Perempuan oh Perempuan

Perempuan oh Perempuan

by Ade Anita on Tuesday, 14 June 2011 at 09:38 (posting on my facebook)
(tulisan iseng untuk melepas kangen)

Akhirnya, alhamdulillah berat badanku turun 4 (baca: empat) kilogram dalam kurun waktu 3 (baca: tiga) pekan. Senangnya.

Loh? Bingung kan kok tumben-tumbennya menulis curhat gini. Hehehe. Yup, benar. Aku memang termasuk perempuan yang bisa dikatakan (sebenarnya kata yang tepat adalah 'seharusnya dimasukkan') dalam kategori kelebihan berat badan. Semula, aku tenang-tenang saja karena setiap kali bertemu teman-teman yang tidak tahu masa laluku (yang bertubuh langsing dan semampai.. huaaaaa..huhuhu; hiks.. tinggal kenangan), tidak ada yang menanyakan apakah aku gemuk atau kurus. Asyik-asyik saja.

"Hai.. apa kabar?".

Tapi coba jika bertemu dengan teman lama, pasti komentar pertama yang keluar dari mulut mereka adalah:

" Hai, Ade, apa kabar? Waduh, kok gemuk banget sekarang?"... Begh. Terasa ada satu tinju yang menimpa dadaku.

Tapi, ada lagi satu pertanyaan yang menurutku paling sadis yang dilontarkan oleh seseorang, yaitu jika dia dengan tanpa dosa bertanya:

"Hai, Ade. Eh... kamu... kamu sekarang lagi hamil ya? Isi lagi ya?" Huaaaaaaaaaaaa..... hiks..hiks.. hiks.. ini kan penghinaan super duper besar-besaran banget. Karena orang hamil itu, yang besar dan melebar itu bukan cuma perutnya saja, tapi juga betisnya, telapak kakinya, pinggulnya, dadanya, lengannya tapi tidak pernah isi dompetnya.

Paling sebel jika bertemu seseorang dan dia langsung nembak, "Hamil lagi ya?". Percaya deh, rasanya seperti sedang berada di atas ring dan terasa ada puluhan tinju yang dilontarkan pada wajah dan dada kita. Yang kita harapkan kemudian hanya satu, wasit berkata, time out.. time out.

(jadi ingat sodara-sodara, jika bertemu dengan seorang perempuan (baca: ade anita) jangan pernah bertanya seperti ini kecuali jika kamu masih mengenakan helm di kepalamu.. karena mungkin aku akan menjotos hidungmu. hehehehehe)

Oke... back on track.

Kesadaranku bahwa aku harus berubah menjadi lebih sehat (baca: langsing) adalah ketika kakiku sakit ketika dipakai untuk berjalan. Setelah diperiksa ke dokter, ternyata ada ketidak seimbangan antara bentuk kaki dan bentuk badan (baca: tidak kompak antara size kaki dan size body). Kakiku tidak kuat menyanggah berat badan dan berat beban yang disandang di pundak (oh ya, aku punya anak kecil balita; jadi kemana-mana selalu menenteng tas besar yang komplete banget isinya. Mulai dari persiapan jika si kecil mendadak sakit seperti hansplast, obat merah, obat tetes mata, obat penurun panas, termometer; lalu perlengkapan jika ada kejadian yang tidak diinginkan oleh si kecil seperti baju dan celana ganti, jaket, pampers, bedak, minyak kayu putih; juga perlengkapan jika jalanan macet dan terjebak di tengah jalan seperti makanan kecil, minuman, mainan, buku tulis plus alat tulis, gunting kecil, novel, al quran kecil, serta perlengkapan yang tidak boleh ditinggal karena memang penting yaitu payung, dompet, hp, perlengkapan shalat. Semua barang-barang ini aku bawa semua, dipacking kecil-kecil dan diselipkan rapi di dalam tas. Jadi, dari luar sepertinya tas sederhana, tapi isinya mirip kantong Doraemon. Kenapa dibawa semua dalam tas? Karena aku tidak punya kendaraan pribadi; jadi kemana-mana semua barang-barang ini harus diikut sertakan). Semula, dokter juga heran ketika aku kembali dengan keluhan yang sama, "Kakiku sakit dok."... Lalu dia menimbang tas yang aku sandang, ternyata beratnya lebih berat dari beras 5 kg. hahahahaha.

Ya sudah. Akhirnya, solusi pertama diambil. Beban tasku dibagi. Sebagian dibawa oleh anakku yang sudah besar. Lumayan ringan meski tetap berat.

Lalu keluhan kaki sakit belum juga berkurang. Hingga akhirnya, "Mungkin kamu harus diet deh."
"Hah? Diet?" (mendengar permintaan dokterku ini, yang terbayang adalah suasana perpisahan dengan hobby wisata kulinerku).

Lalu, ini susunan diet yang disarankan oleh dokter keluargaku (baca: susunan penyiksaan yang harus dijalankan):
Pagi:
pilihan pertama: susu kedelai boleh (tapi tanpa gula, madu). Lalu havermut (juga tanpa madu atau garam atau gula. Beri kacang-kacangan saja).
pilihan kedua: nasi 5 sendok makan plus lauk satu atau dua potong.

Siang: kembali: nasi 5 sendok makan plus lauk maksimal dua potong plus sayur mayur dibanyakin.

Malam: hanya boleh 1 butir apel saja.

Cemilan: teh herbal atau buah-buahan saja (ini yang berat).

Akhirnya, aku praktekin.
Hasilnya?
Hari pertama, tengah malam perutku keroncongan.
Hari kedua, aku mengerti sepenuhnya apa itu rasanya kelaparan. Astaga, aku bisa mendengar suara gemerucuk di perutku sendiri, luar biasa kan?
Hari ketiga, hmm.. mohon maaf untuk semua roommate karena perut ibu banyak gasnya karena ruang kosongnya tidak ada lagi penghuninya.
Hari keempat, sudah mulai terbiasa (baik tubuh ini maupun seluruh roommates).
Hari kelima, ini weekend. Saatnya untuk memanjakan diri dengan makan di luar dan it's amazing... selera makanku tiba-tiba tidak lagi tinggi.
Hari keenam, merasa bersalah ketika harus menghabiskan dua piring nasi padang (uh, ini gara-gara ayam gulainya yang nikmatnya hingga ke dalam tulangnya). Untungnya, si apel yang dimakan di waktu malam bekerja dengan baik menguras isi perut di pagi hari.
Lalu, tiga pekan kemudian, tiba-tiba celana panjang dan rokku kedodoran semua. Aduh.. deg degan... ada apa ini? Lalu.. perlahan menghampiri satu benda yang amat sangat aku hindari selama ini (sempat sebal dengan penemu benda ini sebenarnya).... : timbangan.
Dan... Waaaahhh.. beratku turun 4 kg!!

HOREEE
HOREEE

Senangnya rasa hati. Akhirnya, aku langsung pergi ke tukang kebab dan merayakannya dengan membeli kebab (ukuran small). Semua roommates ditraktir. Semua gembira.. semua senang... hingga ada satu komentar dari anak sulungku:

"Ini kita merayakan apa bu?"
"Berat badan ibu turun 4 kg?"
"Lah? Kebabnya?"

Ups... (cengar-cengir salah tingkah).

"Tenang nak, nanti kalau berat ibu dah kembali ke 60, kita akan merayakannya di Pizzahuts."
"Bagus bu, teruskan, aku dukung, meski ini salah banget sebenarnya." (kembali cengar cengir).

Tapi sebenarnya selain susunan diet di atas, ada juga daftar olahraga yang harus dijalankan (jalan dengan langkah aerobik dan kegiatan naik turun tangga penyeberangan di atas jalan tol dekat rumah adalah salah satunya).

Semalam, ngobrol dengan beberapa orang teman. Salah satu dari mereka prihatin, kenapa harus perempuan yang repot dengan urusan beginian, padahal perempuan itu sudah mendapat banyak tugas seperti melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Aku sih ringan-ringan saja menanggapinya. "Karena yang ingin tampil cantik itu memang perempuan."

Aku punya teman, seorang pria. Jika saja dia hadir saat ini, mungkin dia akan dimasukkan ke dalam golongan pria metroseksual. Kenapa? Karena dia amat sangat memperhatikan kemolekan penampilannya. Pakai lipglos, pelembab wajah, minyak wangi, facial saban weekend, creambath, luluran adalah hal-hal yang rutin dia kerjakan. Hasilnya? Uh... merepotkan sangat. Ketika aku ajak dia pergi ke suatu tempat yang bernama "turun lapangan" komentarnya satu, "aduh, panas banget, nanti kulitku kebakar deh. Aku nggak bawa suncream." Terbayang jika dia jadi pasanganku, bisa-bisa anggaran untuk memanjakan diri mungkin lebih banyak ketimbang untuk kebutuhan sehari-hari.

Nah, kalau sudah begini? Pilih mana, lelaki yang juga ikut merepotkan kemolekan fisik mereka atau cukup perempuan saja yang direpotkan dengan urusan kecantikan ini? Aku sih pilih cukup perempuan saja (hehehe, ini masalahnya bukan persamaan hak, tapi mempertahankan hak. Sebal juga kalau hak kita untuk memanjakan diri harus disaingi seperti ini. Coba kalau ternyata pasangan kita yang berhasil dalam menjaga kemolekan tubuhnya ketimbang kita? Nah loh? Bisa berabe kan?).

Jadi.. ya sudahlah...yang penting ikhlas melaksanakannya karena hati yang ikhlaslah yang akan membawa kebahagiaan.

Btw, Sudah berapa lama anda membaca tulisanku ini? Lima menit? Coba tambahkan dengan keseluruhan aktifitas di depan facebook sebelumnya? Sudah lebih dari lima belas menitkah? Jika sudah, itu artinya tulisan ini harus berakhir dan sebaiknya kalian yang sedang membaca bangun dari kursi dan ambil gerakan berdiri lalu berjalan memutari ruangan sejenak saja. Ini penting untuk melemaskan otot yang kaku dan mencegah terjadinya pengapuran pada tulang atau osteoporosis.

Terima kasih!

---------------
Penulis: Ade Anita (hehehe, maaf ya cuma tulisan iseng untuk melemaskan jemari lagi setelah vakum menulis selama beberapa bulan karenba berbagai kesibukan).
Jakarta, 14 Juni 2011

Batas Kesabaran

Catatan : notes ini terinspirasi dari status temanku Saptari semalam. Aku copas status ini ke statusku di menit berikutnya.

Saptari Kurniawati
Lita Dimpudus wrote:At 3 years ''Mommy I love you."At 10 years ''Mom whatever."At 16 years "My mom is so annoying."At 18 years "I'm leaving this house."At 25 years ''Mom, you were right''..........At 30 years ''I want to go to Mom's house."At 50 years ''I don't want to lose my mom."At 70 years "I would give up everything to have my mom here with me."WE only have one MOM. Post this on your wall if you appreciate ...

14 hours ago via BlackBerry · Like ·

-------------------------------------------------

"Ini deja vu. Pasti deja vu."

Mengomentari Bacaan Yang Aku Baca

Ah. Ini cuma masalah selera.

Sudah beberapa hari ini, eh, bukan. Tepatnya, sudah beberapa bulan ini, aku vakum menulis. Bukan berarti berhenti sama sekali dari menulis. Tidak. Masih terus menulis, karena menulis itu sudah menjadi candu untukku. Jadi, jika tidak menulis sama sekali dalam satu pekan itu, rasanya hidup jadi terasa hampa dan terasa ada yang hilang dari diriku. Mungkin karena menulis itu adalah hobbi yang amat sangat aku manjakan. Jadi, jika dia datang memanggil aku segera akan datang memenuhinya.

Terkait dengan kegiatan penyaluran hobbi menulis tersebut, ada Soul Mate dari hobbi menulis yang juga harus dilakukan. Artinya, jika keberadaan pasangan menulis ini tidak dilakukan, maka seorang penulis tidak akan pernah bisa menulis karena mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Soul Mate dari menulis adalah kegiatan membaca dan mengamati. (Hm... memang rada poligami nih si menulis). Tiga serangkai ini harus senantiasa berjalan beriringan. Jika salah satu tidak dikerjakan, maka yang terjadi adalah ketimpangan yang akan membawa bencana bagi penulis itu sendiri.

Saya selalu punya cara unik untuk mengamati segala sesuatu di sekitar saya. Rajin ngobrol kiri kanan, suka mancing-mancing lebih dalam sebuah rahasia orang lain, terlibat lebih dalam dengan masalah dalam negeri orang lain, dan juga menjalin relasi komunikasi dengan banyak orang dan banyak komunitas. Segala sesuatunya sering saya tulis di dalam notes handphone saya. Itu sebabnya, meski gaptek total, saya tetap memerlukan diri untuk memakai handphone yang sedikit canggih hanya karena mereka memiliki fasilitas untuk menulis cepat, menyimpan data mentah tersebut dan mentransfernya dengan mudah ke PC di rumah untuk diolah kemudian. Jika suatu hari handphone tertinggal atau habis batterenya, maka saya sudah menyiapkan rencana B untuk menulis moment menarik yang ingin saya abadikan. Di dalam dompet saya, selalu tersedia sebuah pulpen mini (amat mini karena bisa disimpan di dalam dompet koin) dan saya juga tidak pernah membuang kertas struk pembayaran. Hehehehe.... yang terakhir ini lebih karena proyek idealis.

Coba deh perhatikan struk pembayaran yang anda terima dari kasir. Di bagian belakangnya selalu tersedia lembar kosong kan? Nah.. padahal, untuk menghasilkan kertas yang sepertinya tidak berguna ini, sudah berapa batang pohon di hutan kita yang ditebang? Itu sebabnya kertas struk ini selalu saya simpan karena sering saya gunakan kembali untuk menulis macam-macam. Menulis daftar belanjaan, menulis nomor telepon atau alamat rumah jika bertemu dengan seorang teman dan ingin tuker-tukeran alamat, dll. Nah... Kertas ini juga yang saya gunakan untuk menulis sebuah moment yang berpotensi untuk menjadi tulisan karena di pandangan saya sarat dengan sebuah hikmah.

Sedangkan untuk kegiatan membaca, saya memerlukan diri untuk menyediakan dana spesial, khusus untuk membeli buku. Dahulu sebenarnya saya berlangganan beberapa majalah wanita (karena suami juga berlangganan beberapa majalah yang dia sukai dan itu bukan majalah wanita). Tapi, dalam perkembangannya, saya mengamati sesuatu telah terjadi pada penyajian tulisan di majalah wanita tersebut. Apa yang terjadi? Yaitu, ternyata banyak penulis artikel di majalah wanita tersebut yang terkena penyakit malas menghasilkan tulisan yang berkualitas. Kebanyakan dari mereka banyak yang menulis Copy Paste sesuatu yang tersebar di internet, lalu membumbuinya dengan kalimat-kalimat pengantar atau penghubung. Menghiasinya dengan tata letak dan gambar dan WOALA... jadilah sebuah artikel. Fuih. Menyebalkan. Mending saya browsing internet saja sekalian, unlimited ini.

Akhirnya, saya berhenti berlangganan majalah wanita. Melirik tabloid, huff, hanya wartawan gosip yang rajin memperbaharui tulisan mereka dengan gosip baru. Apa bedanya dengan infotainment di televisi yang jam tayangnya dari pagi hingga tengah malam berganti-ganti di beberapa channel itu?

Pada akhirnya, buku adalah pilihan yang paling menjanjikan untuk bisa membuka cakrawala dan merefresh pengetahuan.

Dalam perkembangannya saat ini, ternyata saya bertemu dengan cara membeli buku baru dengan mudah. Yaitu dengan cara barter buku dengan sesama penulis. Jadi, saya punya koleksi buku ini ini ini, dan mereka punya koleksi buku itu itu itu. Saya memilih buku yang saya inginkan, dan dia pun demikian. Lalu kami barter. Insya Allah sama-sama happy karena kami hanya mengeluarkan ongkos kirim saja.

Akhirnya koleksi buku saya bertambah tanpa terasa dan diseling dengan berbagai kegiatan dan ketahanan fisik, saya mulai melahap membacanya satu persatu. Dan inilah komentar saya (yup, sekali lagi, ini hanya masalah selera):

Yang pertama. Jujur. Saya ternyata tidak begitu menyukai buku yang memasukkan banyak sekali syair lagu di dalam tulisannya. Menurut saya ini sebuah manipulasi tingkat yang paling rendah sekali. Bayangkan jika dalam satu bab yang terdiri dari dari 6 halaman, dua lembarnya terdiri dari syair lagu yang ditulis layaknya sebuah syair yang harus dinyanyikan oleh kelompok paduan suara. Huff... kenapa nggak sekalian saja menuliskan partiturnya jadi bisa dimainkan oleh pembacanya? Dengan begitu kan tulisan tersebut akan menjadi 10 halaman? Mentang-mentang sekarang dituntut harus menulis novel atau buku minimal 150 halaman, masa lagunya 50 halaman sendiri? (Itu sebabnya setiap kali ingin membeli buku, saya usahakan untuk mengintip dahulu di dalamnya, ada banyak sisipan lagu nggak ya? Karena, saya memang ingin mengeluarkan uang untuk membeli buku yang memuaskan mata, bukan ingin membeli buku lagu).

Yang kedua, saya juga tidak menyukai ternyata, buku yang banyak memasukkan kutipan orang lain kelewat banyak. Aduh!! Tolong deh, ini kan sedang membaca novel bukan sedang membaca makalah?

Misalnya begini (ini hanya rekaan saya saja ya, untuk ngasi gambaran betapa nggak enaknya baca novel yang mirip makalah):

Aku termangu menatap buku yang terpampang di hadapanku. Kipas angin yang mengantarkan segelontor angin langsung menyibak halaman yang terpentang hingga mataku bisa leluasa membacanya. Buku itu seperti godam yang memukul-mukul kepalaku. Mengingatkanku pada peristiwa tempo hari yang seperti menari-nari di depan mata. Perih itu kembali terasa. Di buku itu tertulis:
Butir-butir pancasila sila pertama adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

hehehehehhe.... ini contohnya. Tuh, kesel kan berasa jadi baca makalah.

Dari dua hal di atas, ada satu kesalahan fatal dari banyak penulis adalah, mereka sering lupa untuk menulis sumber dari mana mereka mengutip. Seperti lagu misalnya, kok saya tidak melihat catatan kaki siapa penyanyi aslinya, judul lagunya dan tahun berapa lagu itu dikeluarkan dan lewat label apa ya? Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik, senantiasa tertib menuliskan kutipan puisi atau lagu yang dia kutip loh. Hebat kan beliau. Sedangkan untuk sebuah makalah, wajib menuliskan narasumber kutipan (tapi ini niatnya nulis novel kan, bukan nulis makalah?)

Yang ketiga (dan karena saya menulisnya sudah terlalu banyak jadi menjadi yang terakhir), saya tidak suka dengan kumpulan puisi yang puisinya garing. Aduh...Arrrggghhh... mau marah rasanya membacanya. Jujur, saya tidak bisa menulis puisi. Mungkin karena saya punya kecenderungan untuk menulis banyak (makanya kalau disuruh nulis flash Fiction nyerah), saya selalu memandang kagum pada para penyair atau penulis yang mampu menulis puisi yang indah-indah.

Membuat puisi itu susah. Kita harus merangkum sebuah rasa yang berjuta cukup dengan beberapa penggal kata saja. Lalu menaruh ruh di dalam beberapa penggal kata itu. Ini yang sulit. Itu sebabnya, meski hanya beberapa kalimat pendek, tapi kesan yang ditimbulkan dari sebuah puisi sering terasa membekas amat dalam bagi pembacanya. Dan saya termasuk seorang penikmat puisi. Setiap kali membuka facebook, ada beberapa notes dari beberapa sahabat yang selalu saya buka. Bahkan, jika sedang merasakan kejumudan untuk menulis karena tuntutan deadline yang mendesak sementara mood belum juga tertangkap, maka saya selalu mampir ke notes beberapa sahabat tersebut. Selalu ada padang rumpun hijau yang saya temui ketika mampir ke notes mereka, ada air terjun jernih, ada kicau burung dan langit biru.. semuanya menyegarkan pikiran dan menenangkan hati hingga inspirasi bisa kembali muncul dan kejumudan bisa ditanggulangi. Itu sebabnya dalam list teman, saya membuat list khusus dengan nama "teman penyair". Syaiful Alim, Cepi Sabre, Arther Panther Olie, Faradina Izdhihary, Fajar Alayubi, dan sebagainya adalah deretan teman yang masuk list Teman Penyair saya.

Lalu, apa yang terjadi ketika menerima sebuah buku kumpulan puisi dan ketika membacanya saya banyak membaca puisi yang garing? Aduh... dari sebuah tempat yang damai, tentram dan penuh inspirasi, saya seperti terlempar ke tempat yang tandus dan gersang. Bahkan saya pernah membanting sebuah buku yang sudah terlanjur saya beli, dengan harga yang lumayan, karena memuat puisi yang amat buruk. Kesal.

Itu sebabnya, secara jujur saya selalu merekomendasikan beberapa buku untuk dibaca kepada teman-teman dan sekaligus kadang merekomendasikan juga beberapa buku yang sebaiknya tidak usah dibeli atau tidak usah dibaca kepada teman-teman. Sekali lagi.. ini masalah selera.

Yup, ini cuma masalah selera. Selera dari seorang Ade Anita yang sok tahu dan sering sok idealis (masih inget kan kasus kertas struk? hehe... jika kalian kenal saya lebih dalam, kalian bisa tahu seberapa sok idealisnya saya, mungkin sebelas duabelas dengan freak). Maafkan jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Sungguh.

----------------
Penulis: Ade Anita.

[Tips] Mengirimkan Naskah Novel ke Penerbit

[Tips] Mengirimkan Naskah Novel ke Penerbit
By iwok Abqary


Ternyata, masih banyak yang sering kebingungan mengenai cara mengirimkan naskah ke penerbit. Sampai saat ini saya masih sering menerima pertanyaan tentang itu. Agar tidak perlu menjelaskan berulang, ada baiknya saya menuliskannya saja, sehingga kalau ada pertanyaan serupa saya bisa mengarahkannya ke postingan ini.


Apa sih yang harus disiapkan pertama kali sebelum mengirimkan naskah?

Yang harus diperhatikan pertama kali tentu saja naskah tersebut. Apakah naskah yang kita tulis sudah sesuai persyaratkan yang diminta oleh penerbit tersebut? Panjang halamannya sudah mencukupi batas minimal? Aturan penulisannya sudah disesuaikan? Biasanya, setiap penerbit memiliki aturan tersendiri. Satu sama lain bisa memiliki persyaratan dan aturan yang sama, bisa pula berbeda.

Adapun standar umum penulisan naskah fiksi (apalagi fiksi remaja) yang banyak berlaku di penerbit adalah sebagai berikut :
Panjang halaman : 100 - 150 halaman
Ukuran kertas : A4

Jenis huruf (font) : Times New Roman
Ukuran huruf : 12 pt
Spasi : 1,5
Margin : Menyesuaikan dengan default (tidak perlu diganti)

Meskipun demikian, ada pula penerbit yang memberlakukan aturan sedikit berbeda. Misalnya di penerbit gagasmedia. Berdasarkan informasi yang ada di websitenya, panjang halaman minimal yang disyaratkan adalah 75 halaman A4, tetapi dengan spasi 1 (satu). Sebenarnya, kalau dikonversi ke spasi 1,5, jumlah halaman akhirnya tidak akan jauh berbeda. Hanya saja, kalau kita akan mengirimkan naskah ke sana, tentu kita harus mengikuti aturan main mereka, bukan?

Setelah itu, apa yang harus kita perhatikan?

Kerapian naskah! Sudahkah kita membaca dan mengecek ulang naskah yang kita tulis? Masih adakah typo (kesalahan ketik) di sana-sini? Apakah tanda baca yang kita gunakan sudah tepat? Apakah masih ada kata-kata yang ditulis berupa singkatan karena keasyikan menulis dan tidak menyadarinya (seperti kata yg, sdg, kmrn, dll)? Bahasa alay? Ckckck. Ayo editlah segera. Jadilah editor buat naskah kita sendiri agar naskahnya terlihat lebih rapi untuk dibaca.

Saya sering mendengar dan membaca komentar para editor seperti ini ; "kalau penulisnya saja tidak peduli terhadap naskahnya, kenapa kami juga harus peduli?" Itu adalah tanda-tanda tidak bagus untuk review naskah kita. Jangan salahkan mereka kalau mereka menolak menerbitkan naskah kita karena sudah enggan membacanya dari awal.

Naskah sudah rapi, apa lagi yang harus dilengkapi?

Ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk melengkapi naskah.
Jangan lupa untuk membubuhi nomor halaman! Hal yang sepele tapi masih saja ada yang melupakan atau mengabaikannya. Bagaimana editor bisa tahu naskah kita ada berapa lembar kalau tidak ada nomor halamannya? Dihitung satu-satu? Plis deh! Sinopsis - Pertama kali membuka naskah, biasanya yang akan dibaca oleh editor adalah sinopsisnya terlebih dahulu. Apakah ceritanya unik dan tidak biasa? Buatlah sinopsis singkat (maksimal 1 halaman) yang menguraikan alur cerita dari naskah kita. Buat secara menarik agar editor tertarik membaca naskah kita selengkapnya. Oya, sinopsis ini LENGKAP menggambarkan ceritanya dari awal sampai ending ya. Jangan buat sinopsis menggantung seperti di back cover novel-novel yang sudah jadi, seperti; "Bagaimana akhir kisah ini? Temukan sendiri di dalam novelnya." Biodata Penulis - Tuliskan data kita selengkap-lengkapnya. Nama asli, Nama pena (kalau ada), Alamat rumah, E-mail, No. Telp/handphone, Nomor rekening Bank, dan prestasi penulisan kalau ada (bisa berupa pengalaman menang lomba nulis, buku yang sudah diterbitkan, karya yang dimuat di media, dan lain-lain). Data yang lengkap akan memudahkan penerbit untuk menghubungi apabila ada informasi yang berhubungan dengan naskah kita. Profil Penulis - Tidak ada salahnya kita sudah membuat profil penulis berupa deskripsi untuk diletakan di bagian dalam belakang buku. Tulis dalam bentuk deskripsi singkat (contohnya pasti sudah pada tahu, kan? Bisa dibaca di setiap buku kok). Apabila naskah ini lolos diterbitkan, kita tidak perlu repot menuliskannya lagi, bukan? Surat Pernyataan Keaslian Naskah - Kalau anda masih kebingungan seperti apa sih surat pernyataan ini? Tidak perlu bingung. Surat pernyataan ini tidak perlu memiliki form khusus, dan kita bisa membuatnya sendiri. Asal di dalam surat pernyataan tersebut tercantum bahwa naskah tersebut adalah asli karya kita, dan tidak melanggar hak cipta, itu sudah cukup kok. Jangan lupa tempelkan meterai Rp.6.000,- pada kolom tanda tangan. Surat Pengantar - Ibaratnya kita bertamu ke rumah orang, sopan santun tetap dibutuhkan. Apalagi kalau kita baru pertama kali menawarkan naskah ke penerbit yang bersangkutan. Surat pengantar ibarat mengenalkan diri kita sebagai penulis kepada penerbit. Lagipula, kalau kita bisa menulis naskah beratus halaman, masa menulis surat pengantar setengah halaman saja tidak bisa? Daftar Isi - Ini adalah bagian yang tidak boleh terlewatkan. Susun daftar isi mulai dari surat pengantar, sinopsis, biodata penulis, surat pernyataan keaslian naskah, Judul-judul bab, sampai ke profil penulis. Ah, jangan lupa, buatlah sampul naskah agar naskah kita lebih terlihat menarik. Biasanya halaman pertama dari naskah selalu saya buatkan sampul. Saya tuliskan judul naskah saya besar-besar. Di bawah judul saya tampilkan gambar/ilustrasi yang kira-kira sesuai dengan isi cerita. Gambar itu biasanya saya browsing dari internet. Di bawah gambar kemudian saya tuliskan nama, alamat, email, dan nomor telepon. Print out, lalu jilid! Agar lebih kuat, halaman sampul dicetak/copy di atas kertas tebal. Kalau perlu, tambahkan lapisan plastik di luarnya. Tampilan yang menarik tentu akan lebih enak dipandang. Siapa tahu menarik editor juga agar penasaran membaca isinya. Jilid? Kenapa harus dijilid? Bukannya naskah bisa dikirim via email?

Tidak semua penerbit menerima kiriman naskah via email, teman. Masih banyak penerbit yang hanya menerima kiriman naskah hardcopy. Setidaknya, itulah yang selalu saya lakukan ketika bekerjasama dengan penerbit Mizan, Gramedia Pustaka Utama, dan Gagasmedia (yang sudah bekerjasama selama ini). Sampai saat ini --yang saya tahu-- mereka hanya terima kirim naskah hardcopy. Setelah dinyatakan lolos terbit, baru kita diminta mengirimkan softcopy-nya.

Kalau memang penerbit yang kita tuju menerima kiriman via email, tentu saja kita bisa segera mengirimkan naskah tersebut tanpa perlu print terlebih dahulu. Jangan lupa, surat pernyataan keaslian naskah harus di scan terlebih dahulu agar dapat ikut dilampirkan.


Dimana kita bisa mendapatkan alamat para penerbit?

Di back cover setiap buku biasanya selalu tercantum alamat penerbit. Kita juga bisa cari tahu di website penerbit tersebut (kalau memiliki website). Beberapa alamat website penerbit sudah saya tulis di sidebar sebelah kanan blog ini. Kalau tidak ada, cobalah pergunakan search engine seperti google dan yahoo, untuk mencari alamat penerbitnya.

Agar aman naskah kita kirim pakai apa?

Kalau lokasi penerbit dekat dengan rumah kita, tentu lebih baik mengantarkan langsung naskahnya, agar bisa berkenalan langsung dengan kru penerbitan. Siapa tahu malah bisa diskusi dengan para editor di sana (kalau tidak sibuk). Alternatif lain, tentu saja mengirimkannya melalui pos atau kurir. Pergunakan pos tercatat/kilat khusus kalau menggunakan Pos Indonesia. Simpan resi/bukti pengiriman dari Pos/Kurir. Itu bisa jadi catatan juga kapan kita mengirimkan naskah tersebut, atau untuk melacak apakah naskah kita sudah sampai di alamat yang dituju atau belum.

Kalau naskah kita ditolak dan ingin dikembalikan, jangan lupa selipkan perangko secukupnya (lihat tarif di PT. Pos).

Naskah sudah terkirim. Sekarang kita tinggal menunggu sampai ada kabar mengenai status naskah kita; diterbitkan, atau tidak.Semabari menunggu kabar itu datang, marilah kita menulis lagi.

Semoga postingan ini membantu. :)

http://iwok.blogspot.com/2011/06/tips-mengirimkan-naskah-fiksi-ke.html

Behind the Story: Setangkai Anggrek Bulan (dari kumcer keduaku selamat malam kabutku sayang)

[Lifesyle] Behind The Story nomor (#1): Setangkai Anggrek Bulan



Di buku kedua saya yang terbit tahun 2005, “Selamat Malam Kabutku Sayang” (penerbit: Gema Insani Press), ada sebuah cerita yang amat sangat saya suka. JUdulnya Setangkai Anggrek Bulan. Mungkin waktu itu gaya menulis saya tidak begitu bagus (sampai sekarang sih sebenarnya..hehehe, maaf deh…) tapi saya amat suka ceritanya. Hampir seluruh isi cerita pendek dalam buku-buku saya diambil dari kisah nyata. Baik yang saya alami sendiri maupun yang saya dengar sendiri dari penuturan pelakunya sendiri. Kebetulan, saya termasuk orang yang suka usil mau tahu masalah orang lain.

Cerita ini diangkat dari cerita ibu saya almarhumah dahulu. Suatu hari dia menelepon saya meminta agar saya datang ke rumah beliau.

cerita Garing: Logika matematika

Jujur, saya tidak tahu apakah logika matematika itu sama dengan cara berpikir orang-orang “biasa” yang berpikiran “biasa-biasa saja” juga? Atau mungkin pertanyaannya harus diubah. Apakah berpikir secara logika matematika itu sudah pasti menghasilkan sesuatu yang amat masuk akal?

Ih, bingung kan. Kenapa harus maksa ada kata logika matematikanya. Hehehe. Tenang, baca lagi notes ini sampai selesai.

cerita garing: main tebak-tebakan

Putri bungsuku belum berusia 6 tahun memang meski dia sudah duduk di kelas 1 SD. Tapi, dia sudah merasakan duduk di bangku TK cukup lama, 2 tahun, bosan juga jika harus TK lagi. Itu persangkaan awalku ketika akhirnya memutuskan memasukkan dia ke Sekolah Dasar. Untuk sekolah dasar negeri, jelas saja tidak diterima karena sekarang SD menghendaki anak didik harus sudah berusia 6 tahun di tanggal juli. Hanya sekolah dasar negeri Standard Nasional yang sedikit longgar, jadi kurang dari 6 tahun boleh masuk SD. Batasnya di bulan desember akhir tahun dia masuk itu, usianya sudah 5 tahun 8 bulan. Sayangnya kelonggaran inipun putriku tidak lolos karena dia lahir di bulan Januari. Akhirnya masuklah dia ke SD swasta.

Melatih Kesabaran

Entah apa yang ada di kepalaku siang tadi. Semula, hanya ingin melihat-lihat saja pameran Kids Expo di Balai Kartini Jakarta tadi siang. Ini hari pertama pameran tersebut. Niat dari rumah, mau mencari sepatu untuk bungsuku. Biasanya harga pameran sedikit lebih murah ketimbang harga toko. Tapi, ternyata tidak ada satupun stand sepatu di pameran anak-anak tersebut. Yang ada hanyalah Istri Gubernur DKI Jakarta (ah, apa menariknya?). Akhirnya, setelah berputar-putar, aku bertemu dengan sebuah stand Kimmi n Friends. Ini sebuah boneka dari kardus yagn tinggal di rumah yang juga terbuat dari kardus dan memiliki aneka perabotan yang amat sangat "cewek" yang juga terbuat dari kardus.