Smile (mengenang Michael Jackson yg suka banget dengan lagu ini)

Smile though your heart is aching
Smile even though it's breaking
When there are clouds in the sky, you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through for you

Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smile



That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smie

http://www.youtube.com/watch?v=m6L4k-6RL2E&feature=related

http://www.youtube.com/watch?v=Gza1rpO0bFs&feature=related

http://www.youtube.com/watch?v=nCpD72b-dfs&feature=related

Menjemput Kesempatan Terakhir

Akhirnya terkumpul juga rezeki yang cukup lumayan diawal bulan yang penuh berkah ini, ramadhan 1430 H. "Temani aku ke lembaga yang resmi menyalurkan shadaqah, infaq, waqaf dan zakat mas." lembut kuajak suamiku.

" Boleh. Mau shadaqah kemana?"

"Mana saja deh. Utamanya sih aku mau waqaf atas nama ayah almarhum. Aku masih memegang sedikit uang ayah ditabunganku, mau aku waqafin saja semuanya atas nama ayah almarhum. Saat ini, dibulan yang suci ini, ayah pasti membutuhkan banyak suplai tambahan pahala dialam kuburnya." Lalu kami meluncur ketempat penyaluran. "

Allah, sampaikan salamku untuk ayah. Please tell him I Love Him and I Miss Him so much."

Waktu kecil ayah pernah senyum-senyum liat aku muncul dari dalam kamar dengan rambut basah karena baru selesai mandi sore. Kemeja ayah bertengger ditubuhku dengan sempurna. Agak longgar karena dahulu tubuhku memang ceking. "Kok, sejak kapan baju ayah jadi punya kamu?" Aku tersenyum. "Sejak ada yang salah masukinnya ke lemari ade. Kan ade dah bilang berkali- kali, apa saja yang masuk ketempat ade dua kali duapuluh empat jam nda diambil-ambil jadi milik ade." Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya sudah terserah kamulah. Toh semua yang ayah miliki bakalan jadi milik anak ayah juga. Tapi kalau punya orang lain jangan ya nak. Itu sama saja dengan mencuri namanya."

"Tapi kan emang gitu aturannya?" Aku mengangkat alis mataku sambil tersenyum menggoda ayah.

"Hush! Semuanya kan harus sesuai dengan haknya. Jika memang sudah haknya, dengan berbagai macam cara akan kembali pada yang berhak. Kamu mau kamu yang mengembalikannya sendiri atau harus nunggu Allah yang maksa kamu untuk mengembalikannya?"

"Maksud ayah?" aku beranjak untuk duduk disamping ayah.

"Ya, kalau memang sesuatu itu bukan punya kamu, maka ada seribu satu macam cara Allah untuk mengambilnya dari kamu. Lewat kehilangan, pencurian, kecelakaan. Macam-macam. Pokoknya dipaksa untuk beralih kepemilikan dengan cara yang nggak enak. Daripada gitu mending dikembalikan kan?"

"Ayah nyindir ade ya?" kutabrakkan pundakku kepundak ayah. Ayah hanya nyengir.

"Maaf bu, apakah ada lagi waqaf yang ingin disampaikan?" petugas pencatat waqaf bertanya padaku dengan santun.

"Pingin sih. Tapi masih ragu." aku menunduk mempertimbangkan sesuatu. Ada sedikit rezeki didompetku. Aku ingin mewaqafkannya atas nama ibuku almarhumah. Ibu sudah meninggal enam tahun yang lalu. Tentu saja tidak ada lagi harta peninggalan beliau yang kupegang saat ini. Meski demikian, aku tahu seperti halnya ayah, saat ini almarhumah ibukupun memerlukan kiriman suplai tambahan untuk bekalnya dialam kubur. Kulirik suamiku ragu. "Mas, aku boleh nggak sih mewaqafkan hartaku untuk ibu?"

"Nggak bisa De." kompak, petugas pencatat waqaf didepanku pun memberi penjelasan yang sama. Intinya, waqaf hanya diberikan berasal dari harta langsung yang bersangkutan ketika dia masih hidup atau sisa harta pribadi ketika dia sudah meninggal dunia. Tidak boleh dari harta orang lain. Pendek kata, ketika sudah meninggal dunia maka kesempatan untuk melakukan kewajiban yang diperintahkan maupun yang dianjurkan berhenti sudah. Mendengar penjelasan ini, tiba-tiba hatiku menjadi sedih. Kulemparkan pandanganku ke arah jalanan yang basah oleh sisa hujan yang baru saja berhenti. Menyembunyikan airmata yang terasa ingin meloncat keluar.

Pemandangan didepanku terlihat penuh kesejukan. Genangan air hujan terdapat dimana-mana. Membuat daun kering yang rontok oleh musim panas menjadi rapuh karena terendam. Membuat sampah gelas plastik mengambang tiada daya dipinggir jalanan. Ketika sebuah ban mobil melintas menggilas gelas tersebut, gelas itupun remuk. Menyatu tanpa daya dengan debu, kerikil dan mungkin juga makhluk hidup kecil yang hidup didalam kubanngan diatas tanah yang tergenang.

Duhai alam kubur. Ada apakah saja yang terdapat disana? Pasti ada cacing tanah dan berbagai macam jenis cacing lainnya. Tentu ada koloni semut, rayap, kecoa, tikus tanah dan mungkin kalajengking serta kelabang. Masih merasa sakitkah jasad kita ketika berbagai koloni itu datang menggerogoti? Masih akan terasa sesakkah jika gundukan tanah yang tertahan oleh lima bilah papan akhirnya runtuh dan menimbun seluruh jasad? Tak ada yang bisa menyelamatkan diri dari hukuman dan ganjaran perbuatan zalim atau khilaf ketika masih hidup karena semua tangan, kaki dan segalanya memberi saksi tanpa mau diajak kompromi.

"Hei. Kenapa menangis?" suamiku menyapa lembut ketika melihat air mataku mengalir.

"Ibu mas. Aku pingin kirim sesuatu buat ibu dialam kuburnya tapi dengan apa?"

"Dengan doa De. Doa anak yang sholeh kan salah satu dari tiga hal yang masih bisa dimiliki oleh mereka yang meninggal."

"Iya. Tapi aku merasa belum cukup mas. Alam kubur amat dasyat. Dan lebih dasyat lagi alam akherat kelak. Aku ingin memberi lebih dari sekedar doa." suamiku menarik napas panjang. "Segala sesuatu itu sudah ada perhitungan yang seadil-adilnya dari Allah. Itu sebabnya kita ketika hidup diberi kesempatan untuk mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Mereka yang lalai memanfaatkan kesempatan itu tentu akan menerima apa yang dia peroleh sesuai porsinya. Kecuali tiga yang dia bawa dan akan terus mengucur kepadanya meski dia sudah mati. Yaitu doa anak yang sholeh, harta yang dikeluarkan dijalan Allah serta ilmu yang bermanfaat."

Ya Allah. Kasihanilah kedua orangtuaku dialam kuburnya. Berikanlah pada mereka tempat terbaik disisiMu. Kasihanilah mereka dengan melindungi mereka dari siksa kubur dan siksa neraka. Cucurkanlah pada kedua orangtuaku nikmatMu yang tiada pernaah habis. Sayangilah kedua orangtuaku melebihi sayang mereka padaku sejak aku kecil hingga dewasa.

-----------------------lanjut-------------------

Pagi ini tiba-tiba seorang tukang sol sepatu muncul didepan pintu rumahku. Loh kok?

"Mas, kamu mesen tukang sol untuk mampir ya?" suamiku menatapku bingung. Mencoba untuk mengingat-ingat hingga akhirnya menggeleng yakin. "Nggak." lalu meneruskan membaca koran paginya. Aku segera keluar rumah dan menghampiri tukang sol didepan rumahku.

"Neng." Bapak tua tukang sol sepatu itu mengangguk santun. Aku tersenyum kearahnya.

"Ada apa mang."

"Punten neng cuma mau tanya. Bener ya ibu eneng sudah meninggal?"

"Iya pak. Sudah lama, enam tahun yang lalu."

"Oh." Bapak tua tukang sol sepatu didepanku langsung terlihat sedih dan pucat. Perlengkapan sol sepatu yang semula dipanggulnya langsung diletakkannya diatas jalanan. Topi jerami lusuh yang semula dia kenakan langsung diambilnya dan diletakkan didepan dadanya. Sebentar kemudian tangan tuanya gemetar menghapus airmatanya.

"Maaf neng. Bapak baru tahu. Sudah hampir tiga tahun bapak dikampung nggak bisa kemana-mana. Bapak ketabrak motor jadi nggak bisa jalan. Pas lewat rumah ibu, tetangga ibu ngasi tahu bapak kalau ibu sudah meninggal. Sedih banget bapak. Ibu eneng tuh baik sekali. Kalau lihat bapak kecapekan ngider, ibu eneng suka ngasi bapak segelas kopi dan sepiring nasi. Padahal nggak ada sepatu yang mau disol. Bahkan pernah pas bapak cerita anak bapak sakit, ibu eneng langsung ngasi uang untuk berobat. Sedih bapak terlambat tahu kalau beliau sudah meninggal." kembali tangan tua bapak tukang sol itu menghapus airmata yang mengalir di wajah lusuhnya yang muram. Kesedihan yang dia tampilkan itu bukan sebuah sandiwara. Kesedihan yang dipersembahkan dihadapanku saat itu adalah cermin sebuah kejujuran yang polos dan sederhana. Hatiku ikut bergetar.

"Mungkin ini sudah terlambat ya neng. Tapi, yang sabar ya neng. Insya Allah ibu eneng dapat tempat yang terbaik karena orangnya baik sekali, terutama pada orang kecil seperti bapak. Pamit neng. Bapak akan doakan ibu eneng dapat ganjaran pahala untuk semua yang sudah dia kasi ke bapak karena bapak nggak bisa membalasnya didunia ini."

Seperti mimpi, seperginya tukang sol itu hatiku masih terasa tidak menginjak bumi. Ada sebuah rasa yang menggumpal didalam dadaku. Entah apa.

"Kenapa lagi De?"Suamiku bertanya ketika melihatku berjalan seperti melayang. Pasti dia sudah melihat air mata yang baru saja aku hapus dari pipiku. Pelan kuceritakan kejadian yang baru saja aku alami pada suamiku. Suamiku tersenyum. "Kemarin, kamu sibuk mikirin apa bekal yang bisa dikirimkan ke orang tua kamu di alam kuburnya. Padahal ternyata, sebenarnya kita sendirilah yang belum mempersiapkan apa-apa untuk bekal kita dikehidupan setelah mati ya De."

-------------dibuat oleh: Ade Anita, ramadhan 1430 H/agustus 2009

para wanita yang luar biasa

Wanita. Makhluk dengan jenis kelamin yang satu ini rasanya memang selalu terus menerus membesut perhatian yang tiada pernah surut. Bukan.

Ini bukan tulisan yang mengupas tentang keindahan fisik seorang wanita. Terkadang, ulasan tentang apa itu cantik dan seksi serta siapa yang pantas menyandang predikat sebagai wanita tercantik hanya karena dianggap memenuhi point-point kriteria cantik, membuat seorang wanita menjadi terpenjara. Dalam hal ini, wanita pada akhirnya hanya dipandang sebagai sebuah objek barang pajangan. Bisa dibolak balik untuk menilai berapa taksiran harga tertingginya lalu jika tidak memenuhi syarat, dibuang. Aih.

Dia yang imut (the beginning)

Pernah tidak terenungkan tentang jejak rekam segala sesuatunya? Saya sering merenungkannya. Menjalin hubungan kejadian satu dengan kejadian lain lalu menilik jejak rekam masing-masing kejadian. Hasilnya, ternyata baik kesuksesan maupun kegagalan seseorang sering terjadi karena sebuah hal kecil yang dianggap sepele.

Adalah seorang bernama Abdullah yang penasaran ketika Rasulullah Muhammad memberinya kabar akan datang seseorang yang pasti akan masuk surga. Dia yang telah dipastikan masuk surga ternyata bukan seorang yang dermawan. Kesehariannya hidup pas-pasan, baju hanya selembar bahkan untuk shalat pun terpaksa harus bergantian pakaian yang layak dengan istrinya. Dia juga bukan orang yang selalu beribadah, karena tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mengharuskannya untuk kerja keras sepanjang waktu. Tempat spesial disurga disediakan untuknya karena sebuah perkara kecil. Dia selalu memaafkan orang lain yang berbuat salah padanya setiap malam sebelum matanya terpejam.

Dibelahan tempat bumi yang lain, Rasulullah Muhammad pernah menunjuk sebuah kuburan yang ditelinga Sang Rasul terdengar sedang merintih kesakitan dan berteriak minta ampun. Penyebabnya karena si mati dalam kubur, dalam penantian menuju hari kiamat nanti, telah dipastikan akan ditempatkan dalam neraka. Penyebabnya satu dan amat sepele, dia tidak pernah membersihkan najis dan kotoran dibadannya dengan sungguh-sungguh.

Begitu dasyat pengaruh hal-hal sepele dalam sumbangsihnya terhadap hal-hal besar dan berpengaruh. Bisa jadi, jika saja hal sepele seperti membuang sampah pada tempatnya dikerjakan oleh seseorang, maka banjir di Jakarta saban tahun tidak akan terjadi karena bisa jadi ada jutaan orang yang yang tidak melakukan perilaku jorok ini. Selembar sampah tidak pernah dibiarkan menjadi penguasa tunggal diselokan, parit dan sungai.

Bisa jadi, jika dengan tertip petugas Trantip melarang seorang pedagang yang ingin mendirikan lapak diatas trotoar dilakukan, tentu tidak terjadi keributan dalam penertiban para pedagang kaki lima yang telah menjadi raja dan menguasai sebagian besar jalan raya dengan pasar tumpahnya.

Ya. Semuanya karena menyepelekan hal kecil yang penampilan awalnya sama sekali tidak pernah diperhitungkan. Seperti ide yang saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya, Dia Yang Imut.
-------
Ibuku senang berkebun. Halaman rumahku memang luas. Ada pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, nangka, serta kecapi. Belum lagi tanaman pendek-pendeknya yang senantiasa terawat sempurna seperti aneka perdu, aneka pakis dan tanaman bunga-bungaan. Tanah yang terhampar pun tidak dibiarkan oleh ibuku begitu saja. Selalu ada rumput hijau yang dibentangkan diatasnya. Hijau royo-royo mungkin amat tepat untuk halaman rumah tempatku dibesarkan itu.

Suatu hari, seekor ulat mampir ke atas tempat tidurku. Warnanya abu-abu, gemuk dan mungil sekali. Dia tampak tidak berdaya sama sekali. Terasing di atas hamparan sprei putihku yang terbentang kencang. Aku benci ulat. Benci sekali. Spontan aku langsung berteriak memanggil ayah dengan suara histeris. Seketika ayahku datang.

“Kenapa?”

“Ada ulat di atas sprei ade. Itu.” Aku tunjuk ulat yang sedang kebingungan tersebut. Ayah hanya tersenyum dan menghampiri ulat tersebut lalu mengangkatnya hati-hati untuk ditaruh di atas kertas.
“Mau diapakan yah?”
“Dibuang saja keluar. Dia kebingungan begini.”

“Bunuh saja. Ini, ade sudah menyiapkan alat pembunuhnya.” Aku menyodorkan gagang sapu. Sekali tekan pasti ulat itu hancur terlumatkan. Isi perutnya akan terburai, bercampur dengan isi kepalanya. Lalu getah seperti nanah yang merupakan darahnya akan muncrat ke kanan dan ke kiri. Mungkin akan ada geliat menahan sakit sesaat sebelum nyawa ulat itu melayang. Liukan tubuhnya akan meronta mencoba untuk bertahan hidup, tapi dengan kepala dan tubuh yang hancur terburai, hiduppun tentu akan membawa petaka baginya di masa depan. Mati berkalang tanah adalah lebih baik.

“Hush! Jangan. Kasihan, lihat tuh, dia juga sudah tidak ada dayanya kok. Ini namanya nyasar, sayang. Seharusnya, mungkin dia ada disalah satu daun di pohon-pohon yang ada dirumah kita. Tapi karena tubuhnya kecil, dia tidak berdaya hingga terbawa angin lalu terjatuh tanpa sengaja di sprei tempat tidurmu. Sudah. Kita kembalikan saja dia ke alam. Perkara dia mau mati atau terus bertahan, itu tergantung takdirnya nanti.” Aku hanya memandang geram pada makhluk kecil, gemuk, yang tidak memiliki kaki atau tangan untuk melakukan perlawanan itu dengan pandangan geram. Huh, awas jika kamu datang lagi ke tempatku. Aku akan membunuhmu. Janjiku kejam dalam hati.

Lalu musim hujan datang membawa kesejukan. Bunga-bunga yang semula putih kini telah mengandung benih buah. Sebentar lagi musim buah akan datang. Biasanya, aku dan saudara-saudara kandungku akan mengundang teman-teman sekolah kami untuk mampir ke rumah dan lalu kami mengadakan pesta buah-buahan alias rujakan. Berkantung-kantung buah itu dipanen dan dibawa pulang oleh siapa saja yang ingin mencicipinya. Ayah dan ibu tidak pernah pelit untuk berbagi. Siapa saja boleh memetik. Baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Tak jarang, ada saja orang yang kebetulan lewat depan rumah dan melihat koleksi buah-buahan di kebun kami yang ranum turut mengidamkan koleksi buah-buahan kami. Jika sudah begitu, mereka harus pandai memanjat pohon karena kedua orang tuaku memang tidak pandai memanjat tapi hanya pandai memelihara pohon buahnya saja.

“Heran. Dibanding tahun lalu, tahun ini pohon Rambutan kita tidak berbuah selebat tahun lalu ya?” Suatu sore kulihat ayah berkacak pinggang memandang pohon rambutan kami. Aku ikut memandang pohon Rambutan tersebut sambil memeluk pinggang ayah hangat. Pohon Rambutan itu terletak persis di sebelah kamar tidurku. Mungkin, jika ada seorang pangeran tampan dari sebuah kerajaan kaya raya yang jatuh cinta padaku dan ingin membawaku pergi, pohon Rambutan inilah jalan keluar tempat sang pangeran membawaku pergi (aih.. menghayal, kan ada teralis di jendela-jendela kamarmu?... kupandang ayah yang sedang ada dalam pelukanku. Apakah dia pernah terpikir tentang kisah sang pangeran ini lalu mengantisipasinya duluan dengan memasang teralis-teralis jendela?).

“Nggak apa-apa yah. Makan Rambutan kebanyakan juga bisa bikin batuk kok. “

Karena memang tidak untuk dikomersialkan, panen buah-buahan dirumahku seperti tidak ada habisnya. Buah yang sudah ranum dipetik untuk dikonsumsi, tapi sementara yang ranum belum habis, putik sudah kembali terlihat. Angin kencang menerbangkan putik itu kesana kemari. Putik yang bertahan akan kembali mengandung buah. Putik yang rapuh, terbang terbawa angin, salah satunya mengotori sprei tempat tidurku. Huh. Aku menyapu sprei kembali dengan kesal hingga kulihat sesuatu yang gemuk dan menggeliat terdapat di atas sprei. Ulat. Bukan cuma satu, tapi ada beberapa. Kembali kupanggil ayah dengan teriakanku yang kencang. Ayah kembali datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa kata kutunjuk sekumpulan ulat itu dengan kesal. Ayah terlihat bingung.

“Hah? Banyak banget. Darimana asalnya.” Aku menggeleng. Ayah tidak langsung memungut ulat-ulat itu seperti ketika pertama kali aku menemukan makhluk tidak berdaya itu dahulu pertama kali di atas tempat tidurku. Ayah berjalan menuju jendela berteralis yang langsung bertetangga dengan pohon Rambutan. Mengamati dengan seksama untuk kemudian mundur dengan kaget dan terhenyak.

“Gawat.”
“Kenapa?” Aku bertanya dan ikut mengamati pohon Rambutan yang bersebelahan dengan kamar tidurku. Dahannya cukup kuat dan bentuknya horizontal, cocok untuk tempat seseorang berjalan dengan aman di atasnya.

“Pohon kita terserang hama ulat.”
“Hah! Aku kaget tapi rasa kagetku justru mendesakku untuk kian seksama memperhatikan pohon Rambutan kami. Benar juga. Di atas dahan kuat itu, telah berjajar ribuan ekor ulat bulu. Bukan Cuma di atas dahan, tapi juga puluhan ribu lagi diatas dedaunannya. Bercampur baur dengan buah Rambutan yang ranum. Perutku langsung mual. Kulitku linu seperti tersayat-sayat melihat jumlah mereka yang jutaan tersebut. Terlebih ketika pasukan ulat itu ternyata bisa kami temui di bawah karpet mushalla keluarga ketika kami sedang shalat berjamaah, di pinggir meja makan, di atas sofa dan bahkan di atas keset rumah. Tidurku jadi tidak nyenyak karena khawatir ulat itu masuk ke dalam mulut atau hidung ketika aku sedang tidur. Apa jadinya jika mereka menguasai juga seluruh isi perutku dan isi kepalaku? Makanpun terburu-buru karena khawatir dia masuk ke dalam hidangan karena ulah angin yang sudah sepakat untuk berkonspirasi dengan ulat tersebut. Hah! Seharusnya makhluk kecil yang tidak memiliki tangan dan kaki untuk berkelahi, atau tanduk untuk menusuk itu aku bunuh dahulu. Bahkan meski dia tidak memiliki wajah sangar seorang penjahat, atau badan kekar seperti algojo sekalipun. Dia, si makhluk kecil yang imut dan tampak tidak berdaya.

------
Jakarta, 13 Oktober 2009 (dalam kenangan pohon rambutan yang akhirnya ditebang dan dimusnahkan hingga akar-akarnya oleh Almarhum Ayahku dahulu demi berperang melawan hama ulat dahulu).

Dia yang imut

Ibuku senang berkebun. Halaman rumahku memang luas. Ada pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, nangka, serta kecapi. Belum lagi tanaman pendek-pendeknya yang senantiasa terawat sempurna seperti aneka perdu, aneka pakis dan tanaman bunga-bungaan. Tanah yang terhampar pun tidak dibiarkan oleh ibuku begitu saja. Selalu ada rumput hijau yang dibentangkan diatasnya. Hijau royo-royo mungkin amat tepat untuk halaman rumah tempatku dibesarkan itu.

Suatu hari, seekor ulat mampir ke atas tempat tidurku. Warnanya abu-abu, gemuk dan mungil sekali. Dia tampak tidak berdaya sama sekali. Terasing di atas hamparan sprei putihku yang terbentang kencang. Aku benci ulat. Benci sekali. Spontan aku langsung berteriak memanggil ayah dengan suara histeris. Seketika ayahku datang.

“Kenapa?”

“Ada ulat di atas sprei ade. Itu.” Aku tunjuk ulat yang sedang kebingungan tersebut. Ayah hanya tersenyum dan menghampiri ulat tersebut lalu mengangkatnya hati-hati untuk ditaruh di atas kertas.

“Mau diapakan yah?”

“Dibuang saja keluar. Dia kebingungan begini.”

“Bunuh saja. Ini, ade sudah menyiapkan alat pembunuhnya.” Aku menyodorkan gagang sapu. Sekali tekan pasti ulat itu hancur terlumatkan. Isi perutnya akan terburai, bercampur dengan isi kepalanya. Lalu getah seperti nanah yang merupakan darahnya akan muncrat ke kanan dan ke kiri. Mungkin akan ada geliat menahan sakit sesaat sebelum nyawa ulat itu melayang. Liukan tubuhnya akan meronta mencoba untuk bertahan hidup, tapi dengan kepala dan tubuh yang hancur terburai, hiduppun tentu akan membawa petaka baginya di masa depan. Mati berkalang tanah adalah lebih baik.

“Hush! Jangan. Kasihan, lihat tuh, dia juga sudah tidak ada dayanya kok. Ini namanya nyasar, sayang. Seharusnya, mungkin dia ada disalah satu daun di pohon-pohon yang ada dirumah kita. Tapi karena tubuhnya kecil, dia tidak berdaya hingga terbawa angin lalu terjatuh tanpa sengaja di sprei tempat tidurmu. Sudah. Kita kembalikan saja dia ke alam. Perkara dia mau mati atau terus bertahan, itu tergantung takdirnya nanti.” Aku hanya memandang geram pada makhluk kecil, gemuk, yang tidak memiliki kaki atau tangan untuk melakukan perlawanan itu dengan pandangan geram. Huh, awas jika kamu datang lagi ke tempatku. Aku akan membunuhmu. Janjiku kejam dalam hati.

Lalu musim hujan datang membawa kesejukan. Bunga-bunga yang semula putih kini telah mengandung benih buah. Sebentar lagi musim buah akan datang. Biasanya, aku dan saudara-saudara kandungku akan mengundang teman-teman sekolah kami untuk mampir ke rumah dan lalu kami mengadakan pesta buah-buahan alias rujakan. Berkantung-kantung buah itu dipanen dan dibawa pulang oleh siapa saja yang ingin mencicipinya. Ayah dan ibu tidak pernah pelit untuk berbagi. Siapa saja boleh memetik. Baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Tak jarang, ada saja orang yang kebetulan lewat depan rumah dan melihat koleksi buah-buahan di kebun kami yang ranum turut mengidamkan koleksi buah-buahan kami. Jika sudah begitu, mereka harus pandai memanjat pohon karena kedua orang tuaku memang tidak pandai memanjat tapi hanya pandai memelihara pohon buahnya saja.

“Heran. Dibanding tahun lalu, tahun ini pohon Rambutan kita tidak berbuah selebat tahun lalu ya?” Suatu sore kulihat ayah berkacak pinggang memandang pohon rambutan kami. Aku ikut memandang pohon Rambutan tersebut sambil memeluk pinggang ayah hangat. Pohon Rambutan itu terletak persis di sebelah kamar tidurku. Mungkin, jika ada seorang pangeran tampan dari sebuah kerajaan kaya raya yang jatuh cinta padaku dan ingin membawaku pergi, pohon Rambutan inilah jalan keluar tempat sang pangeran membawaku pergi (aih.. menghayal, kan ada teralis di jendela-jendela kamarmu?... kupandang ayah yang sedang ada dalam pelukanku. Apakah dia pernah terpikir tentang kisah sang pangeran ini lalu mengantisipasinya duluan dengan memasang teralis-teralis jendela?).

“Nggap apa-apa yah. Makan Rambutan kebanyakan juga bisa bikin batuk kok. “

Karena memang tidak untuk dikomersialkan, panen buah-buahan dirumahku seperti tidak ada habisnya. Buah yang sudah ranum dipetik untuk dikonsumsi, tapi sementara yang ranum belum habis, putik sudah kembali terlihat. Angin kencang menerbangkan putik itu kesana kemari. Putik yang bertahan akan kembali mengandung buah. Putik yang rapuh, terbang terbawa angin, salah satunya mengotori sprei tempat tidurku. Huh. Aku menyapu sprei kembali dengan kesal hingga kulihat sesuatu yang gemuk dan menggeliat terdapat di atas sprei. Ulat. Bukan cuma satu, tapi ada beberapa. Kembali kupanggil ayah dengan teriakanku yang kencang. Ayah kembali datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa kata kutunjuk sekumpulan ulat itu dengan kesal. Ayah terlihat bingung.

“Hah? Banyak banget. Darimana asalnya.” Aku menggeleng. Ayah tidak langsung memungut ulat-ulat itu seperti ketika pertama kali aku menemukan makhluk tidak berdaya itu dahulu pertama kali di atas tempat tidurku. Ayah berjalan menuju jendela berteralis yang langsung bertetangga dengan pohon Rambutan. Mengamati dengan seksama untuk kemudian mundur dengan kaget dan terhenyak.

“Gawat.”

“Kenapa?” Aku bertanya dan ikut mengamati pohon Rambutan yang bersebelahan dengan kamar tidurku. Dahannya cukup kuat dan bentuknya horizontal, cocok untuk tempat seseorang berjalan dengan aman di atasnya.

“Pohon kita terserang hama ulat.”

“Hah! Aku kaget tapi rasa kagetku justru mendesakku untuk kian seksama memperhatikan pohon Rambutan kami. Benar juga. Di atas dahan kuat itu, telah berjajar ribuan ekor ulat bulu. Bukan Cuma di atas dahan, tapi juga puluhan ribu lagi diatas dedaunannya. Bercampur baur dengan buah Rambutan yang ranum. Perutku langsung mual. Kulitku linu seperti tersayat-sayat melihat jumlah mereka yang jutaan tersebut. Terlebih ketika pasukan ulat itu ternyata bisa kami temui di bawah karpet mushalla keluarga ketika kami sedang shalat berjamaah, di pinggir meja makan, di atas sofa dan bahkan di atas keset rumah. Tidurku jadi tidak nyenyak karena khawatir ulat itu masuk ke dalam mulut atau hidung ketika aku sedang tidur. Apa jadinya jika mereka menguasai juga seluruh isi perutku dan isi kepalaku? Makanpun terburu-buru karena khawatir dia masuk ke dalam hidangan karena ulah angin yang sudah sepakat untuk berkonspirasi dengan ulat tersebut. Hah! Seharusnya makhluk kecil yang tidak memiliki tangan dan kaki untuk berkelahi, atau tanduk untuk menusuk itu aku bunuh dahulu. Bahkan meski dia tidak memiliki wajah sangar seorang penjahat, atau badan kekar seperti algojo sekalipun. Dia, si makhluk kecil yang imut dan tampak tidak berdaya.

------

Jakarta, 13 Oktober 2009 (dalam kenangan pohon rambutan yang akhirnya ditebang dan dimusnahkan hingga akar-akarnya oleh Almarhum Ayahku dahulu demi berperang melawan hama ulat dahulu).

Tersasar karena peta cinta yang salah

Cinta. Siapapun yang pernah merasakan jatuh cinta, tentu ingat betapa memabukkannya cinta itu. Pahit jadi manis. Duka jadi suka. Segala yang berwarna hitam berubah menjadi warna-warna indah. Biru muda, merah muda, ungu muda, hijau, kuning, dan seluruh warna cinta yang pernah ada di atas muka bumi ini.

Dulu, seorang dosen psikologiku pernah mengatakan suatu rahasia padaku.
"Mau tahu, apa tanda-tandanya orang jika sedang jatuh cinta pada seseorang?" Aku mengangguk penuh antusias. Lepas dari usia remaja kala itu, rasanya segala sesuatu yang terkait dengan cinta akan terlihat seperti gegap gempita yang selalu menarik hati.
"Mereka yang sedang jatuh cinta pada seseorang, maka jika dia sedang melihat si pelontar panah asmara, matanya terlihat sayu seperti mata orang yang habis menghisap ganja."
"Hah? Masa sih? Memangnya orang yang habis mengisap ganja seperti apa pandangannya?"
"Belum pernah lihat yah?"
"Belum?"
"Yah lihat saja mereka yang sedang saling jatuh cinta." Nah. Sejak itu, kalau ada dua orang yang berjenis kelamin berbeda sedang asyik berdua-duaan, dan kebetulan mereka temanku, biasanya aku mendatanginya dan memperhatikan wajah mereka.

"Ngapain sih nggak ada kerjaan banget?" Temanku merasa terganggu. Dengan wajah dipilon-pilonin, aku akan berkata pada mereka:
"Mau lihat matanya. Kalau matanya nggak sayu, berarti dia nggak benar-benar jatuh cinta ama kamu." Telunjukku berpindah dari tubuh teman yang satu ke tubuh teman yang menjadi pasangannya. Bisa dipastikan temanku akan langsung menjitak kepalaku sambil berteriak: "SOK TAHUUUUUUUUUUU." Hihihi.

Tapi apa benar pesona cinta sedemikian dasyatnya sehingga membuat siapa saja yang terkena panah asmara akan melupakan segala derita? Bisa iya bisa nggak kan? Apa betul cahaya cinta memang begitu menyilaukan sehingga membuat siapa pun yang memandang pancarannya akan menjadi buta?

Hmm.

Ingat nggak cerita klasik yang ditulis oleh William Shakespeare yang berjudul Romeo dan Juliet? Ketika melihat Romeo mati terkena racun, Juliet serta merta merasa bahwa dunianya telah berakhir. Untuk apa melanjutkan hidup di muka bumi ini jika kekasih hati telah pergi mendahului? Serta merta Juliet menusukkan belati hingga terhuncam ke dalam jantungnya. Juliet mati tepat di sisi Romeo. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah. Romeo hanya berpura-pura mati untuk menguji cinta Juliet. Romeo hanya meminum obat yang bisa membuatnya terlihat mati, padahal detak jantungnya saja yang lemah tersamarkan. Romeo tidak benar-benar mati, tapi hanya pingsan untuk beberapa saat. Jadi, betapa terkejutnya Romeo ketika siuman dan melihat Juliet mati dengan pisau terhunus di jantungnya. Serta merta Romeo meminum racun yang ada di tangannya dan akhirnya dia juga mati keracunan dan mati tepat di atas tubuh Juliet.

* menarik napas panjang *
Kalau itu cerita sesungguhnya, tentu keduanya kini sedang merasakan penyesalan mendalam karena sudah pasti akan diazab baik di alam kubur maupun di akherat kelak karena melakukan bunuh diri.

Itu cerita fiksi yang dibuat oleh Shakespeare. Bagaimana dengan kehidupan nyata? Di kehidupan nyata, ternyata ada banyak juga orang bodoh yang melakukan hal-hal seperti di cerita itu. Bunuh diri karena putus cinta. Atau yang lebih parah lagi membunuh dan sekaligus melakukan bunuh diri dengan tujuan agar tetap bisa bersatu selamanya. * a'udzubillahmindzalik *

Berita-berita seperti itulah yang akhir-akhir ini seringkali aku baca di surat-surat kabar. Sepasang muda mudi yang kedapatan mati di dalam rumah kost-kostan. Yang satu bunuh diri sedangkan yang lain terbunuh. Atau sepasang pasangan selingkuh yang sepakat untuk sama-sama bunuh diri dengan cara minum racun serangga segelas berdua. Atau korban RD yang bunuh diri dengan cara gantung diri di kamarnya di daerah P sementara pacarnya DR bunuh diri dengan cara menyayat tangan di kamarnya di daerah Q.

Aih.
Mengapa kisah konyol bahwa jika kehidupan di dunia mengalami banyak hambatan untuk bersatu maka di kehidupan mendatang setelah kematian menjemput keinginan untuk bersatu itu akan terpenuhi? Cinta memang bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Cinta memang gila.

Saya selalu menolak anggapan bahwa cinta suci itu adalah cinta yang sehidup semati. Artinya, ketika hidup mereka bersatu maka setelah kematian datang mengetukpun mereka tetap harus bersama. Karena anggapan seperti inilah maka dahulu di India ada tradisi bahwa jika seorang suami meninggal dunia, maka istri harus ikut dibakar dalam upacara pembakaran mayat suaminya, sehingga sang istri bisa terus mendampingi sang suami hingga mencapai nirwana (surga). Ketika Mahatma Gandhi menjadi pemimpin di India, syukurlah tradisi yang amat sangat menzhalimi wanita ini dihapus.

Lalu mengapa saat ini trend sehidup semati kembali marak di tengah pasangan muda-mudi di negara kita? Ada banyak sebab. Orang tua yang salah mendidik anaknya, kebebasan yang kelewat batas, pendidikan agama yang tidak tertanam dihati dan tercermin di perbuatan, sistem pendidikan yang memang payah, dan banyak lagi. Salah satunya yang lain adalah pengaruh televisi dan media massa.

Yah. Penyebab yang terakhir ini memang tidak dapat dianggap kecil. Saat ini, selain nasehat guru dan orang tua, maka kontribusi besar lain yang mempengaruhi pola pikir pada generasi muda adalah trend yang diajarkan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Coba lihat cara berpakaian remaja kita, gaya bicara, cara berjalan, cara berdandan bahkan hingga gaya berpacaran.

Saya tidak pernah membiarkan televisi di rumah saya memperlihatkan sinetron remaja tertonton secara utuh di hadapan anak-anak saya. Wah. Ngeri rasanya melihat sinetron-sinetron tersebut. Bayangkan, remaja putri dengan wajah amat beringas dan sangar bisa menumpahkan serbuk berbahaya pada teman yang menjadi saingannya sendiri hanya karena perasaan iri. Atau dengan penuh kekejian memperlakukan orang tuanya dengan amat sangat hina. Yang lebih parah lagi, remaja-remaja putri yang mengenakan pakaian SMP, berdecak penuh nafsu melihat teman lelakinya yang tampan. Atau remaja pria dengan pakaian SMU yang merayu rekan wanitanya untuk melakukan hubungan intim di gardu hansip.

Aih. Sinetron-sinetron ini menggambarkan situasi di Indonesiakah atau dimana sih? Apa benar remaja SMP kita telah memiliki nafsu dan gairah seperti itu? Apakah benar remaja kita sudah sebrutal itu? Apakah benar sekolah di negara kita membolehkan siswanya memakai perlengkapan sekolah yang seseronok itu? Apakah benar sudah sedemikian bobroknya moral remaja-remaja kita?

Inilah racun yang memberi sumbangan terbesar pada pola pikir remaja kita. Terlebih, saat ini memang segala sesuatu yang berbau remaja sedang naik daun. Bukan cuma sinetron yang asyik memburu cerita-cerita remaja, tapi juga tulisan dan bahkan sekarang film dan majalah. Khusus untuk majalah remaja, saya amat menaruh prihatin. Bisa jadi, mereka yang menonton sinetron atau film remaja banyak mencontoh cara berpakaian dan gaya yang sedang trend. Tapi majalah remaja yang tersebar di Indonesia (seperti cosmo girl, kawanku, gadis, seventeen, hai, dll) banyak menuliskan tentang pentingnya mengikuti trend yang berlaku di negara barat sana. Misalnya, bagaimana berstrategi agar ciuman pertama bisa berkesan; bagaimana menaklukkan pria yang diinginkan; bagaimana main petak umpet jika punya pacar selingkuh.... Wow. Where are we?"

-------- Jakarta, 1 Juni 2005
Penulis: Ade Anita. Tulisan ini pernah dimuat di website Http://www.kafemuslimah.com. Mampir ya ke websiteku ini...^_^

Benci jangan berlebihan

"Ketika kebencianmu terhadap seorang musuh sudah berlebihan, engkau mengharapkan agar musuhmu selamanya bernasib sial dan buruk. Padahal roda kehidupan terus berputar dan demikian pula keadaan musuhmu. Kadang-kadang dia beruntung,kadang pula dia sial. Mengharapkan musuhmu selalu sial akan membuat pikiranmu terganggu." (Rumi)

tas.. tas.. tas....

[Lifestyle] Terus terang.. diantara semua barang-barang yang ada, aku paling tergila-gila sama yang namanya tas. Nabung sedikit demi sedikit, pas dah agak lumayan jumlahnya, maka yang aku lirik duluan adalah model tas...

Di notebookku, ada deretan website2 yang aku masukin ke deretan paforit, terus aku kasi shortcut bintang biar gampang buat masuk ke dalamnya.. and... guess what apa website itu? dialah website mereka yang jual-jual tas secara online.

Kalau lagi mumet dan bete.. atau lagi kesel dan bawaannya maunya marah mulu... atau kalau bosen dan bawaannya kesel, maka inilah situs yang aku liat berlama-lama buat menghilangkan rasa bosan... memandang model-model tas wanita terbaru keluargan gucci, Chanel, Bonia, LV, Hermes... ahhh... semuanya deh. Kadang, kalau pulsa di hp lagi banyak, aku ngirim sms ke penjualnya, buat nanya harga masing-masing tas yang menurutku cantik.... kalau lagi nggak niat beli, aku tawar gila-gilaan nggak pake mikir... tapi kalau cocok, uuhh, mulai deh ngerayu si mbak supaya keep itu tas karena aku harus nabung dulu dua atau tiga bulan ke depan... hahaha.. sableng emang.