para wanita yang luar biasa

Wanita. Makhluk dengan jenis kelamin yang satu ini rasanya memang selalu terus menerus membesut perhatian yang tiada pernah surut. Bukan.

Ini bukan tulisan yang mengupas tentang keindahan fisik seorang wanita. Terkadang, ulasan tentang apa itu cantik dan seksi serta siapa yang pantas menyandang predikat sebagai wanita tercantik hanya karena dianggap memenuhi point-point kriteria cantik, membuat seorang wanita menjadi terpenjara. Dalam hal ini, wanita pada akhirnya hanya dipandang sebagai sebuah objek barang pajangan. Bisa dibolak balik untuk menilai berapa taksiran harga tertingginya lalu jika tidak memenuhi syarat, dibuang. Aih.

Dia yang imut (the beginning)

Pernah tidak terenungkan tentang jejak rekam segala sesuatunya? Saya sering merenungkannya. Menjalin hubungan kejadian satu dengan kejadian lain lalu menilik jejak rekam masing-masing kejadian. Hasilnya, ternyata baik kesuksesan maupun kegagalan seseorang sering terjadi karena sebuah hal kecil yang dianggap sepele.

Adalah seorang bernama Abdullah yang penasaran ketika Rasulullah Muhammad memberinya kabar akan datang seseorang yang pasti akan masuk surga. Dia yang telah dipastikan masuk surga ternyata bukan seorang yang dermawan. Kesehariannya hidup pas-pasan, baju hanya selembar bahkan untuk shalat pun terpaksa harus bergantian pakaian yang layak dengan istrinya. Dia juga bukan orang yang selalu beribadah, karena tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mengharuskannya untuk kerja keras sepanjang waktu. Tempat spesial disurga disediakan untuknya karena sebuah perkara kecil. Dia selalu memaafkan orang lain yang berbuat salah padanya setiap malam sebelum matanya terpejam.

Dibelahan tempat bumi yang lain, Rasulullah Muhammad pernah menunjuk sebuah kuburan yang ditelinga Sang Rasul terdengar sedang merintih kesakitan dan berteriak minta ampun. Penyebabnya karena si mati dalam kubur, dalam penantian menuju hari kiamat nanti, telah dipastikan akan ditempatkan dalam neraka. Penyebabnya satu dan amat sepele, dia tidak pernah membersihkan najis dan kotoran dibadannya dengan sungguh-sungguh.

Begitu dasyat pengaruh hal-hal sepele dalam sumbangsihnya terhadap hal-hal besar dan berpengaruh. Bisa jadi, jika saja hal sepele seperti membuang sampah pada tempatnya dikerjakan oleh seseorang, maka banjir di Jakarta saban tahun tidak akan terjadi karena bisa jadi ada jutaan orang yang yang tidak melakukan perilaku jorok ini. Selembar sampah tidak pernah dibiarkan menjadi penguasa tunggal diselokan, parit dan sungai.

Bisa jadi, jika dengan tertip petugas Trantip melarang seorang pedagang yang ingin mendirikan lapak diatas trotoar dilakukan, tentu tidak terjadi keributan dalam penertiban para pedagang kaki lima yang telah menjadi raja dan menguasai sebagian besar jalan raya dengan pasar tumpahnya.

Ya. Semuanya karena menyepelekan hal kecil yang penampilan awalnya sama sekali tidak pernah diperhitungkan. Seperti ide yang saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya, Dia Yang Imut.
-------
Ibuku senang berkebun. Halaman rumahku memang luas. Ada pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, nangka, serta kecapi. Belum lagi tanaman pendek-pendeknya yang senantiasa terawat sempurna seperti aneka perdu, aneka pakis dan tanaman bunga-bungaan. Tanah yang terhampar pun tidak dibiarkan oleh ibuku begitu saja. Selalu ada rumput hijau yang dibentangkan diatasnya. Hijau royo-royo mungkin amat tepat untuk halaman rumah tempatku dibesarkan itu.

Suatu hari, seekor ulat mampir ke atas tempat tidurku. Warnanya abu-abu, gemuk dan mungil sekali. Dia tampak tidak berdaya sama sekali. Terasing di atas hamparan sprei putihku yang terbentang kencang. Aku benci ulat. Benci sekali. Spontan aku langsung berteriak memanggil ayah dengan suara histeris. Seketika ayahku datang.

“Kenapa?”

“Ada ulat di atas sprei ade. Itu.” Aku tunjuk ulat yang sedang kebingungan tersebut. Ayah hanya tersenyum dan menghampiri ulat tersebut lalu mengangkatnya hati-hati untuk ditaruh di atas kertas.
“Mau diapakan yah?”
“Dibuang saja keluar. Dia kebingungan begini.”

“Bunuh saja. Ini, ade sudah menyiapkan alat pembunuhnya.” Aku menyodorkan gagang sapu. Sekali tekan pasti ulat itu hancur terlumatkan. Isi perutnya akan terburai, bercampur dengan isi kepalanya. Lalu getah seperti nanah yang merupakan darahnya akan muncrat ke kanan dan ke kiri. Mungkin akan ada geliat menahan sakit sesaat sebelum nyawa ulat itu melayang. Liukan tubuhnya akan meronta mencoba untuk bertahan hidup, tapi dengan kepala dan tubuh yang hancur terburai, hiduppun tentu akan membawa petaka baginya di masa depan. Mati berkalang tanah adalah lebih baik.

“Hush! Jangan. Kasihan, lihat tuh, dia juga sudah tidak ada dayanya kok. Ini namanya nyasar, sayang. Seharusnya, mungkin dia ada disalah satu daun di pohon-pohon yang ada dirumah kita. Tapi karena tubuhnya kecil, dia tidak berdaya hingga terbawa angin lalu terjatuh tanpa sengaja di sprei tempat tidurmu. Sudah. Kita kembalikan saja dia ke alam. Perkara dia mau mati atau terus bertahan, itu tergantung takdirnya nanti.” Aku hanya memandang geram pada makhluk kecil, gemuk, yang tidak memiliki kaki atau tangan untuk melakukan perlawanan itu dengan pandangan geram. Huh, awas jika kamu datang lagi ke tempatku. Aku akan membunuhmu. Janjiku kejam dalam hati.

Lalu musim hujan datang membawa kesejukan. Bunga-bunga yang semula putih kini telah mengandung benih buah. Sebentar lagi musim buah akan datang. Biasanya, aku dan saudara-saudara kandungku akan mengundang teman-teman sekolah kami untuk mampir ke rumah dan lalu kami mengadakan pesta buah-buahan alias rujakan. Berkantung-kantung buah itu dipanen dan dibawa pulang oleh siapa saja yang ingin mencicipinya. Ayah dan ibu tidak pernah pelit untuk berbagi. Siapa saja boleh memetik. Baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Tak jarang, ada saja orang yang kebetulan lewat depan rumah dan melihat koleksi buah-buahan di kebun kami yang ranum turut mengidamkan koleksi buah-buahan kami. Jika sudah begitu, mereka harus pandai memanjat pohon karena kedua orang tuaku memang tidak pandai memanjat tapi hanya pandai memelihara pohon buahnya saja.

“Heran. Dibanding tahun lalu, tahun ini pohon Rambutan kita tidak berbuah selebat tahun lalu ya?” Suatu sore kulihat ayah berkacak pinggang memandang pohon rambutan kami. Aku ikut memandang pohon Rambutan tersebut sambil memeluk pinggang ayah hangat. Pohon Rambutan itu terletak persis di sebelah kamar tidurku. Mungkin, jika ada seorang pangeran tampan dari sebuah kerajaan kaya raya yang jatuh cinta padaku dan ingin membawaku pergi, pohon Rambutan inilah jalan keluar tempat sang pangeran membawaku pergi (aih.. menghayal, kan ada teralis di jendela-jendela kamarmu?... kupandang ayah yang sedang ada dalam pelukanku. Apakah dia pernah terpikir tentang kisah sang pangeran ini lalu mengantisipasinya duluan dengan memasang teralis-teralis jendela?).

“Nggak apa-apa yah. Makan Rambutan kebanyakan juga bisa bikin batuk kok. “

Karena memang tidak untuk dikomersialkan, panen buah-buahan dirumahku seperti tidak ada habisnya. Buah yang sudah ranum dipetik untuk dikonsumsi, tapi sementara yang ranum belum habis, putik sudah kembali terlihat. Angin kencang menerbangkan putik itu kesana kemari. Putik yang bertahan akan kembali mengandung buah. Putik yang rapuh, terbang terbawa angin, salah satunya mengotori sprei tempat tidurku. Huh. Aku menyapu sprei kembali dengan kesal hingga kulihat sesuatu yang gemuk dan menggeliat terdapat di atas sprei. Ulat. Bukan cuma satu, tapi ada beberapa. Kembali kupanggil ayah dengan teriakanku yang kencang. Ayah kembali datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa kata kutunjuk sekumpulan ulat itu dengan kesal. Ayah terlihat bingung.

“Hah? Banyak banget. Darimana asalnya.” Aku menggeleng. Ayah tidak langsung memungut ulat-ulat itu seperti ketika pertama kali aku menemukan makhluk tidak berdaya itu dahulu pertama kali di atas tempat tidurku. Ayah berjalan menuju jendela berteralis yang langsung bertetangga dengan pohon Rambutan. Mengamati dengan seksama untuk kemudian mundur dengan kaget dan terhenyak.

“Gawat.”
“Kenapa?” Aku bertanya dan ikut mengamati pohon Rambutan yang bersebelahan dengan kamar tidurku. Dahannya cukup kuat dan bentuknya horizontal, cocok untuk tempat seseorang berjalan dengan aman di atasnya.

“Pohon kita terserang hama ulat.”
“Hah! Aku kaget tapi rasa kagetku justru mendesakku untuk kian seksama memperhatikan pohon Rambutan kami. Benar juga. Di atas dahan kuat itu, telah berjajar ribuan ekor ulat bulu. Bukan Cuma di atas dahan, tapi juga puluhan ribu lagi diatas dedaunannya. Bercampur baur dengan buah Rambutan yang ranum. Perutku langsung mual. Kulitku linu seperti tersayat-sayat melihat jumlah mereka yang jutaan tersebut. Terlebih ketika pasukan ulat itu ternyata bisa kami temui di bawah karpet mushalla keluarga ketika kami sedang shalat berjamaah, di pinggir meja makan, di atas sofa dan bahkan di atas keset rumah. Tidurku jadi tidak nyenyak karena khawatir ulat itu masuk ke dalam mulut atau hidung ketika aku sedang tidur. Apa jadinya jika mereka menguasai juga seluruh isi perutku dan isi kepalaku? Makanpun terburu-buru karena khawatir dia masuk ke dalam hidangan karena ulah angin yang sudah sepakat untuk berkonspirasi dengan ulat tersebut. Hah! Seharusnya makhluk kecil yang tidak memiliki tangan dan kaki untuk berkelahi, atau tanduk untuk menusuk itu aku bunuh dahulu. Bahkan meski dia tidak memiliki wajah sangar seorang penjahat, atau badan kekar seperti algojo sekalipun. Dia, si makhluk kecil yang imut dan tampak tidak berdaya.

------
Jakarta, 13 Oktober 2009 (dalam kenangan pohon rambutan yang akhirnya ditebang dan dimusnahkan hingga akar-akarnya oleh Almarhum Ayahku dahulu demi berperang melawan hama ulat dahulu).

Dia yang imut

Ibuku senang berkebun. Halaman rumahku memang luas. Ada pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, nangka, serta kecapi. Belum lagi tanaman pendek-pendeknya yang senantiasa terawat sempurna seperti aneka perdu, aneka pakis dan tanaman bunga-bungaan. Tanah yang terhampar pun tidak dibiarkan oleh ibuku begitu saja. Selalu ada rumput hijau yang dibentangkan diatasnya. Hijau royo-royo mungkin amat tepat untuk halaman rumah tempatku dibesarkan itu.

Suatu hari, seekor ulat mampir ke atas tempat tidurku. Warnanya abu-abu, gemuk dan mungil sekali. Dia tampak tidak berdaya sama sekali. Terasing di atas hamparan sprei putihku yang terbentang kencang. Aku benci ulat. Benci sekali. Spontan aku langsung berteriak memanggil ayah dengan suara histeris. Seketika ayahku datang.

“Kenapa?”

“Ada ulat di atas sprei ade. Itu.” Aku tunjuk ulat yang sedang kebingungan tersebut. Ayah hanya tersenyum dan menghampiri ulat tersebut lalu mengangkatnya hati-hati untuk ditaruh di atas kertas.

“Mau diapakan yah?”

“Dibuang saja keluar. Dia kebingungan begini.”

“Bunuh saja. Ini, ade sudah menyiapkan alat pembunuhnya.” Aku menyodorkan gagang sapu. Sekali tekan pasti ulat itu hancur terlumatkan. Isi perutnya akan terburai, bercampur dengan isi kepalanya. Lalu getah seperti nanah yang merupakan darahnya akan muncrat ke kanan dan ke kiri. Mungkin akan ada geliat menahan sakit sesaat sebelum nyawa ulat itu melayang. Liukan tubuhnya akan meronta mencoba untuk bertahan hidup, tapi dengan kepala dan tubuh yang hancur terburai, hiduppun tentu akan membawa petaka baginya di masa depan. Mati berkalang tanah adalah lebih baik.

“Hush! Jangan. Kasihan, lihat tuh, dia juga sudah tidak ada dayanya kok. Ini namanya nyasar, sayang. Seharusnya, mungkin dia ada disalah satu daun di pohon-pohon yang ada dirumah kita. Tapi karena tubuhnya kecil, dia tidak berdaya hingga terbawa angin lalu terjatuh tanpa sengaja di sprei tempat tidurmu. Sudah. Kita kembalikan saja dia ke alam. Perkara dia mau mati atau terus bertahan, itu tergantung takdirnya nanti.” Aku hanya memandang geram pada makhluk kecil, gemuk, yang tidak memiliki kaki atau tangan untuk melakukan perlawanan itu dengan pandangan geram. Huh, awas jika kamu datang lagi ke tempatku. Aku akan membunuhmu. Janjiku kejam dalam hati.

Lalu musim hujan datang membawa kesejukan. Bunga-bunga yang semula putih kini telah mengandung benih buah. Sebentar lagi musim buah akan datang. Biasanya, aku dan saudara-saudara kandungku akan mengundang teman-teman sekolah kami untuk mampir ke rumah dan lalu kami mengadakan pesta buah-buahan alias rujakan. Berkantung-kantung buah itu dipanen dan dibawa pulang oleh siapa saja yang ingin mencicipinya. Ayah dan ibu tidak pernah pelit untuk berbagi. Siapa saja boleh memetik. Baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Tak jarang, ada saja orang yang kebetulan lewat depan rumah dan melihat koleksi buah-buahan di kebun kami yang ranum turut mengidamkan koleksi buah-buahan kami. Jika sudah begitu, mereka harus pandai memanjat pohon karena kedua orang tuaku memang tidak pandai memanjat tapi hanya pandai memelihara pohon buahnya saja.

“Heran. Dibanding tahun lalu, tahun ini pohon Rambutan kita tidak berbuah selebat tahun lalu ya?” Suatu sore kulihat ayah berkacak pinggang memandang pohon rambutan kami. Aku ikut memandang pohon Rambutan tersebut sambil memeluk pinggang ayah hangat. Pohon Rambutan itu terletak persis di sebelah kamar tidurku. Mungkin, jika ada seorang pangeran tampan dari sebuah kerajaan kaya raya yang jatuh cinta padaku dan ingin membawaku pergi, pohon Rambutan inilah jalan keluar tempat sang pangeran membawaku pergi (aih.. menghayal, kan ada teralis di jendela-jendela kamarmu?... kupandang ayah yang sedang ada dalam pelukanku. Apakah dia pernah terpikir tentang kisah sang pangeran ini lalu mengantisipasinya duluan dengan memasang teralis-teralis jendela?).

“Nggap apa-apa yah. Makan Rambutan kebanyakan juga bisa bikin batuk kok. “

Karena memang tidak untuk dikomersialkan, panen buah-buahan dirumahku seperti tidak ada habisnya. Buah yang sudah ranum dipetik untuk dikonsumsi, tapi sementara yang ranum belum habis, putik sudah kembali terlihat. Angin kencang menerbangkan putik itu kesana kemari. Putik yang bertahan akan kembali mengandung buah. Putik yang rapuh, terbang terbawa angin, salah satunya mengotori sprei tempat tidurku. Huh. Aku menyapu sprei kembali dengan kesal hingga kulihat sesuatu yang gemuk dan menggeliat terdapat di atas sprei. Ulat. Bukan cuma satu, tapi ada beberapa. Kembali kupanggil ayah dengan teriakanku yang kencang. Ayah kembali datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa kata kutunjuk sekumpulan ulat itu dengan kesal. Ayah terlihat bingung.

“Hah? Banyak banget. Darimana asalnya.” Aku menggeleng. Ayah tidak langsung memungut ulat-ulat itu seperti ketika pertama kali aku menemukan makhluk tidak berdaya itu dahulu pertama kali di atas tempat tidurku. Ayah berjalan menuju jendela berteralis yang langsung bertetangga dengan pohon Rambutan. Mengamati dengan seksama untuk kemudian mundur dengan kaget dan terhenyak.

“Gawat.”

“Kenapa?” Aku bertanya dan ikut mengamati pohon Rambutan yang bersebelahan dengan kamar tidurku. Dahannya cukup kuat dan bentuknya horizontal, cocok untuk tempat seseorang berjalan dengan aman di atasnya.

“Pohon kita terserang hama ulat.”

“Hah! Aku kaget tapi rasa kagetku justru mendesakku untuk kian seksama memperhatikan pohon Rambutan kami. Benar juga. Di atas dahan kuat itu, telah berjajar ribuan ekor ulat bulu. Bukan Cuma di atas dahan, tapi juga puluhan ribu lagi diatas dedaunannya. Bercampur baur dengan buah Rambutan yang ranum. Perutku langsung mual. Kulitku linu seperti tersayat-sayat melihat jumlah mereka yang jutaan tersebut. Terlebih ketika pasukan ulat itu ternyata bisa kami temui di bawah karpet mushalla keluarga ketika kami sedang shalat berjamaah, di pinggir meja makan, di atas sofa dan bahkan di atas keset rumah. Tidurku jadi tidak nyenyak karena khawatir ulat itu masuk ke dalam mulut atau hidung ketika aku sedang tidur. Apa jadinya jika mereka menguasai juga seluruh isi perutku dan isi kepalaku? Makanpun terburu-buru karena khawatir dia masuk ke dalam hidangan karena ulah angin yang sudah sepakat untuk berkonspirasi dengan ulat tersebut. Hah! Seharusnya makhluk kecil yang tidak memiliki tangan dan kaki untuk berkelahi, atau tanduk untuk menusuk itu aku bunuh dahulu. Bahkan meski dia tidak memiliki wajah sangar seorang penjahat, atau badan kekar seperti algojo sekalipun. Dia, si makhluk kecil yang imut dan tampak tidak berdaya.

------

Jakarta, 13 Oktober 2009 (dalam kenangan pohon rambutan yang akhirnya ditebang dan dimusnahkan hingga akar-akarnya oleh Almarhum Ayahku dahulu demi berperang melawan hama ulat dahulu).

Tersasar karena peta cinta yang salah

Cinta. Siapapun yang pernah merasakan jatuh cinta, tentu ingat betapa memabukkannya cinta itu. Pahit jadi manis. Duka jadi suka. Segala yang berwarna hitam berubah menjadi warna-warna indah. Biru muda, merah muda, ungu muda, hijau, kuning, dan seluruh warna cinta yang pernah ada di atas muka bumi ini.

Dulu, seorang dosen psikologiku pernah mengatakan suatu rahasia padaku.
"Mau tahu, apa tanda-tandanya orang jika sedang jatuh cinta pada seseorang?" Aku mengangguk penuh antusias. Lepas dari usia remaja kala itu, rasanya segala sesuatu yang terkait dengan cinta akan terlihat seperti gegap gempita yang selalu menarik hati.
"Mereka yang sedang jatuh cinta pada seseorang, maka jika dia sedang melihat si pelontar panah asmara, matanya terlihat sayu seperti mata orang yang habis menghisap ganja."
"Hah? Masa sih? Memangnya orang yang habis mengisap ganja seperti apa pandangannya?"
"Belum pernah lihat yah?"
"Belum?"
"Yah lihat saja mereka yang sedang saling jatuh cinta." Nah. Sejak itu, kalau ada dua orang yang berjenis kelamin berbeda sedang asyik berdua-duaan, dan kebetulan mereka temanku, biasanya aku mendatanginya dan memperhatikan wajah mereka.

"Ngapain sih nggak ada kerjaan banget?" Temanku merasa terganggu. Dengan wajah dipilon-pilonin, aku akan berkata pada mereka:
"Mau lihat matanya. Kalau matanya nggak sayu, berarti dia nggak benar-benar jatuh cinta ama kamu." Telunjukku berpindah dari tubuh teman yang satu ke tubuh teman yang menjadi pasangannya. Bisa dipastikan temanku akan langsung menjitak kepalaku sambil berteriak: "SOK TAHUUUUUUUUUUU." Hihihi.

Tapi apa benar pesona cinta sedemikian dasyatnya sehingga membuat siapa saja yang terkena panah asmara akan melupakan segala derita? Bisa iya bisa nggak kan? Apa betul cahaya cinta memang begitu menyilaukan sehingga membuat siapa pun yang memandang pancarannya akan menjadi buta?

Hmm.

Ingat nggak cerita klasik yang ditulis oleh William Shakespeare yang berjudul Romeo dan Juliet? Ketika melihat Romeo mati terkena racun, Juliet serta merta merasa bahwa dunianya telah berakhir. Untuk apa melanjutkan hidup di muka bumi ini jika kekasih hati telah pergi mendahului? Serta merta Juliet menusukkan belati hingga terhuncam ke dalam jantungnya. Juliet mati tepat di sisi Romeo. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah. Romeo hanya berpura-pura mati untuk menguji cinta Juliet. Romeo hanya meminum obat yang bisa membuatnya terlihat mati, padahal detak jantungnya saja yang lemah tersamarkan. Romeo tidak benar-benar mati, tapi hanya pingsan untuk beberapa saat. Jadi, betapa terkejutnya Romeo ketika siuman dan melihat Juliet mati dengan pisau terhunus di jantungnya. Serta merta Romeo meminum racun yang ada di tangannya dan akhirnya dia juga mati keracunan dan mati tepat di atas tubuh Juliet.

* menarik napas panjang *
Kalau itu cerita sesungguhnya, tentu keduanya kini sedang merasakan penyesalan mendalam karena sudah pasti akan diazab baik di alam kubur maupun di akherat kelak karena melakukan bunuh diri.

Itu cerita fiksi yang dibuat oleh Shakespeare. Bagaimana dengan kehidupan nyata? Di kehidupan nyata, ternyata ada banyak juga orang bodoh yang melakukan hal-hal seperti di cerita itu. Bunuh diri karena putus cinta. Atau yang lebih parah lagi membunuh dan sekaligus melakukan bunuh diri dengan tujuan agar tetap bisa bersatu selamanya. * a'udzubillahmindzalik *

Berita-berita seperti itulah yang akhir-akhir ini seringkali aku baca di surat-surat kabar. Sepasang muda mudi yang kedapatan mati di dalam rumah kost-kostan. Yang satu bunuh diri sedangkan yang lain terbunuh. Atau sepasang pasangan selingkuh yang sepakat untuk sama-sama bunuh diri dengan cara minum racun serangga segelas berdua. Atau korban RD yang bunuh diri dengan cara gantung diri di kamarnya di daerah P sementara pacarnya DR bunuh diri dengan cara menyayat tangan di kamarnya di daerah Q.

Aih.
Mengapa kisah konyol bahwa jika kehidupan di dunia mengalami banyak hambatan untuk bersatu maka di kehidupan mendatang setelah kematian menjemput keinginan untuk bersatu itu akan terpenuhi? Cinta memang bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Cinta memang gila.

Saya selalu menolak anggapan bahwa cinta suci itu adalah cinta yang sehidup semati. Artinya, ketika hidup mereka bersatu maka setelah kematian datang mengetukpun mereka tetap harus bersama. Karena anggapan seperti inilah maka dahulu di India ada tradisi bahwa jika seorang suami meninggal dunia, maka istri harus ikut dibakar dalam upacara pembakaran mayat suaminya, sehingga sang istri bisa terus mendampingi sang suami hingga mencapai nirwana (surga). Ketika Mahatma Gandhi menjadi pemimpin di India, syukurlah tradisi yang amat sangat menzhalimi wanita ini dihapus.

Lalu mengapa saat ini trend sehidup semati kembali marak di tengah pasangan muda-mudi di negara kita? Ada banyak sebab. Orang tua yang salah mendidik anaknya, kebebasan yang kelewat batas, pendidikan agama yang tidak tertanam dihati dan tercermin di perbuatan, sistem pendidikan yang memang payah, dan banyak lagi. Salah satunya yang lain adalah pengaruh televisi dan media massa.

Yah. Penyebab yang terakhir ini memang tidak dapat dianggap kecil. Saat ini, selain nasehat guru dan orang tua, maka kontribusi besar lain yang mempengaruhi pola pikir pada generasi muda adalah trend yang diajarkan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Coba lihat cara berpakaian remaja kita, gaya bicara, cara berjalan, cara berdandan bahkan hingga gaya berpacaran.

Saya tidak pernah membiarkan televisi di rumah saya memperlihatkan sinetron remaja tertonton secara utuh di hadapan anak-anak saya. Wah. Ngeri rasanya melihat sinetron-sinetron tersebut. Bayangkan, remaja putri dengan wajah amat beringas dan sangar bisa menumpahkan serbuk berbahaya pada teman yang menjadi saingannya sendiri hanya karena perasaan iri. Atau dengan penuh kekejian memperlakukan orang tuanya dengan amat sangat hina. Yang lebih parah lagi, remaja-remaja putri yang mengenakan pakaian SMP, berdecak penuh nafsu melihat teman lelakinya yang tampan. Atau remaja pria dengan pakaian SMU yang merayu rekan wanitanya untuk melakukan hubungan intim di gardu hansip.

Aih. Sinetron-sinetron ini menggambarkan situasi di Indonesiakah atau dimana sih? Apa benar remaja SMP kita telah memiliki nafsu dan gairah seperti itu? Apakah benar remaja kita sudah sebrutal itu? Apakah benar sekolah di negara kita membolehkan siswanya memakai perlengkapan sekolah yang seseronok itu? Apakah benar sudah sedemikian bobroknya moral remaja-remaja kita?

Inilah racun yang memberi sumbangan terbesar pada pola pikir remaja kita. Terlebih, saat ini memang segala sesuatu yang berbau remaja sedang naik daun. Bukan cuma sinetron yang asyik memburu cerita-cerita remaja, tapi juga tulisan dan bahkan sekarang film dan majalah. Khusus untuk majalah remaja, saya amat menaruh prihatin. Bisa jadi, mereka yang menonton sinetron atau film remaja banyak mencontoh cara berpakaian dan gaya yang sedang trend. Tapi majalah remaja yang tersebar di Indonesia (seperti cosmo girl, kawanku, gadis, seventeen, hai, dll) banyak menuliskan tentang pentingnya mengikuti trend yang berlaku di negara barat sana. Misalnya, bagaimana berstrategi agar ciuman pertama bisa berkesan; bagaimana menaklukkan pria yang diinginkan; bagaimana main petak umpet jika punya pacar selingkuh.... Wow. Where are we?"

-------- Jakarta, 1 Juni 2005
Penulis: Ade Anita. Tulisan ini pernah dimuat di website Http://www.kafemuslimah.com. Mampir ya ke websiteku ini...^_^

Benci jangan berlebihan

"Ketika kebencianmu terhadap seorang musuh sudah berlebihan, engkau mengharapkan agar musuhmu selamanya bernasib sial dan buruk. Padahal roda kehidupan terus berputar dan demikian pula keadaan musuhmu. Kadang-kadang dia beruntung,kadang pula dia sial. Mengharapkan musuhmu selalu sial akan membuat pikiranmu terganggu." (Rumi)

tas.. tas.. tas....

[Lifestyle] Terus terang.. diantara semua barang-barang yang ada, aku paling tergila-gila sama yang namanya tas. Nabung sedikit demi sedikit, pas dah agak lumayan jumlahnya, maka yang aku lirik duluan adalah model tas...

Di notebookku, ada deretan website2 yang aku masukin ke deretan paforit, terus aku kasi shortcut bintang biar gampang buat masuk ke dalamnya.. and... guess what apa website itu? dialah website mereka yang jual-jual tas secara online.

Kalau lagi mumet dan bete.. atau lagi kesel dan bawaannya maunya marah mulu... atau kalau bosen dan bawaannya kesel, maka inilah situs yang aku liat berlama-lama buat menghilangkan rasa bosan... memandang model-model tas wanita terbaru keluargan gucci, Chanel, Bonia, LV, Hermes... ahhh... semuanya deh. Kadang, kalau pulsa di hp lagi banyak, aku ngirim sms ke penjualnya, buat nanya harga masing-masing tas yang menurutku cantik.... kalau lagi nggak niat beli, aku tawar gila-gilaan nggak pake mikir... tapi kalau cocok, uuhh, mulai deh ngerayu si mbak supaya keep itu tas karena aku harus nabung dulu dua atau tiga bulan ke depan... hahaha.. sableng emang.

Purnama di langit cerah

Cerpen by : Ade Anita

Bulan berwajah bundar lagi malam ini. Langit cerah tanpa bintang, sehingga kehadiran singgasana bulan di angkasa tampak bersinar tanpa ada saingan. Siapapun bisa menatap wajah purnama sang bulan, persis seperti yang dilakukan oleh seorang gadis dari dalam jendela kamarnya yang berada di lantai atas rumahnya. Arini namanya.

Arini menatap sang bulan sambil duduk di atas bingkai jendela kamarnya. Bulan purnama datang lagi. Itu artinya tiga bulan lagi menjelang pernikahannya. Ada sebuah perasaan yang sulit dilukiskan di hatinya menjelang saat itu tiba. Perasaan yang mengganggu pikirannya hari-hari belakangan ini, bahkan membuatnya kehilangan konsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Hmm…, rasa takut itu kembali muncul. Akankah dia bahagia kelak dengan kehidupannya yang baru setelah menikah kelak ? Akankah sang Arjuna akan tetap menyayangi dia meski perubahan waktu akan membawa hal-hal yang tidak terduga kelak ? Bagaimana jika dia ternyata tidak bisa memberikan keturunan ? Bagaimana jika dia tidak cocok dengan keluarga suaminya ? Bagaimana jika sebaliknya yang terjadi ? Bagaimana jika suaminya mengharuskan dia untuk berhenti dari pekerjaan mapannya kini untuk berdiam di rumah ? Bagaimana jika orang tuanya yang telah menyekolahkannya merasa sayang melihat pendidikan yang telah dienyamnya bertahun-tahun menjadi sia-sia tak terpakai ? Bagaimana jika dia bosan dan jenuh dengan pekerjaan rutin rumah tangga ? Bagaimana jika datang gadis yang lebih menarik dalam perkawinannya dan gadis itu membuat suaminya beralih cinta ? Bagaimana … wah… ternyata ada beribu bagaimana dan pertanyaan lain yang membuat kegalauan di hatinya kian tidak menentu. Arini menundukkan kepalanya dan membuang napasnya agar rasa galau di hatinya ikut lenyap. Seharusnya sebuah pernikahan itu adalah peristiwa membahagiakan, tapi kenapa sekarang yang muncul adalah berjuta keraguan atas perolehan rasa bahagia itu. Ditatapnya kembali wajah rembulan. Rasa galau itu belum hilang, meski dia sangat ingin melenyapkan rasa yang sangat mengganggu itu.

---00000---


Sudah lebih dari satu jam Aditia mengamati pohon rambutan dengan teropong mininya. Arini mendekati adik semata wayangnya itu hati-hati.

“Lihat apa sih dik, dari tadi kok asyik banget.“ Perlahan dirangkulnya pundak Aditia dari belakang. Aditia menurunkan teropongnya dan menoleh menatap kakaknya.

“Lihat lebah mbak. Tuh…, lihat deh mbak. Mereka lagi boyongan mau pindah sarang.” Teropong itu kini disodorkan padanya. Arini meletakkan teropong itu di depan matanya.

“Yang mana dik ?” Aditia cepat memindahkan teropong itu kembali ke matanya sendiri, setelah mematok tempat, Aditia memberi isyarat pada Arini untuk mendekat. Di kedua lingkaran jendela teropong itu kini tampak sebuah barisan lebah-lebah yang terbang beriringan mondar-mandir keluar masuk sarang segi enam mereka yang masih tampak kokoh. Makhluk kecil itu tampak terbang mengepakkan sayapnya sementara tubuh bagian ekornya tampak condong ke bawah. Tentu lebah itu membawa serta madu yang dihasilkan tubuhnya sehingga terlihat keberatan begitu. Kepakan sayapnya tampak bergerak sangat cepat sehingga menimbulkan suara berdengung yang ramai. Asyik juga mengamati kesibukan para lebah ini. Pantas Aditia dari tadi begitu asyik di depan jendela diam tak bergeming mengamati. Arini meletakkan siku kedua tangannya di bingkai jendela agar posisi mengintipnya nyaman.

“Hei… nggak Dik. Mereka nggak semuanya pindah. Ada juga yang tinggal.” “Masa sih mbak ? Darimana mbak tahu ?” Aditia memberondong Arini dengan pertanyaan sambil menarik ujung kemeja Arini.

“Itu.. lihat deh. “ Arini memberikan teropongnya pada Aditia sehingga kini kegiatan mengintip lewat teropong itu sudah berpindah tangan.

“Ada lebah yang keluar saja, dan tidak masuk lagi, mereka terus masuk dalam kelompok lebah yang terbang menjauhi sarang menuju pohon lain, tapi ada juga lebah yang keluar dari sarang, terbang berputar memutari pohon untuk kemudian masuk lagi. Itu artinya mereka tidak ikut pindah, tapi mereka sedang bertugas untuk menjaga sarang dan mengawasi agar lebah yang pindah tidak merusak sarang yang mereka tinggalkan. Prajurit lebah namanya.” Aditia menjauhkan teropong dari depan matanya mendengar keterangan Arini dan menatap Arini dengan wajah keheranan.

“Prajurit lebah? Itu cerita khayalan mbak Arin atau kenyataan nih? Memangnya kerajaan apa, ada prajuritnya segala?” Arini bengong sejenak, tapi langsung nyengir kuda setelah melihat alis mata Aditia yang bertaut kebingungan. Diacaknya rambut Aditia dengan sebelah tangannya.

“Yeeee…, beneran dong. Masa khayalan. Hehehe….”

“Nih…, gini Dik. Dalam kehidupan lebah, hanya ada satu komando, yaitu sang ratu lebah. Ratu lebah itulah yang bertelur. Lebah lain yang ada di masyarakatnya, ada yang bertugas untuk mencari madu,. Ada yang bertugas untuk menjaga sarang dari ancaman musuh, ada juga yang bertugas untuk menjaga telur-telur dan menyimpan madu yang dikumpulkan oleh lebah pekerja. Kerja sama dalam pembagian tugas ini yang membuat para lebah masing-masing bisa konsentrasi menghasilkan yang terbaik bagi masyarakatnya. Tapi, suatu saat, akan muncul lebah betina muda yang kualitasnya sama bagusnya dengan Ratu lebah. Karena tidak boleh ada dua Ratu, maka sang Ratu baru ini akan pindah mencari sarang baru, dan dia bisa membawa serta lebah-lebah pengikutnya untuk membuat koloni baru tersebut.” Aditia mendengarkan keterangan Arini tanpa berkedip. Bahkan tidak ada reaksi yang terjadi ketika teropong di tangannya diambil oleh Arini.

“Tuh…. Mereka menuju pohon nangka di rumah pak Haji Soleh di depan sana. Itu artinya sarang baru mereka di sana insya Allah.” Tidak ada reaksi apa-apa atau komentar sedikitpun dari Aditia selain,

“Mbak… kenapa mereka nggak berbagi tempat saja yah ? Membangun dari awal kan sulit, banyak resikonya. Padahal mereka di tempat yang lama sudah kenal dengan segala macam situasi, namanya juga lahir dan besar di sana. Kalau di tempat baru kan, masih asing. Belum bikin sarangnya yang buang waktu, belum nyari tempat buat nyari makanan, belum harus merhatiin takut kalau-kalau di tempat baru ternnyata nggak cocok dan nggak senyaman di tempat lama.” Aditia bertanya setengah bergumam.

Arini tidak langsung memberikan jawaban. Ditatapnya adik semata wayangnya itu dengan rasa sayang. Perbedaan usia di antara mereka cukup jauh. Arini masih duduk di SMP dan sudah merasa bahwa dia akan menjadi anak tunggal selamanya ketika ibu tirinya datang memberi tahu bahwa beberapa bulan lagi dia akan mendapatkan adik baru. Ibu kandung Arini memang sudah meninggal sejak Arini berusia sembilan tahun dan ayahnya menikah lagi empat tahun kemudian. Ibu barunya itulah yang memberinya adik baru bernama Aditia. Kebahagiaan mendapatkan adik baru itu, meski dari ibu yang lain, telah terwujud dalam perasaan sayang yang terasa tidak pernah mengering dari hari ke hari. Mungkin karena perbedaan usia yang jauh sehingga Arini sudah cukup mengerti bagaimana caranya menerima kehadiran adik baru.

“Mbak… ! Kok bengong sih ditanyain ?” Aditia mengguncang lengan Arini.

“Hmm, segala sesuatu itu sudah ditentukan jalannya oleh Allah dik.“

“Maksudnya mbak ?”

“Begini…,” Arini meneguk air liurnya sejenak, sekedar untuk membasahi tenggorokkannya yang terasa kering.

“Segala sesuatu di muka bumi ini dalam penciptaannya sudah diperhitungkan oleh Allah dalam sebuah ketetapan. Misalnya, tikus yang suka makan padi di sawah, ditetapkan akan mati dimakan oleh ular sawah. Karenanya, tikus yang bisa berkembang biak dengan sangat cepat itu tidak meraja lela di sawah pak tani. Nanti ular yang memakan tikus itu, akan dimakan oleh burung elang, burung elang akan dimakan oleh ular yang lebih besar dan lebih berbisa lagi, ular itu akan dimakan oleh harimau…begitu seterusnya.”

“Seperti siklus daur makanan di pelajaran biologi yah ?” Aditia bertanya sambil mengulum senyum dan duduk di sisi Arini.

“Betul. Kamu sudah sampai situ yah pelajaran biologinya ?” Arini mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut kepala adiknya itu.

“Iyah. Ekosistem namanya.” Aditia memberi keterangan dengan mimik wajah serius.

“Iyah, betul ekosistem namanya. Yah…, begitu deh dik. Al Quran sebenarnya sudah memberi pengajaran tentang pelajaran ekosistem itu terlebih dahulu jauh sebelum para ilmuwan biologi mengemukakan teori ekosistemnya. Semuanya disebut sebagai ketetapan dari Allah bagi manusia dan bumi tempat tinggalnya. Allah itu sudah memperhitungkan atas segala sesuatu yagn diciptakanNya, dan perhitungan Allah itu sudah meliputi mulai hal yang rumit sampai hal paling sepele. Tidak ada yang sia-sia dalam ciptaanNya. Kita meyakininya sebagai takdir yang sudah ditetapkan atas segala sesuatunya. Jadi tiap-tiap makhluk itu sudah ditentukan bahwa dia akan berjalan menggunakan kakinya misalnya, atau si A terlahir sebagai wanita sedangkan B sebagai pria, atau gajah akan mengibaskan telinga lebarnya agar tubuh besarnya tetap dalam keadaan seimbang dan kulit tebalnya tidak menimbulkan rasa penat kepanasan. Lembu yang sulit mengusir kutu-kutu di tubuhnya akan dibantu oleh burung yang akan memakan kutu-kutu itu. Itulah takdir, ketetapan Allah atas segala sesuatunya. Setiap kelemahan yang ada pada setiap makhluk ciptaan Allah selalu diiringi dengan kelebihan tersendiri dan itulah yang menjadi perlindungan bagi makhluk itu.”

Arini berhenti bicara dan mendapati Aditia sedang menatapnya tanpa berkedip dengan mulut menganga. Adiknya itu tampak mempertautkan kedua alisnya dan keningnya pun tampak berkerut-kerut. Wah, pasti tadi Arini sudah terlalu bersemangat bercerita panjang lebar mengalahkan semua singa podium. Arini tersenyum sumringah, malu sendiri.

“Bingung yah Dik ?” Arini menjentikkan dagu Aditia yang turun ke bawah hingga mulut Aditia yang terbuka karena bengong tertutup. Tapi Aditia mengangguk cepat sebagai reaksi akhirnya.

“Iyah.. ribet banget sih mbak neranginnya. Puanjanggggggg kayak kereta api. ” Arini tersenyum dan mengacak-acak rambut Aditia.

“Hmm, kalau gitu…, kamu ambil Al Quran dan ensiklopedia tentang lingkungan hidup gih, mbak terangin satu-satu.”

“Hah ?” Aditia menatap Arini masih dalam sisa bengongnya.

“Ngaji ? Ihhhh…, malas ah ! Nanti juga Adit ngaji di TPA.” Aditia spontan bangkit berdiri dan berjalan mundur menjauhi Arini.

“Yee…, bukan lagi. Kita belajar eh bukan… kita buat penelitian tentang lingkungan sekitar, hmm, soal lebah juga boleh dibahas nanti, tapi dihubungkan dengan Al Quran, asyik loh… tadabur alam namanya. “ Aditia masih menatap Arini ragu-ragu. Arini hanya tersenyum dan memasang wajah serius buru-buru.

“Pokoknya beda deh ama ngaji kayak di pengajian itu, ini lebih asyik.” Tidak ada reaksi dari Aditia, yang ada adalah rasa kurang percaya yagn terlukis di wajahnya.

“Coba dulu, kamu belum tahu kan, jadi jangan curiga dulu bahwa hal ini akan membosankan.” Glek ! Arini jadi teringat sesuatu. Astaghfirullah, itulah yang terjadi pada dirinya sendiri beberapa hari belakangan ini. Rasa curiga, prasangka buruk akan ketetapan hari esok yang akan dia jalani.

Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengingatkan hamba hari ini.

Kehidupan setiap makhluk itu sudah diperhitungkan oleh Allah, dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pengasih. Dia tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hambaNya. Jadi apapun yang terjadi di hari esok tentunya sudah ada dalam perhitunganNya. Kenapa harus ragu dan bingung ? Wahh.. kenapa bisa lupa yah ? Arini semakin mantap kini dan itu mempengaruhi semangatnya untuk menerangkan banyak hal pada adik semata wayangnya itu. Semua pertanyaan dia coba jawab dengan kalimat sederhana dan santai dan dicoba untuk dikaitkan dengan Al Quran, agar adiknya tidak lagi mempunyai prasangka bahwa mengkaji Al Quran itu adalah sesuatu yang membosankan. Untuk jatuh cinta pada Al Quran itu harus dimulai dengan mengenalnya terlebih dahulu.

“Mbak…, memangnya ada yah binatang menyusui yang bertelur ?” Aditia tidak henti-hentinya bertanya, hingga matahari condong ke arah barat, dan azan ashar terdengar di kejauhan.

Nanti malam, bulan purnama muncul lagi, dan insya Allah itu adalah bulan purnama terakhir yang bisa Arini nikmati dari bingkai jendela kamarnya sebagai seorang gadis, karena minggu depan dia akan menikah. Arini tersenyum dalam hati, keyakinannya akan perlindungan Allah kian menancap erat di dalam hati. Terserah bagaimana warna hari esok, karena yang utama itu adalah apa yang kita usahakan hari ini. Jika kita melakukannya dengan baik insya Allah hasilnya akan baik pula dan akan lebih baik lagi jika diiringi dengan tujuan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah semata. Subhanallah, Maha Suci Allah.

---00000---


“Dia Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya takdir (ketetapan) yang sesempurna-sempurnanya “(QS. 25 :2)

“Dan tidak sesuatu pun kecuali ada di sisi Kami khasanah (sumber)nya dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan kadar (ukuran) tertentu”(QS. 15 :21)

dimuat di www.kafemuslimah.com

Pada sebuah Kepastian dan sebuah Ketidak Pastian

Sebutkah satu saja hal yang paling pasti datangnya.
Jawabnya bukan cinta. Apatah lagi nasib baik atau peruntungan.

Saya kenal seseorang yang selalu mengedepankan logika dalam segala sesuatu yang dia kerjakan. Segala sesuatunya selalu disertai alasan yang masuk akal. Bahwa setelah siang pasti ada malam. Bahwa dahaga akan hilang segera setelah kita minum. Dan lapar akan sirna segera setelah kita makan. Bahwa satu ditambah satu pasti dua. Dan dua dikali dua pasti empat.

Bahwa kedudukan pasti akan datang pada mereka yang mau berusaha keras mengejarnya. Bahwa penyakit akan pergi menyingkir ketika kita giat mencegahnya dengan berbagai kiat sehat.

Suatu hari, ketika kakinya yang kuat dan perkasa itu sedang berjalan di atas titian yang beraspal halus tanpa lubang atau undakan, dia terjatuh bersimpuh. Kakinya sakit jika ditegakkan. Setelah dibawa ke dokter, ternyata dia terkena osteoporosis. Begitu pernyataan dokter setelah dia melalui serangkaian pemeriksaan yang seksama.
Tiba-tiba, seribu tanda tanya muncul di atas kepalanya. Ujung tajam jarum yang berkilat memecahkan gelembung tanda tanya itu satu persatu tapi tanda tanya itu tidak jua berkurang jumlahnya. Menyiramkan cairan bingung di wajah teman saya itu seketika. Terguyur oleh rasa tidak percaya atas kenyataan yang baru saja didengarnya.
Bagaimana tidak? Teman saya itu seorang instruktur senam aerobic. Berbagai macam gaya aerobic telah dia pelajari dan akhirnya dia sebarkan lewat pengajaran senam di studio senamnya yang mapan. Pola hidup sehat adalah sesuatu yang harus senantiasa dikunyahnya setiap hari. Tapi mengapa hantu osteoporosis malah datang menguntitnya?

“Ternyata, apa yang pasti itu tidak pasti ya De di dunia ini. Selalu datang sebuah kenyataan baru yang justru membalik kenyataan yang telah kita yakini selama ini. Kadang, penyebabnya tidak diketahui pasti. Tapi, aku merasa, dia datang khusus untuk menegurku bahwa ada campur tangan Tuhan dalam segala sesuatunya, termasuk pada sesuatu yang sudah amat pasti menurut logika manusia.”

Aku tersenyum. Entah mau member komentar apa. Membiarkan kenyataan ini mengendap begitu saja menjadi seperti semen yang terus bertahan menempel di dinding bata. Mungkin hingga terik matahari membuatnya amat kering lalu mengelupasnya satu persatu. Cecerannya jatuh ke atas lantai. Angin menerbangkannya hilir mudik tak tentu arah hingga menghilang. Hingga kejadian ini terlupa begitu saja.
Hingga aku bertemu dengan seorang teman lama. Hingga aku terperangah melihat keberadaannya sekarang.

Dahulu, temanku ini bisa dikatakan anak yang nakal. Sekolah harus dipaksa dahulu oleh orang tuanya. Bisa jadi, jika ibunya tidak pernah punya persediaan air mata untuk membujuk, mungkin dia tidak akan pernah duduk di bangku sekolah. Atau jika ayahnya tidak pernah memakai sabuk pinggang yang gampang dilepaskan dari lilitan di lingkar pinggang celana panjangnya, temanku ini tidak pernah mau belajar.

Terus terang. Dahulu aku hampir pasti menduga bahwa dia akan menjadi seorang sampah masyarakat ketika sudah dewasa nanti. Kebisaannya hanyalah memaksa orang untuk mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan ke pundaknya. Sementara dia berjalan dengan ringan membawa hasil pekerjaan yang tidak pernah dia kerjakan, temannya mengiriminya seribu kutukan dan sumpah serapah. Tak jarang kehadirannya merupakan hal pertama yang paling tidak diinginkan oleh teman-temannya. Bagaimana tidak jika sehari-hari pekerjaannya hanyalah mabuk, memaki dan menggoda anak perempuan yang lewat di depannya dengan menarik rok mereka ke atas. Gara-gara dia, setiap kali lewat tempat dia nongkrong dengan teman-teman gangnya yang brutal-brutal, saya selalu berusaha menonggoskan gigi seri atas saya. Lalu menjerengkan kedua bola mata saya. Terkadang, jika sedang kena flu, saya biarkan ingus saya menggelantung di atas bibir saya. Biar saja si hijau itu jadi hiasan pengganti kumis. Ya. Itu harus. Karena gadis dengan wajah yang menjijikkan tidak akan digodanya. Saya selalu ingin menjadi gadis dengan wajah yang menggelikan, gadis yang amat sangat buruk rupa, gadis yang tidak punya nilai kecantikannya sama sekali jika lewat di depan hidungnya.

Dialah calon sampah masyarakat. Persangkaan itu yang ada didalam kepala saya. Bibit-bibit ke arah itu sudah amat kentara menunggu disemai. Pasti buahnya busuk dan bunganya memuakkan.

Tapi persangkaanku itu runtuh seketika ketika akhirnya aku bertemu denganya tanpa sengaja tiga puluh tahun kemudian. Di sebuah mushalla kecil di tepi kampung. Tubuhnya tetap kurus dan kerlingan matanya tetap sama seperti dulu. Hanya saja, kerlingan mata itu hanya sekejap menatap, tidak ada lagi kerlingan nakal. Yang ada adalah kesantunan dan kesopanan dengan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke sudut yang lain selain diri saya. Dia sekarang juga tidak lagi memiliki seringai yang menyeramkan seperti dulu. Yang membuat saya sangat ingin memiliki ilmu menghilangkan diri dalam seketika. Wajahnya amat teduh dan perilakunya amat santun.

“Saya mengajar ngaji disini. Setiap siang hingga menjelang malam, selalu ada saja yang meminta untuk dituntun membaca Al Quran. HIdup hanya sebentar, saya tidak mau mendapat rugi yang terlalu lama. Sambil menunggu kematian yang pasti akan datang.”
Takjub. Subhanallah. Lalu saya tiba-tiba ingat kenangan yang tersapu angin yang nakal. Tentang sebuah kepastian yang belum tentu pasti. “…bahwa ada campur tangan Tuhan dalam segala sesuatunya, termasuk pada sesuatu yang sudah amat pasti menurut logika manusia.”
----------------
Penulis: Ade Anita. menjelang 1 muharram 1431 H