Setengah mati aku redam guncang dadaku. Setengah mati aku upayakan di pagi hari untuk tidak membersitkan namanya begitu kelopak mataku membuka.

“Sekarang kami ‘hanya’ teman! ‘Hanya’ teman! Hanya, hanya, hanya!”

Ku bulatkan keyakinan itu sebulat-bulatnya. Ku tak ingin goyah oleh sinar mata sapphire-nya. Oleh senyumnya. Oleh kata-katanya. Tidak akan!

Mulai sekarang, akan ku buka diri kepada cinta yang lebih bisa ku harapkan. Bukan cinta dari Stam. Bukan yang ‘hanya’ saja. Karena itu, ketika Bill, kawan yang dibawa Stam, menculikku dari pestafarewell party suatu malam, aku oke saja. Dengan begitu, orang-orang takkan menyebut aku dan Stam sebagai couple lagi. Ku tak ingin, di saat nama Stam disebut otomatis namaku tersebut juga.

Bagai pamer, aku naik ke jok belakang motornya. Begitu menyenangkan, disaksikan orang banyak, aku digandeng Bill merapat ke punggungnya. Pikirku, lain kali aku akan melakukan adegan ini di depan Stam langsung. Biar dia lihat, bahwa aku setuju dengan ‘Just friends’-nya itu.

Hampir semalaman kami berkeliling kota Padang. Lebih menyenangkannya lagi, selera kami sama. Bill sama sekali tidak canggung makan di emperan simpang Adabiah. Dua mangkok besar mie ayam dilahapnya habis tanpa malu-malu. Bill tak kalah menyenangkannya dari Stam. Aksen Skotlandianya saat berbicara, aku suka. Bila ada kekurangan di saat itu, hanyalah rasa ‘klik’ yang tak sama bila seandainya berdua dengan Stam.

Sudah jauh malam saat aku tiba di rumah. Bill mengantarku sampai ke depan gang saja. Betapa kagetnya aku melihat Stam telah berdiri menanti di teras rumahku. Raut wajahnya tak menyenangkan.

"Where is he? You didn’t wear a helmet. You didn’t even answer my phone. I can’t help thinking, why on earth you could go out without wearing a helmet and taking your cellphone. And at this hours?! I’ve been waiting for hours. I’m worried about you.”

Aku dengar nada kesal dari intonasi suaranya. I’m worried about you? Itukah dinyatakan Stam, yang pernah bilang, just friends?

"I am totally fine, Stam. Yes, I didn’t take my cell with me. But, I just had a ride around the corner. Not too far…," dustaku.

Aku tidak mengerti sikap Stam malam itu. Mata birunya memuntahkan jelaga. Aku rasakan itu.

“Wait, Stam!” tahanku, ketika Stam hendak beranjak dari teras rumahku, “I can explain.”

Ia hentikan langkahnya di ujung teras, tanpa berbalik badan menatapku. Tangannya terkepal kuat-kuat.

“Stam, at least I am here now, right by your side. I didn’t mean to make you worried. Tell me, why are you suddenly so panicky like this?” ujarku, hati-hati. Padahal, ingin sekali ku mengatakan, kenapa kau, Sayangku?

Stam menoleh memandangku. Jelaga di matanya melembut. “Sorry, Maya. To tell you the truth, it’s not because of the helmet and the phone thing that worried me. The fact is, you are more than what I can think of. Honestly, I’m jealous. Blindly jealous. I’ve never been this worried before. I need to say that you are the reason why I open my eyes in the morning, just to see you, to make sure you are happy, not upset or missing anything–"

Aku terbungkam. Jawaban itu indah bagiku.

“–Tomorrow, I am leaving for London with the first flight. I’ve finished my job here. My girlfriend is waiting for me there–”

Sepintas cemburuku terbersit. Aku harus menghargai kejujurannya. Apalagi, kejujuran itu berasal dari diri seorang Stam, lelaki yang teramat aku puja.

“–I don’t want to hurt her. Yet, I can’t hide my feeling for you and this jealousy is killing me. Now the answer is all up to you. I’ve tried to be honest.”

“I understand, Stam,” anggukku paham akan kondisinya. Entah senang, entah sedih.

“Thank you.”

Tak ada yang bersuara setelah itu. Baik, aku maupun Stam, hanya memandangi rembulan. Tak ada lagi perkataan yang lebih baik, selain hanya membiarkan hening yang berkata. Ku rebahkan kepalaku ke bahunya. Aku tak akan bertanya. Aku tak menuntut apa-apa lagi. Semuanya sudah jelas kini. Aku hanya ingin menikmati detik-detik terakhir bersamanya, sebelum ia pulang ke London. Stam tahu, betapa aku mencintainya. Sama tahunya aku atas rasa dalam hatinya. Aku terima semua kenyataan itu…

Ku sadari penuh, akan tiba masanya Stam kembali ke negerinya berasal. Kembali dalam dekapan kekasihnya. Sementara aku di sini, tidak akan pernah membuka ruang untuk menyesal dan rasa bersalah. Semua karena keinginanku. Kenyataannya, aku memang teramat mencintainya…


***


BURU-BURU, aku menuju ke kursiku. Beberapa menit lagi, pesawat akan take off meninggalkan London. Sabuk pengaman ku kencangkan. Walau aku tak memiliki keberanian mengetuk pintu rumah Stam­khawatir pacarnya ada bersamanyamemijakkan kakiku ke tanah di mana Stam dilahirkan, menghirup udara yang sama dihirup oleh Stam, mengetahui rumah di mana ia tinggal, semua itu sudah cukup bagiku. Tinggal aku berharap, Stam menemukan buku diaryku, yang sengaja ku tinggalkan di kotak pos yang ditegakkannya di depan rumah. Aku hanya ingin sedikit meninggalkan jejak baginya. Paling tidak, dengan tidak adanya amplop yang membungkus diary itu, Stam jadi tahu bahwa aku pernah datang ke sini. Setelah itu, tak ada yang ku inginkan lagi. Semua yang ku inginkan untuk ku lakukan di negeri ini, sudah tunai ku kerjakan.

Sebal juga. Mestinya, lima menit yang lalu pesawat ini take off. Entah apa yang terjadi. Di ujung pintu, di depan sana, dua orang petugas menginterogasi seseorang. Pikirku, mungkin orang yang masih tertahan di pintu pesawat itu, masih tersangkut masalah administrasi. Selang tak begitu lama, seseorang yang ternyata seorang laki-laki, tergopoh-gopoh berlari di lorong kabin. Ia berlari ke arahku. Di hadapanku, ia mengulurkan tangannya.

“Stam,” sahut lelaki itu.

Tak tergambarkan bahagiaku saat itu juga. Seperti perkenalan kami saat sambutan malam itu, aku jabat tangannya, dan kembali mengulangi semua momen itu seperti semula.

"Stamp? As the thing you put on an envelope?" candaku, riang. Tak banyak berubah. Mata birunya menyiratkan cinta.

"No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?"

Salju akan menipis. Ku titipkan harapanku: salju datanglah lagi, besok atau nanti. Stamkau benar-benar telah kembali, Sayang. Bahkan, sebelum butir salju terakhir menumpahkan cintanya dari langit.●


02 06 10

Keterangan:


shappire stone: Batu nilam/batu safir


Stamp? As the thing you put on an envelope?: Perangko? Sesuatu yang kamu lekatkan di amplop?


No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?: Bukan, bukan, bukan. Tapi kedai, seperti kedai kopi, kedai permen?


No, no, no… Just kidding. All my friends call me Stam: Bukan, bukan, bukan. Aku hanya bercanda. Teman-temanku memanggilku Stam


Oh no! You all got misunderstood. We're just friends: Oh tidak! Kalian salah duga. Kami hanya berteman


farewell party: Pesta perpisahan


Where is he? You didn’t wear a helmet. You didn’t even answer my phone. I can’t help thinking, why on earth you could go out without wearing a helmet and taking your cellphone. And at this hours?! I’ve been waiting for hours. I’m worried about you:Kemana lelaki (yang bersamamu) tadi? Kamu tak pakai helm. Tak menjawab panggilan telfonku. Tak habis pikir aku, bisa-bisanya kamu pergi tanpa helm dan HPmu. Ini sudah jam berapa? Aku sudah menunggumu lama. Aku mencemaskanmu


I am totally fine, Stam. Yes, I didn’t take my cell with me. But, I just had a ride around the corner. Not too far…: Aku baik-baik saja, Stam. Benar, aku lupa membawa HPku. Aku hanya berkeliling-keliling. Tak jauh, kok…


Wait, Stam! I can explain…: Tunggu, Stam! Aku bisa menjelaskannya…


Stam, at least I am here now, right by your side. I didn’t mean to make you worried. Tell me, why are you suddenly so panicky like this?: Stam, sekarang aku sudah di sini. Di sampingmu. Aku tak bermaksud membuatmu cemas. Katakan, mengapa kamu bisa sepanik ini?


Sorry, Maya. To tell you the truth, it’s not because of the helmet and the phone thing that worried me. The fact is, you are more than what I can think of. Honestly, I’m jealous. Blindly jealous. I’ve never been this worried before. I need to say that you are the reason why I open my eyes in the morning, just to see you, to make sure you are happy, not upset or missing anything. Tomorrow, I am leaving for London with the first flight. I’ve finished my job here. My girlfriend is waiting for me there. I don’t want to hurt her. Yet, I can’t hide my feeling for you and this jealousy is killing me. Now the answer is all up to you. I’ve tried to be honest: Maafkan aku, Maya. Sebenarnya, ini bukan tentang helm dan HP yang membuatku cemas. Kenyataannya, kau melebihi apa yang aku pikirkan selama ini. Jujur, aku cemburu. Cemburu buta. Tak pernah sebelumnya aku secemas ini. Kaulah alasan mengapa aku membuka mataku di pagi hari. Hanya untuk dapat bertemu denganmu. Memastikan bahwa kamu senang. Tidak merasa sedih dan kehilangan. Besok, pagi-pagi sekali, aku pulang ke London. Di sini, pekerjaanku sudah selesai. Pacarku di sana telah menantiku pulang. Aku tak ingin menyakiti hatinya.Pada akhirnya, aku benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan perasaanku ini kepadamu. Juga kecemburuanku. Semua terserah padamu, kini. Aku sudah berusaha jujur mengakuinya.


I understand, Stam: Aku mengerti Stam

chat dengan Hudan Hidayat: apa itu indah?


Kyai Haji Mustafa dan Burung Beo: Kematian

Ada seorang kyai pemilik sebuah pesantren kecil yang punya seekor burung Beo. Burung beo ini pandai sekali bercakap-cakap. Dia memang dipelihara sejak masih kecil oleh Kyai tersebut. Sebut saja namanya Kyai haji Mustafa. Kyai Haji Mustafa ini sangat sayang pada burung beonya. Burung beo ini ditaruhnya di depan kamarnya yang memang menghadap teras sekaligus menghadap bangsal kelas pesantrennya. Jadi, hampir tiap pagi hingga sore burung beo tersebut mendengar suara anak-anak pesantren tadarrus Al Quran dan ditambah dengan tiap malam mendengar ceramah agama islam yang memang dilakukan setiap sepuluh menit menjelang waktu tidur. Karenanya, tidak heran kalau burung beo itu selalu melafalkan kalimat-kalimat thayibah setiap kali dia mengeluarkan suara-suara yang meniru suara manusia. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, rasanya sudah sering keluar dari mulut burung tersebut. Tentu saja dengan suara pelo khas burungnya. Bahkan, jika burung itu sedang tidur lalu ada yang mengagetkannya, maka burung tersebut langsung spontan mengeluarkan kalima "Astaghfirullah.".

Hal ini membuat Kyai Mustafa kian sayang pada burungnya tersebut. Murid-murid di pesantren itu, karena melihat gurunya begitu sayang, juga ikut menyayangi si burung dan merawat serta menjaganya dengan sebaik mungkin.

 Suatu hari, di siang hari yang panas terik, ketika Kyai Mustafa sedang istirahat di kamarnya tiba-tiba dia mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinganya. "KWAAAKKKK.." Begitu bunyinya. Itu adalah suara khas seekor burung Beo. Spontan Kyai Mustafa melompat dari tidur siangnya dan berlari menghampiri si Burung Beo.
Ada apakah gerangan?

Ternyata, seekor kucing besar telah menerkam burung beonya. Kucing itu segera berlari melihat kehadiran Haji Mustafa. Darah berceceran di mana-mana dan leher burung beo yang malang itu nyaris terputus. Lidah si Beo menjulur ke luar. Burung kesayangan telah pergi menghadap Allah SWT. Haji Mustafa terpaku melihatnya, hilang kata-katanya, bahkan kesedihan pun tak langsung terasakan karena rasa terkejutnya itu. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Hanya itu kalimat yang sempat meluncur dari mulutnya.

 Hari-hari selanjutnya, Haji Mustafa jadi terlihat murung. Dia tampak semakin sering menyendiri dan mengasingkan diri dari keramaian sekitarnya. Murid-muridnya ikut sedih dan berduka. Melihat gurunya sedih, semua murid di pesantren itu juga ikut sedih dan tak bergairah. Mereka berusaha mencari tahu bagaimana caranya agar guru mereka kembali bersemangat seperti dahulu. Karena biar bagaimanapun, yang mati tidak akan kembali. Maka mereka semua bersepakat untuk membelikan seekor burung Beo yang baru yang juga sudah pandai berkata-kata. Hadiah itu diberikan pada sang guru dengan harapan bisa menghilangkan kesedihan sang guru. Demi melihat hadiah dari murid-muridnya, haji Mustafa termenung. Ditatapnya semua murid-muridnya satu persatu.

 "Tahukan kalian, mengapa aku bersedih dan sering menyendiri setelah kepergiaan burung beoku?"

 Murid-muridnya menggeleng. Dalam hati mereka berkata, apakah hadiah yang mereka berikan tidak memenuhi standar yagn dikehendaki gurunya? "Aku bersedih bukan karena kehilangan si Beo. Bukan anak-anak. Aku bersedih karena aku berada di dekat si Beo ketika nyawanya meregang. Aku terkejut, karena si Beo yang lidahnya sudah sangat fasih mengucapkan kalimat Thoyibah, yang mulutnya tak henti memuji Allah bahkan yang terkejutnya pun tak pernah lupa pada nama Allah, ternyata di akhir hidupnya, yang keluar dari mulutnya bukan nama Allah. Burung Beo itu lupa dengan semua kalimat Thoyyibah yang sudah dihapalnya justru di akhir hidupnya. Aku sedih, sangat sedih karena aku takut, jika malaikat datang mencabut nyawaku, aku takut akupun seperti si Beo. Lupa pada Allah." Naudzubillahi min dzaliik.

 Hmm... itu cerita Haji Mustafa dan burung beonya seputar masalah kematian. Kematian Kematian adalah sesuatu yang pasti. Bisa jadi, kematian adalah satu-satunya hal yang pasti di alami setiap manusia.

"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh."(Quran 4: 78)

 Kita mungkin kelak menjadi orang tua, Kelak mungkin menjadi orang kaya tapi Mungkin pula menjadi orang miskin. Kita mungkin saja mempunyai anak dan keluarga, mungkin juga tidak. Kita mungkin bisa mengalami kesuksesan tapi mungkin saja kebalikannya. Sedangkan kematian ? Setiap kita dapat dipastikan akan mengalaminya. Sesungguhnya, kematian adalah sesuatu yang amat dekat, lebih dekat dari urat leher kita bahkan, namun sering terlupakan.

 Rasulullah pernah membuat garis-garis horizontal di pasir dan mengatakan : "Ini adalah angan-angan manusia," Kemudian ia manggambar garis-garis vertikal sambil berkata, 'Ini adalah hambatan atau kendala dari garis-garis horizontal tersebut' Kemudian dibuatlah garis yang mengelilingi garis horizontal dan vertikal itu berbentuk kotak di luar kedua garis yang dibuatnya di awal tadi. 'Ini adalah kotak ajal manusia. Jika ia selamat dari yang ini (garis vertikal) tentu tak akan selamat dari yang ini (garis kotak)' Yaitu kematiannya.

 "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."(Quran 3: 185)

 Kita sering berpikir soal cita-cita dan harapan hidup. Adakalanya setinggi bintang di langit. Kita ingin bisa seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria 'orang sukses' di dunia ini. Dalam mencapai cita-cita tersebut, ada saja hambatan yang akan menghadang. Kita mungkin berhasil melewati berbagai kendala lain, namun tidak mungkin mengatasi kematian. Karena itu, sudahkah kita berpikir soal cita-cita mati : Mati seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria "orang yang sukses" hingga saat kematian datang menghampiri mereka ? Orang yang sukses menghadapi sang maut adalah mereka yang menutupi hidupnya dengan indah (husnul khotimah).

 Cita-cita bisa mati dalam keadaan husnul khotimah, itulah cita-cita orang yang ingin sukses hingga titik akhir hidupnya.Siapa mereka ? Yaitu orang yang menjalani hidup dengan istiqomah (konsisten dengan amal soleh), atau orang yang selalu menjaga diri dari perbuatan dosa juga orang yang terbiasa melakukan evaluasi terhadap setiap amalnya. Mereka adalah orang yang senantiasa menjaga kakinya dari menyambangi tempat maksiat. Mereka juga tidak menggunakan anggota tubuh untuk berbuat dosa. Mereka selalu ingat akan Allah, berbuat karena Allah, untuk Allah. "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan."(Quran.21: 34-35). 

Hamid Al-Qushairy berkata,"Setiap orang di antara kita yakin akan datangnya kematian, sementara kita tidak melihat seseorang bersiap-siap menghadapi kematian itu. Setiap orang di antara kita yakin adanya neraka, sementara kita tidak melihat orang yang takut terhadap neraka, sementara di antara kita yakin adanya surga sementara kita tidak melihat ada yang berbuat agar bisa masuk surga. Untuk apa kalian bersenang-senang ? Apa yang sedang kalian tunggu ? Tiada lain adalah kematian. Kalian akan mendatangi Allah dengan membawa kebaikan ataukah keburukan. Maka hampirilah Allah dengan cara yang baik." Soal kapan dan bagaimana mereka mati tidak menjadi persoalan, karena ini rahasia mutlak Allah. Bisa saja kematian merenggut kala mereka tergeletak di tempat tidur, ada kalanya di saat kepala tersungkur sujud, ada kalanya pula di medan peperangan bersimbah darah. Atau bisa jadi kematian datang ketika kita sedang tertawa, atau bisa juga ketika kita sedang menangis. Kematian bisa datang ketika kita sedang mengalami kesadaran tapi bisa juga ketika kita sedang tidak sadarkan diri.

 Salman al-Farisi ra, meninggal setelah sakit keras. Menjelang kematiannya, Saad bin Abi Waqqash menengoknya. Saad melihat Salman sedang menangis. Saad bertanya keheranan, "Ya Aba Abdillah, mengapa engkau menangis, padahal Rasulullah saw meninggal dalam keadaan senang kepadamu, begitu pula para sahabatnya.?" Salman menjawab, " Aku menangis bukan karena takut mati atau karena cinta dunia, tetapi aku teringat akan pesan Rasulullah saw, 'Hendaklah kalian mencari dunia seperti halnya seorang musafir membawa bekal perjalanannya' sedangkan engkau melihat apa yang ada di sekelilingku ini ' Sa'ad berkata, 'Aku melihat di sekeliling Salman yang ada dalam ruangan itu, tetapi aku tidak melihat kecuali barang-barang yang tidak bernilai lebih dari dua puluh dirham.' Sesudah menjelang ajal, Salman berkata pada istrinya, "Bawalah kemari tempat misk (minyak kesturi) itu. Ambilkan seember air . Salman lalu memasukkan misk itu ke dalam air, kemudian ia memerintahkan kepada istrinya, 'Percikkan air itu ke sekitarku karena sebentar lagi akan datang makhluk Allah yang tidak mau disuguhi makanan, tetapi senang pada wangi-wangian, kemudian kaututup pintu dan tinggalkan aku seorang diri.' Istrinya berkata, "Aku melakukan perintahnya dan aku menunggu sebentar di luar kamar. Tak lama, aku mendengar suara lembut dari dalam, lalu aku cepat-cepat masuk dan ternyata ia sudah meninggal dunia." Innalillahi Wainna ilaihi rajiun.

Sesungguhnya segala sesuatunya itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita memohon kepada Allah atas karunia dan Kasih-Nya, agar dijadikan golongan orang-orang yang bersegera mengejar ketertinggalan (dalam beramal), termasuk dalam golongan orang yang berhati—hati dengan datangnya kematian, mempersiapkan bekal diri sebelum mati, dan mengambil manfaat dari segala petunjuk serta nasehat. "Ya Rabbi, sungguh kami telah mendengar seruan yang menyeru kepada iman : â€Å“Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,' maka kamipun beriman. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan kesalahan kami, serta matikanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat kebajikan. Ya Rabbi, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul-Mu, dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat nanti. Sungguh Engkau sama sekali tidak akan pernah menyalahi janji. (Quran 3: 193-294)

 "Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami serta memberi rahmat kapada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi."Quran 7 : 23)

 "Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, yang tiada Tuhan pantas disembah melainkan Engkau yang telah menciptakan diriku. Aku adalah hamba-Mu, yang dengan segala kemampuanku perintah-Mu aku laksanakan. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan yang aku perbuat terhadapMu. Engkau telah mencurahkan nikmatMu kepadaku, sementara aku senantiasa berbuat dosa. Maka ampunilah dosa-dosaku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau." 

"Allahumma, ampunilah kesalahan-kesalahan, kesengajaan, kebodohan dan keterlaluanku, serta dosa yang terdapat pada diriku." "Allahumma, perbaikilah urusan agamaku yang menjadi pegangan bagi setiap urusanku. Perbaikilah duniaku yang disitulah urusan kehidupanku. Perbaikilah akhiratku yang kesanalah aku akan kembali. Jadikanlah hidupku ini sebagai tambahan kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat peristirahatan dari setiap kejahatan." Aamiin, Allahumma Aamiin.

======Sekian===============

 Penulis: Ade Anita

Best video Ever -TrUe LeAdER