kadang, aku ingin menghentikan waktu yang terus berjalan
agar dapat memainkan jutaan musik cinta bersamamu
Tapi jika diminta untuk memilih satu saja, aku ingin menghentikan laju matahari saja
hingga dapat menikmati malam yang indah bersamamu
menghitung bintang
meraih awan
lalu berlari-lari diantara lengkung sabit bulan
Jangan beranjak....
aku ingin kau tetap ada disampingku
kini dan selamanya
Lelaki Tua di atas Jembatan Penyeberangan
lelaki tua dan kucing sahabatnya
meringkuk, bersimpuh, memeluk lutut
di atas jembatan penyeberangan
yang melintas melintang diatas jalan bebas hambatan
sementara lampu-lampu mobil berpendar berseliweran disepanjang jalanan
mata lelaku tua itu terus memandang jauh
menembus hujan deras
melintasi cakrawala
apa yang ada dipikiranmu pak tua?
adakah kau memikirkan tentang kapal cintamu yang telah pergi membawa sauh meninggalkanmu?
ataukah kau memikirkan tentang nasib baik yang tak jua datang menghampirimu?
mungkin kucing gemuk yang jadi sahabatmu menjadi lebih beruntung ketimbang dirimu
tak ada rasa jijik bagi dirinya untuk menyantap makanan basi
pun tak ada reaksi berarti dari tubuhnya untuk menerima makanan sampah
tak ada bedanya menjadi kaya atau miskin bagi kucing gemuk itu
juga tak ada kebimbangan jika harus melalui situasi punya jabatan ataupun papa
lelaki tua dan kucing gemuk yang menjadi sahabatnya
memandang sendu kekaki langit diujung mimpi
berharap malam nanti mimpi indah akan datang menghampiri
penulis: Ade Anita, ketika melewati jembatan penyeberangan menuju rs tebet, jakarta
meringkuk, bersimpuh, memeluk lutut
di atas jembatan penyeberangan
yang melintas melintang diatas jalan bebas hambatan
sementara lampu-lampu mobil berpendar berseliweran disepanjang jalanan
mata lelaku tua itu terus memandang jauh
menembus hujan deras
melintasi cakrawala
apa yang ada dipikiranmu pak tua?
adakah kau memikirkan tentang kapal cintamu yang telah pergi membawa sauh meninggalkanmu?
ataukah kau memikirkan tentang nasib baik yang tak jua datang menghampirimu?
mungkin kucing gemuk yang jadi sahabatmu menjadi lebih beruntung ketimbang dirimu
tak ada rasa jijik bagi dirinya untuk menyantap makanan basi
pun tak ada reaksi berarti dari tubuhnya untuk menerima makanan sampah
tak ada bedanya menjadi kaya atau miskin bagi kucing gemuk itu
juga tak ada kebimbangan jika harus melalui situasi punya jabatan ataupun papa
lelaki tua dan kucing gemuk yang menjadi sahabatnya
memandang sendu kekaki langit diujung mimpi
berharap malam nanti mimpi indah akan datang menghampiri
penulis: Ade Anita, ketika melewati jembatan penyeberangan menuju rs tebet, jakarta
Engkau Di MImpiku
Sejenak terlelap membawaku menjumpai dirimu
Terduduk termenung di atas kursi goyang kesayanganmu
mata tuamu menatap lemah
kulit pipimu yang kendur terlihat bergayut tergantung dirahangmu yang mengeras
"Ayah...apa kabar? Sudah berbilang hari, pekan dan bulan tidak melihatmu." terbata meluncur satu satu kalimatku tertuju padamu
kerinduan ini sudah amat membuncah
ingin meledak saja rasanya dadaku tak sanggup menampung luapannya
"Bicaralah satu kata saja ayah. Boleh kata panjang, boleh kata pendek. Bicaralah tentang apa saja. Bahkan omelan dan teguranmu pun akan terdengar bagai alunan merdu seruling rindu. Tolong bicaralah sebentar saja, karena sungguh ade ingin mendengar suara tuamu yang mulai bergetar."
Tapi kau diam seribu basa. Bahkan ai mataku tidak merubah sikapmu.
Aku terhisak karena rasa rindu yang begitu menghimpit. Kupeluk ayahku erat-erat.
Aku pernah kehilangan beliau pada tanggal 28 februari 2009.
Rasa kehilangan itu masih terasa perih sampai sekarang.
Aku tidak mau lagi kehilangan ayahku untuk kedua kalinya
Pelukanku mengetat.
Tubuh tua ayah terasa berdenyut dalam dekapanku
Keriput kulit tuanya yang kendur seperti belaian angin di bulan desember
Tapi ayah masih tetap diam tanpa reaksi
Tak ada belaian sayang dikepalaku
Juga tak ada sepotong pun suara keluar dari mulutnya
Kepalanya hanya menoleh kesamping
Menatap sosok yang ternyata telah hadir secara tiba-tiba
"Ibu?...Subhanallah."
Ini pasti bukan mimpi
Ini nyata.
Aku melihat ibu sedang menatapku sendu
Aku berlari menyambar
Andai aku punya seribu kaki, tentu akan kupakai semuanya agar lariku kian cepat
Lalu tangisku kembali pecah
Kuhujani perempuan yang melahirkanku dengan susah payah tersebut dengan seribu kecupan
Inilah perempuan pertama yang tetap mencintai dan menyayangiku meski seluruh orang memandang rendah karena aku terlahir sebagai seorang perempuan
Dengan rasa kasihnya yang berlimpah, diberinya aku nama sederhana yang memiliki arti adik perempuan semata karena khawatir aku tak dapat bicara karena sudah lebih dari satu pekan tak seorang pun jua sudi memberi nama seorang bayi yang terlahir sebagai seorang perempuan
"Ibu kurus banget sekarang." aku menyentuh tubuh ibuku sejengkal demi sejengkal
Terakhir aku melihat tubuh ini pada tanggal 18 april 2003 silam
Sudah enam tahun berselang
Rasanya seperti baru kemarin saja
Mengikuti perubahan suhu tubuh ibuku mulai dari masih hangat hingga akhirnya dingin seperti es
"Kalian datang...terima kasih. Ade kangen banget. Tiap malam ade selalu kirim doa dan pesan. Jangan pergi lagi ya...Karena selama kalian hidup dulu ade belum pernah mengatakan satu hal...ade..."
Lalu tiba-tiba aku terjaga.
Mereka hanya mimpi
Perlahan sebutir air mata turun dari mataku
Tapi segumpal rindu telah menyesakkan dadaku dalam sekejap
Kenapa mimpi itu hanya sejenak saja
Mana bisa menghapus rindu yang sudah amat panjang kelokannya
Padahal, aku hanya ingin mengatakan
"ade sayang banget sama kalian. Terima kasih untuk segalanya."
-----
Ketika baru saja terjaga dari tidur pendek disiang hari; 21 november 2009, pk. 14:52 wib.
penulis: ade anita (mataku bengkak habis menangis krn rindu; maaf tidak diedit lagi)
Terduduk termenung di atas kursi goyang kesayanganmu
mata tuamu menatap lemah
kulit pipimu yang kendur terlihat bergayut tergantung dirahangmu yang mengeras
"Ayah...apa kabar? Sudah berbilang hari, pekan dan bulan tidak melihatmu." terbata meluncur satu satu kalimatku tertuju padamu
kerinduan ini sudah amat membuncah
ingin meledak saja rasanya dadaku tak sanggup menampung luapannya
"Bicaralah satu kata saja ayah. Boleh kata panjang, boleh kata pendek. Bicaralah tentang apa saja. Bahkan omelan dan teguranmu pun akan terdengar bagai alunan merdu seruling rindu. Tolong bicaralah sebentar saja, karena sungguh ade ingin mendengar suara tuamu yang mulai bergetar."
Tapi kau diam seribu basa. Bahkan ai mataku tidak merubah sikapmu.
Aku terhisak karena rasa rindu yang begitu menghimpit. Kupeluk ayahku erat-erat.
Aku pernah kehilangan beliau pada tanggal 28 februari 2009.
Rasa kehilangan itu masih terasa perih sampai sekarang.
Aku tidak mau lagi kehilangan ayahku untuk kedua kalinya
Pelukanku mengetat.
Tubuh tua ayah terasa berdenyut dalam dekapanku
Keriput kulit tuanya yang kendur seperti belaian angin di bulan desember
Tapi ayah masih tetap diam tanpa reaksi
Tak ada belaian sayang dikepalaku
Juga tak ada sepotong pun suara keluar dari mulutnya
Kepalanya hanya menoleh kesamping
Menatap sosok yang ternyata telah hadir secara tiba-tiba
"Ibu?...Subhanallah."
Ini pasti bukan mimpi
Ini nyata.
Aku melihat ibu sedang menatapku sendu
Aku berlari menyambar
Andai aku punya seribu kaki, tentu akan kupakai semuanya agar lariku kian cepat
Lalu tangisku kembali pecah
Kuhujani perempuan yang melahirkanku dengan susah payah tersebut dengan seribu kecupan
Inilah perempuan pertama yang tetap mencintai dan menyayangiku meski seluruh orang memandang rendah karena aku terlahir sebagai seorang perempuan
Dengan rasa kasihnya yang berlimpah, diberinya aku nama sederhana yang memiliki arti adik perempuan semata karena khawatir aku tak dapat bicara karena sudah lebih dari satu pekan tak seorang pun jua sudi memberi nama seorang bayi yang terlahir sebagai seorang perempuan
"Ibu kurus banget sekarang." aku menyentuh tubuh ibuku sejengkal demi sejengkal
Terakhir aku melihat tubuh ini pada tanggal 18 april 2003 silam
Sudah enam tahun berselang
Rasanya seperti baru kemarin saja
Mengikuti perubahan suhu tubuh ibuku mulai dari masih hangat hingga akhirnya dingin seperti es
"Kalian datang...terima kasih. Ade kangen banget. Tiap malam ade selalu kirim doa dan pesan. Jangan pergi lagi ya...Karena selama kalian hidup dulu ade belum pernah mengatakan satu hal...ade..."
Lalu tiba-tiba aku terjaga.
Mereka hanya mimpi
Perlahan sebutir air mata turun dari mataku
Tapi segumpal rindu telah menyesakkan dadaku dalam sekejap
Kenapa mimpi itu hanya sejenak saja
Mana bisa menghapus rindu yang sudah amat panjang kelokannya
Padahal, aku hanya ingin mengatakan
"ade sayang banget sama kalian. Terima kasih untuk segalanya."
-----
Ketika baru saja terjaga dari tidur pendek disiang hari; 21 november 2009, pk. 14:52 wib.
penulis: ade anita (mataku bengkak habis menangis krn rindu; maaf tidak diedit lagi)
Resensi bukunya NUthayla Anwar
Hamparan cinta yg terlihat setelah air mata mengering (sebuah resensi dari seorang sahabat untuk Buku pertama Nuthayla Anwar: “As Tears Dry Out")
Ada dua saat dimana bola mata yang kita miliki ini, akan berbinar penuh cinta. Yang pertama, ketika kita melonjak gembira karena mendapatkan sesuatu yang kita impikan selama ini. Yang kedua disaat kita sedang jatuh cinta dan bola mata ini menatap kehadiran dia yang membuat diri ini jatuh cinta. Bagaimana dengan saat lain? Itu semua tergantung, apakah kedua suasana di atas sedang terjadi atau tidak.
Segala sesuatunya di dunia ini akan berawal dari sesuatu yang disebut permulaan. Ketika kali pertama menemukan sesuatu yang kita impikan atau inginkan selama ini, bahagianya pasti bukan alang kepalang. Jika keesokan hari diberi lagi barang yang sama, bahagia yang didapat mulai berkurang kualitasnya. Begitu seterusnya jika tiap hari sesuatu yang kita impikan itu dihadirkan saban harinya, hingga akhirnya lonjakan bahagia itu hilang dan berubah wujud menjadi sesuatu yang rutin dan membosankan. Manusia memang memiliki sifat dasar tidak pernah puas dengan apa yang telah dia peroleh. Jika belum dapat sesuatu, dia akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Jika pada akhirnya berhasil mendapatkannya, dia mulai berencana untuk memperoleh lebih dan mulai sibuk mengejar nilai lebihnya itu. Terus. Hingga tidak lagi merasakan sensasi kenikmatan atas apa yang telah diperoleh selama ini.
Demikianlah yang terjadi pada orang yang jatuh cinta. Berapa lama desir-desir cinta bisa menghadirkan rona merah jambu pada wajah seseorang? Umumnya di saat-saat pertama. Saat pertama kali mendengar nama kita disebut oleh pujaan hati. Saat pertama kali mendengar pernyataan cintanya. Saat pertama kali mendengar ijab Kabul. Saat pertama kali berhasil duduk bersanding berdua. Saat pertama kali mendapat ciuman pertama. Dan saat pertama – saat pertama kali lainnya. Ketika saat pertama itu hadir keesokan harinya dengan acara yang sama, sensasi desiran cintanya mulai tidak terlalu menggebu lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya perasaan nyaman dan aman karena “telah berhasil” memilikinya menghilangkan semua sensasi desiran cinta. Semua jadi biasa. Semua jadi mulai jadi rutinitas. Semua yang awalnya terlihat indah menjadi pemandangan yang biasa saja. Mata sudah terbiasa menerima stimulus yang sama selama kurun waktu yang lama.
Mata pun lalu kehilangan binar cinta, jiwa lalu menjadi kering dan jika tubuh terus dihela untuk menjalani rutinitas ini terus menerus, hatipun bisa berubah menjadi batu. Untuk itu, Allah SWT, Tuhan Yang Maha Penyayang, menciptakan kemampuan untuk memejamkan mata sejenak dalam sebuah istirahat bagi raga yang terus terjaga, dan menciptakan kemampuan untuk menangis sebagai pelepas penat jiwa.
Seorang bayi yang menangis kencang, menyelamatkan hidupnya dari rasa lapar, kedinginan karena berenang diatas air seninya sendiri, sekaligus membuat dirinya yang belum dapat berjalan atau berkata-kata memperoleh semua kebutuhan hidupnya. Menangis pada orang dewasa, membuat orang dewasa bisa melepas penat dan sedih yang memenuhi relung dada mereka. Menangis, bisa membuat mata yang selama ini tertutup kabut rutinitas, kembali jernih untuk dapat melihat segala sesuatunya lebih jelas lagi. Bukankah mutiara atau berlian yang paling indah dan mahal di dunia ini, tidak akan terlihat istimewa dihadapan mata yang tertutup?
Tampaknya, inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Nuthayla Anwar dalam buku kumpulan cerpen dan resep masakannya. Ada 12 kisah kehidupan yang dilukiskan oleh Nuthayla Anwar dengan kepiawaiannya mengolah kata dan menjalin cerita. Yang menarik adalah, dengan cerdas, Nuthayla Anwar berusaha mengaitkan semua cerita fiksi ini ke dunia nyata dengan berbagai resep masakan yang bisa dicoba di dapur pembaca bukunya.
Ada Kisah Menjemput Cinta yang dikaitkan dengan cerdik dengan resep Soto Betawi, lengkap dengan foto berwarna dan segala macam bahan yang diperlukan dan cara membuatnya. Ada juga Ketika Sepatu Berkisah dan Resep Lasagna. Lalu Reuni dan resep Makaroni Panggang dengan bayam dan wortel, serta Nugget ayam dengan brokoli serta cerita-cerita dan resep-resep lainnya.
Jangan pernah mengira bahwa semua cerita ini akan menjadi tayangan cerita dengan pesan sponsor resep masakan tertentu. Tidak. Para pembaca tidak akan menemukan sisipan pesan sponsor resep masakan. Meski demikian, resep masakan yang tersaji di belakang tiap-tiap cerita ternyata merupakan sebuah kesatuan yang saling melengkapi.
Kadang, Nuthayla Anwara mencoba menggambarkan bagaimana seseorang yang tidak memiliki perasaan atau pemikiran yang cukup berpengaruh bagi lingkungannya seperti halnya sandal jepit hanyut yang pasrah kemana pun air menggiringnya (hal. 11). Tanpa harus dijelaskan lebih detail, kita semua akan langsung membayangkan seperti apa rasanya sosok sandal jepit hanyut itu. Semua pasti sepakat, itulah gambaran orang yang tidak memiliki pikiran, tidak peduli dengan lingkungan sekelilingnya, bahkan mungkin tidak peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Semua benda memang mewakili sosok yang tidak punya perasaan dan akal pemikiran. Tapi, di lembar-lembar berikutnya, Nuthayla membuat kejutan dengan kisah yang justru berlawanan sama sekali dengan istilah sandal jepit hanyut tersebut. Dia berkisah tentang perasaan dan semua alam pemikiran yang berkecamuk pada sepasang sepatu (hal 25 dan seterusnya). Luar biasa dan amat tidak terduga.
Dan rupanya, kejadian di luar dugaan selalu menjadi bumbu istimewa dalam semua cerita yang disajikan dalam buku As Tears Dry Out ini. Menjadi semakin memikat karena ketika kita berpikir bahwa itu semua adalah cerita rekaan dan fiktif belaka, Nuthayla mencoba mengajak kita untuk merasakan resep-resep masakan yang disajikannya setelah sebuah cerita selesai diuraikan. Mau tidak mau, kita kembali terkenang dengan tokoh-tokoh fiktif tersebut dan merasakan kehadiran mereka bersamaan dengan hadirnya resep-resep nyata yang bisa dicoba di dapur.
Kreatif. Itu kesan pertama yang hadir ketika selesai membaca tiap-tiap tulisan yang ada di buku ini. Berikutnya, kita juga akan disajikan bermacam-macam kosa kata yang unik yang tersebar dalam buku penyair dunia maya ini. Ada kata “tidak lantak sepemergian” untuk menggambarkan sosok yang kehilangan (hal. 11). Ada juga kata “menanding” untuk menggantikan kata menimbang (hal.9). Atau sebuah warna unik “kuning kunyit” (hal. 41). Seperti apa kuning kunyit itu? Dia memang tidak masuk kelompok kuning cerah, atau kuning gelap, atau kuning yang terlalu banyak pengaruh merahnya hingga berubah jadi jingga. Tapi, mirip kunyit. Sebuah nama bumbu masak (terus terang, aku sendiri baru tahu yang namanya kunyit ini setelah satu bulan menikah di usia 23 tahun dahulu. Apakah para wanita karir yang tidak pernah turun ke dapur tahu kunyit itu seperti apa dan kuningnya seperti apa? Entahlah. Tapi, ternyata warna ini ada dan nyata). Juga warna jambon (hal. 46). Terus terang, aku tidak pernah tahu seperti apa warna jambon itu. Tapi, melihat konteks tulisannya, “Kulitnya yang putih, bibirnya yang mungil berwarna jambon…”, mungkin ini sebutan lain untuk warna merah. Merah seperti apa? Entahlah. Tapi jujur, ini menambah perbendahaan kosa kata buatku pribadi.
Tapi, yang paling membuatku surprise dan gembira adalah kisah tentang Prahara. Jika selama ini media-media cetak dan elektronika rajin memberitakan tentang penderitaan para tenaga kerja wanita di luar negeri, yang berbanding terbalik dengan kenyataan yang terpapar ketika kita berpapasan dengan mereka di atas pesawat (yang umumnya tampil dengan dandanan dan perilaku berani dan agresif, jauh dari kesan terlunta-lunta seperti yang diangkat di pemberitaan), maka dalam kisah Prahara ini, justru Nuthayla Anwar mengangkat kisah kebaikan majikan dan para tenaga kerja wanita Indonesianya. Ini bagaikan oase untuk berita-berita miring tentang perlakuan para majikan terhadap para tenaga kerja wanita kita di luar negeri sana.
What a surprise!
Mungkin memang harus melihat sisi lain jika sebuah sisi sudah amat sangat menjemukan dan membuat penat. Karena bisa jadi, cinta tidak pernah mati, hanya saja tertutup oleh hati yang telah mengeras oleh kejenuhan. Melengkapi hamparan cinta yang terlihat setiap kali kita selesai menangis.
Mungkin, memang lebih baik dibaca langsung saja buku ini. Menarik deh dijamin. ^_^
**Jakarta, 2 Desember 2009 (penulis Ade Anita)
Ada dua saat dimana bola mata yang kita miliki ini, akan berbinar penuh cinta. Yang pertama, ketika kita melonjak gembira karena mendapatkan sesuatu yang kita impikan selama ini. Yang kedua disaat kita sedang jatuh cinta dan bola mata ini menatap kehadiran dia yang membuat diri ini jatuh cinta. Bagaimana dengan saat lain? Itu semua tergantung, apakah kedua suasana di atas sedang terjadi atau tidak.
Segala sesuatunya di dunia ini akan berawal dari sesuatu yang disebut permulaan. Ketika kali pertama menemukan sesuatu yang kita impikan atau inginkan selama ini, bahagianya pasti bukan alang kepalang. Jika keesokan hari diberi lagi barang yang sama, bahagia yang didapat mulai berkurang kualitasnya. Begitu seterusnya jika tiap hari sesuatu yang kita impikan itu dihadirkan saban harinya, hingga akhirnya lonjakan bahagia itu hilang dan berubah wujud menjadi sesuatu yang rutin dan membosankan. Manusia memang memiliki sifat dasar tidak pernah puas dengan apa yang telah dia peroleh. Jika belum dapat sesuatu, dia akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Jika pada akhirnya berhasil mendapatkannya, dia mulai berencana untuk memperoleh lebih dan mulai sibuk mengejar nilai lebihnya itu. Terus. Hingga tidak lagi merasakan sensasi kenikmatan atas apa yang telah diperoleh selama ini.
Demikianlah yang terjadi pada orang yang jatuh cinta. Berapa lama desir-desir cinta bisa menghadirkan rona merah jambu pada wajah seseorang? Umumnya di saat-saat pertama. Saat pertama kali mendengar nama kita disebut oleh pujaan hati. Saat pertama kali mendengar pernyataan cintanya. Saat pertama kali mendengar ijab Kabul. Saat pertama kali berhasil duduk bersanding berdua. Saat pertama kali mendapat ciuman pertama. Dan saat pertama – saat pertama kali lainnya. Ketika saat pertama itu hadir keesokan harinya dengan acara yang sama, sensasi desiran cintanya mulai tidak terlalu menggebu lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya perasaan nyaman dan aman karena “telah berhasil” memilikinya menghilangkan semua sensasi desiran cinta. Semua jadi biasa. Semua jadi mulai jadi rutinitas. Semua yang awalnya terlihat indah menjadi pemandangan yang biasa saja. Mata sudah terbiasa menerima stimulus yang sama selama kurun waktu yang lama.
Mata pun lalu kehilangan binar cinta, jiwa lalu menjadi kering dan jika tubuh terus dihela untuk menjalani rutinitas ini terus menerus, hatipun bisa berubah menjadi batu. Untuk itu, Allah SWT, Tuhan Yang Maha Penyayang, menciptakan kemampuan untuk memejamkan mata sejenak dalam sebuah istirahat bagi raga yang terus terjaga, dan menciptakan kemampuan untuk menangis sebagai pelepas penat jiwa.
Seorang bayi yang menangis kencang, menyelamatkan hidupnya dari rasa lapar, kedinginan karena berenang diatas air seninya sendiri, sekaligus membuat dirinya yang belum dapat berjalan atau berkata-kata memperoleh semua kebutuhan hidupnya. Menangis pada orang dewasa, membuat orang dewasa bisa melepas penat dan sedih yang memenuhi relung dada mereka. Menangis, bisa membuat mata yang selama ini tertutup kabut rutinitas, kembali jernih untuk dapat melihat segala sesuatunya lebih jelas lagi. Bukankah mutiara atau berlian yang paling indah dan mahal di dunia ini, tidak akan terlihat istimewa dihadapan mata yang tertutup?
Tampaknya, inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Nuthayla Anwar dalam buku kumpulan cerpen dan resep masakannya. Ada 12 kisah kehidupan yang dilukiskan oleh Nuthayla Anwar dengan kepiawaiannya mengolah kata dan menjalin cerita. Yang menarik adalah, dengan cerdas, Nuthayla Anwar berusaha mengaitkan semua cerita fiksi ini ke dunia nyata dengan berbagai resep masakan yang bisa dicoba di dapur pembaca bukunya.
Ada Kisah Menjemput Cinta yang dikaitkan dengan cerdik dengan resep Soto Betawi, lengkap dengan foto berwarna dan segala macam bahan yang diperlukan dan cara membuatnya. Ada juga Ketika Sepatu Berkisah dan Resep Lasagna. Lalu Reuni dan resep Makaroni Panggang dengan bayam dan wortel, serta Nugget ayam dengan brokoli serta cerita-cerita dan resep-resep lainnya.
Jangan pernah mengira bahwa semua cerita ini akan menjadi tayangan cerita dengan pesan sponsor resep masakan tertentu. Tidak. Para pembaca tidak akan menemukan sisipan pesan sponsor resep masakan. Meski demikian, resep masakan yang tersaji di belakang tiap-tiap cerita ternyata merupakan sebuah kesatuan yang saling melengkapi.
Kadang, Nuthayla Anwara mencoba menggambarkan bagaimana seseorang yang tidak memiliki perasaan atau pemikiran yang cukup berpengaruh bagi lingkungannya seperti halnya sandal jepit hanyut yang pasrah kemana pun air menggiringnya (hal. 11). Tanpa harus dijelaskan lebih detail, kita semua akan langsung membayangkan seperti apa rasanya sosok sandal jepit hanyut itu. Semua pasti sepakat, itulah gambaran orang yang tidak memiliki pikiran, tidak peduli dengan lingkungan sekelilingnya, bahkan mungkin tidak peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Semua benda memang mewakili sosok yang tidak punya perasaan dan akal pemikiran. Tapi, di lembar-lembar berikutnya, Nuthayla membuat kejutan dengan kisah yang justru berlawanan sama sekali dengan istilah sandal jepit hanyut tersebut. Dia berkisah tentang perasaan dan semua alam pemikiran yang berkecamuk pada sepasang sepatu (hal 25 dan seterusnya). Luar biasa dan amat tidak terduga.
Dan rupanya, kejadian di luar dugaan selalu menjadi bumbu istimewa dalam semua cerita yang disajikan dalam buku As Tears Dry Out ini. Menjadi semakin memikat karena ketika kita berpikir bahwa itu semua adalah cerita rekaan dan fiktif belaka, Nuthayla mencoba mengajak kita untuk merasakan resep-resep masakan yang disajikannya setelah sebuah cerita selesai diuraikan. Mau tidak mau, kita kembali terkenang dengan tokoh-tokoh fiktif tersebut dan merasakan kehadiran mereka bersamaan dengan hadirnya resep-resep nyata yang bisa dicoba di dapur.
Kreatif. Itu kesan pertama yang hadir ketika selesai membaca tiap-tiap tulisan yang ada di buku ini. Berikutnya, kita juga akan disajikan bermacam-macam kosa kata yang unik yang tersebar dalam buku penyair dunia maya ini. Ada kata “tidak lantak sepemergian” untuk menggambarkan sosok yang kehilangan (hal. 11). Ada juga kata “menanding” untuk menggantikan kata menimbang (hal.9). Atau sebuah warna unik “kuning kunyit” (hal. 41). Seperti apa kuning kunyit itu? Dia memang tidak masuk kelompok kuning cerah, atau kuning gelap, atau kuning yang terlalu banyak pengaruh merahnya hingga berubah jadi jingga. Tapi, mirip kunyit. Sebuah nama bumbu masak (terus terang, aku sendiri baru tahu yang namanya kunyit ini setelah satu bulan menikah di usia 23 tahun dahulu. Apakah para wanita karir yang tidak pernah turun ke dapur tahu kunyit itu seperti apa dan kuningnya seperti apa? Entahlah. Tapi, ternyata warna ini ada dan nyata). Juga warna jambon (hal. 46). Terus terang, aku tidak pernah tahu seperti apa warna jambon itu. Tapi, melihat konteks tulisannya, “Kulitnya yang putih, bibirnya yang mungil berwarna jambon…”, mungkin ini sebutan lain untuk warna merah. Merah seperti apa? Entahlah. Tapi jujur, ini menambah perbendahaan kosa kata buatku pribadi.
Tapi, yang paling membuatku surprise dan gembira adalah kisah tentang Prahara. Jika selama ini media-media cetak dan elektronika rajin memberitakan tentang penderitaan para tenaga kerja wanita di luar negeri, yang berbanding terbalik dengan kenyataan yang terpapar ketika kita berpapasan dengan mereka di atas pesawat (yang umumnya tampil dengan dandanan dan perilaku berani dan agresif, jauh dari kesan terlunta-lunta seperti yang diangkat di pemberitaan), maka dalam kisah Prahara ini, justru Nuthayla Anwar mengangkat kisah kebaikan majikan dan para tenaga kerja wanita Indonesianya. Ini bagaikan oase untuk berita-berita miring tentang perlakuan para majikan terhadap para tenaga kerja wanita kita di luar negeri sana.
What a surprise!
Mungkin memang harus melihat sisi lain jika sebuah sisi sudah amat sangat menjemukan dan membuat penat. Karena bisa jadi, cinta tidak pernah mati, hanya saja tertutup oleh hati yang telah mengeras oleh kejenuhan. Melengkapi hamparan cinta yang terlihat setiap kali kita selesai menangis.
Mungkin, memang lebih baik dibaca langsung saja buku ini. Menarik deh dijamin. ^_^
**Jakarta, 2 Desember 2009 (penulis Ade Anita)
BUkan Cerita Bersambung
Alhamdulillah. Untuk seorang ibu rumah tangga yang tidak pandai berkata-kata, masalah mis comunication antara anakku dan institusi pendidikannya bisa diselesaikan. Ternyata, punya kemampuan menulis itu tidak merugikan sama sekali. Setelah berbicara panjang lebar dan berada disudut, saya keluarkan tulisan saya.
you'll still be the sweetest little baby in town.
“Pianikanya kok nggak pernah dibawa lagi?” Putriku langsung tersenyum pahit mendengar pertanyaanku. Kepalanya terlihat menggeleng. “Sudah nggak perlu lagi.” Aku menatapnya heran. “Mengapa?” Wajah putriku langsung tertunduk lesu. “Kemarin aku dikeluarkan dari kelompok pemain pianika.” Aku menatap wajah putriku serius. “Alasannya?” sebuah senyum kecut hadir di wajah putriku yang sendu. “Dalam seleksi, pelatihnya bertanya padaku, apakah aku bersedia melepas jilbabku jika aku terpilih ikut lomba. Aku bilang aku tidak mau. Lalu, mereka langsung mengeluarkan aku.”
Smile (mengenang Michael Jackson yg suka banget dengan lagu ini)
Smile though your heart is aching
Smile even though it's breaking
When there are clouds in the sky, you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through for you
Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smile
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smie
http://www.youtube.com/watch?v=m6L4k-6RL2E&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=Gza1rpO0bFs&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=nCpD72b-dfs&feature=related
Smile even though it's breaking
When there are clouds in the sky, you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through for you
Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smile
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smie
http://www.youtube.com/watch?v=m6L4k-6RL2E&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=Gza1rpO0bFs&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=nCpD72b-dfs&feature=related
Menjemput Kesempatan Terakhir
Akhirnya terkumpul juga rezeki yang cukup lumayan diawal bulan yang penuh berkah ini, ramadhan 1430 H. "Temani aku ke lembaga yang resmi menyalurkan shadaqah, infaq, waqaf dan zakat mas." lembut kuajak suamiku.
" Boleh. Mau shadaqah kemana?"
"Mana saja deh. Utamanya sih aku mau waqaf atas nama ayah almarhum. Aku masih memegang sedikit uang ayah ditabunganku, mau aku waqafin saja semuanya atas nama ayah almarhum. Saat ini, dibulan yang suci ini, ayah pasti membutuhkan banyak suplai tambahan pahala dialam kuburnya." Lalu kami meluncur ketempat penyaluran. "
Allah, sampaikan salamku untuk ayah. Please tell him I Love Him and I Miss Him so much."
Waktu kecil ayah pernah senyum-senyum liat aku muncul dari dalam kamar dengan rambut basah karena baru selesai mandi sore. Kemeja ayah bertengger ditubuhku dengan sempurna. Agak longgar karena dahulu tubuhku memang ceking. "Kok, sejak kapan baju ayah jadi punya kamu?" Aku tersenyum. "Sejak ada yang salah masukinnya ke lemari ade. Kan ade dah bilang berkali- kali, apa saja yang masuk ketempat ade dua kali duapuluh empat jam nda diambil-ambil jadi milik ade." Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya sudah terserah kamulah. Toh semua yang ayah miliki bakalan jadi milik anak ayah juga. Tapi kalau punya orang lain jangan ya nak. Itu sama saja dengan mencuri namanya."
"Tapi kan emang gitu aturannya?" Aku mengangkat alis mataku sambil tersenyum menggoda ayah.
"Hush! Semuanya kan harus sesuai dengan haknya. Jika memang sudah haknya, dengan berbagai macam cara akan kembali pada yang berhak. Kamu mau kamu yang mengembalikannya sendiri atau harus nunggu Allah yang maksa kamu untuk mengembalikannya?"
"Maksud ayah?" aku beranjak untuk duduk disamping ayah.
"Ya, kalau memang sesuatu itu bukan punya kamu, maka ada seribu satu macam cara Allah untuk mengambilnya dari kamu. Lewat kehilangan, pencurian, kecelakaan. Macam-macam. Pokoknya dipaksa untuk beralih kepemilikan dengan cara yang nggak enak. Daripada gitu mending dikembalikan kan?"
"Ayah nyindir ade ya?" kutabrakkan pundakku kepundak ayah. Ayah hanya nyengir.
"Maaf bu, apakah ada lagi waqaf yang ingin disampaikan?" petugas pencatat waqaf bertanya padaku dengan santun.
"Pingin sih. Tapi masih ragu." aku menunduk mempertimbangkan sesuatu. Ada sedikit rezeki didompetku. Aku ingin mewaqafkannya atas nama ibuku almarhumah. Ibu sudah meninggal enam tahun yang lalu. Tentu saja tidak ada lagi harta peninggalan beliau yang kupegang saat ini. Meski demikian, aku tahu seperti halnya ayah, saat ini almarhumah ibukupun memerlukan kiriman suplai tambahan untuk bekalnya dialam kubur. Kulirik suamiku ragu. "Mas, aku boleh nggak sih mewaqafkan hartaku untuk ibu?"
"Nggak bisa De." kompak, petugas pencatat waqaf didepanku pun memberi penjelasan yang sama. Intinya, waqaf hanya diberikan berasal dari harta langsung yang bersangkutan ketika dia masih hidup atau sisa harta pribadi ketika dia sudah meninggal dunia. Tidak boleh dari harta orang lain. Pendek kata, ketika sudah meninggal dunia maka kesempatan untuk melakukan kewajiban yang diperintahkan maupun yang dianjurkan berhenti sudah. Mendengar penjelasan ini, tiba-tiba hatiku menjadi sedih. Kulemparkan pandanganku ke arah jalanan yang basah oleh sisa hujan yang baru saja berhenti. Menyembunyikan airmata yang terasa ingin meloncat keluar.
Pemandangan didepanku terlihat penuh kesejukan. Genangan air hujan terdapat dimana-mana. Membuat daun kering yang rontok oleh musim panas menjadi rapuh karena terendam. Membuat sampah gelas plastik mengambang tiada daya dipinggir jalanan. Ketika sebuah ban mobil melintas menggilas gelas tersebut, gelas itupun remuk. Menyatu tanpa daya dengan debu, kerikil dan mungkin juga makhluk hidup kecil yang hidup didalam kubanngan diatas tanah yang tergenang.
Duhai alam kubur. Ada apakah saja yang terdapat disana? Pasti ada cacing tanah dan berbagai macam jenis cacing lainnya. Tentu ada koloni semut, rayap, kecoa, tikus tanah dan mungkin kalajengking serta kelabang. Masih merasa sakitkah jasad kita ketika berbagai koloni itu datang menggerogoti? Masih akan terasa sesakkah jika gundukan tanah yang tertahan oleh lima bilah papan akhirnya runtuh dan menimbun seluruh jasad? Tak ada yang bisa menyelamatkan diri dari hukuman dan ganjaran perbuatan zalim atau khilaf ketika masih hidup karena semua tangan, kaki dan segalanya memberi saksi tanpa mau diajak kompromi.
"Hei. Kenapa menangis?" suamiku menyapa lembut ketika melihat air mataku mengalir.
"Ibu mas. Aku pingin kirim sesuatu buat ibu dialam kuburnya tapi dengan apa?"
"Dengan doa De. Doa anak yang sholeh kan salah satu dari tiga hal yang masih bisa dimiliki oleh mereka yang meninggal."
"Iya. Tapi aku merasa belum cukup mas. Alam kubur amat dasyat. Dan lebih dasyat lagi alam akherat kelak. Aku ingin memberi lebih dari sekedar doa." suamiku menarik napas panjang. "Segala sesuatu itu sudah ada perhitungan yang seadil-adilnya dari Allah. Itu sebabnya kita ketika hidup diberi kesempatan untuk mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Mereka yang lalai memanfaatkan kesempatan itu tentu akan menerima apa yang dia peroleh sesuai porsinya. Kecuali tiga yang dia bawa dan akan terus mengucur kepadanya meski dia sudah mati. Yaitu doa anak yang sholeh, harta yang dikeluarkan dijalan Allah serta ilmu yang bermanfaat."
Ya Allah. Kasihanilah kedua orangtuaku dialam kuburnya. Berikanlah pada mereka tempat terbaik disisiMu. Kasihanilah mereka dengan melindungi mereka dari siksa kubur dan siksa neraka. Cucurkanlah pada kedua orangtuaku nikmatMu yang tiada pernaah habis. Sayangilah kedua orangtuaku melebihi sayang mereka padaku sejak aku kecil hingga dewasa.
-----------------------lanjut-------------------
Pagi ini tiba-tiba seorang tukang sol sepatu muncul didepan pintu rumahku. Loh kok?
"Mas, kamu mesen tukang sol untuk mampir ya?" suamiku menatapku bingung. Mencoba untuk mengingat-ingat hingga akhirnya menggeleng yakin. "Nggak." lalu meneruskan membaca koran paginya. Aku segera keluar rumah dan menghampiri tukang sol didepan rumahku.
"Neng." Bapak tua tukang sol sepatu itu mengangguk santun. Aku tersenyum kearahnya.
"Ada apa mang."
"Punten neng cuma mau tanya. Bener ya ibu eneng sudah meninggal?"
"Iya pak. Sudah lama, enam tahun yang lalu."
"Oh." Bapak tua tukang sol sepatu didepanku langsung terlihat sedih dan pucat. Perlengkapan sol sepatu yang semula dipanggulnya langsung diletakkannya diatas jalanan. Topi jerami lusuh yang semula dia kenakan langsung diambilnya dan diletakkan didepan dadanya. Sebentar kemudian tangan tuanya gemetar menghapus airmatanya.
"Maaf neng. Bapak baru tahu. Sudah hampir tiga tahun bapak dikampung nggak bisa kemana-mana. Bapak ketabrak motor jadi nggak bisa jalan. Pas lewat rumah ibu, tetangga ibu ngasi tahu bapak kalau ibu sudah meninggal. Sedih banget bapak. Ibu eneng tuh baik sekali. Kalau lihat bapak kecapekan ngider, ibu eneng suka ngasi bapak segelas kopi dan sepiring nasi. Padahal nggak ada sepatu yang mau disol. Bahkan pernah pas bapak cerita anak bapak sakit, ibu eneng langsung ngasi uang untuk berobat. Sedih bapak terlambat tahu kalau beliau sudah meninggal." kembali tangan tua bapak tukang sol itu menghapus airmata yang mengalir di wajah lusuhnya yang muram. Kesedihan yang dia tampilkan itu bukan sebuah sandiwara. Kesedihan yang dipersembahkan dihadapanku saat itu adalah cermin sebuah kejujuran yang polos dan sederhana. Hatiku ikut bergetar.
"Mungkin ini sudah terlambat ya neng. Tapi, yang sabar ya neng. Insya Allah ibu eneng dapat tempat yang terbaik karena orangnya baik sekali, terutama pada orang kecil seperti bapak. Pamit neng. Bapak akan doakan ibu eneng dapat ganjaran pahala untuk semua yang sudah dia kasi ke bapak karena bapak nggak bisa membalasnya didunia ini."
Seperti mimpi, seperginya tukang sol itu hatiku masih terasa tidak menginjak bumi. Ada sebuah rasa yang menggumpal didalam dadaku. Entah apa.
"Kenapa lagi De?"Suamiku bertanya ketika melihatku berjalan seperti melayang. Pasti dia sudah melihat air mata yang baru saja aku hapus dari pipiku. Pelan kuceritakan kejadian yang baru saja aku alami pada suamiku. Suamiku tersenyum. "Kemarin, kamu sibuk mikirin apa bekal yang bisa dikirimkan ke orang tua kamu di alam kuburnya. Padahal ternyata, sebenarnya kita sendirilah yang belum mempersiapkan apa-apa untuk bekal kita dikehidupan setelah mati ya De."
-------------dibuat oleh: Ade Anita, ramadhan 1430 H/agustus 2009
" Boleh. Mau shadaqah kemana?"
"Mana saja deh. Utamanya sih aku mau waqaf atas nama ayah almarhum. Aku masih memegang sedikit uang ayah ditabunganku, mau aku waqafin saja semuanya atas nama ayah almarhum. Saat ini, dibulan yang suci ini, ayah pasti membutuhkan banyak suplai tambahan pahala dialam kuburnya." Lalu kami meluncur ketempat penyaluran. "
Allah, sampaikan salamku untuk ayah. Please tell him I Love Him and I Miss Him so much."
Waktu kecil ayah pernah senyum-senyum liat aku muncul dari dalam kamar dengan rambut basah karena baru selesai mandi sore. Kemeja ayah bertengger ditubuhku dengan sempurna. Agak longgar karena dahulu tubuhku memang ceking. "Kok, sejak kapan baju ayah jadi punya kamu?" Aku tersenyum. "Sejak ada yang salah masukinnya ke lemari ade. Kan ade dah bilang berkali- kali, apa saja yang masuk ketempat ade dua kali duapuluh empat jam nda diambil-ambil jadi milik ade." Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya sudah terserah kamulah. Toh semua yang ayah miliki bakalan jadi milik anak ayah juga. Tapi kalau punya orang lain jangan ya nak. Itu sama saja dengan mencuri namanya."
"Tapi kan emang gitu aturannya?" Aku mengangkat alis mataku sambil tersenyum menggoda ayah.
"Hush! Semuanya kan harus sesuai dengan haknya. Jika memang sudah haknya, dengan berbagai macam cara akan kembali pada yang berhak. Kamu mau kamu yang mengembalikannya sendiri atau harus nunggu Allah yang maksa kamu untuk mengembalikannya?"
"Maksud ayah?" aku beranjak untuk duduk disamping ayah.
"Ya, kalau memang sesuatu itu bukan punya kamu, maka ada seribu satu macam cara Allah untuk mengambilnya dari kamu. Lewat kehilangan, pencurian, kecelakaan. Macam-macam. Pokoknya dipaksa untuk beralih kepemilikan dengan cara yang nggak enak. Daripada gitu mending dikembalikan kan?"
"Ayah nyindir ade ya?" kutabrakkan pundakku kepundak ayah. Ayah hanya nyengir.
"Maaf bu, apakah ada lagi waqaf yang ingin disampaikan?" petugas pencatat waqaf bertanya padaku dengan santun.
"Pingin sih. Tapi masih ragu." aku menunduk mempertimbangkan sesuatu. Ada sedikit rezeki didompetku. Aku ingin mewaqafkannya atas nama ibuku almarhumah. Ibu sudah meninggal enam tahun yang lalu. Tentu saja tidak ada lagi harta peninggalan beliau yang kupegang saat ini. Meski demikian, aku tahu seperti halnya ayah, saat ini almarhumah ibukupun memerlukan kiriman suplai tambahan untuk bekalnya dialam kubur. Kulirik suamiku ragu. "Mas, aku boleh nggak sih mewaqafkan hartaku untuk ibu?"
"Nggak bisa De." kompak, petugas pencatat waqaf didepanku pun memberi penjelasan yang sama. Intinya, waqaf hanya diberikan berasal dari harta langsung yang bersangkutan ketika dia masih hidup atau sisa harta pribadi ketika dia sudah meninggal dunia. Tidak boleh dari harta orang lain. Pendek kata, ketika sudah meninggal dunia maka kesempatan untuk melakukan kewajiban yang diperintahkan maupun yang dianjurkan berhenti sudah. Mendengar penjelasan ini, tiba-tiba hatiku menjadi sedih. Kulemparkan pandanganku ke arah jalanan yang basah oleh sisa hujan yang baru saja berhenti. Menyembunyikan airmata yang terasa ingin meloncat keluar.
Pemandangan didepanku terlihat penuh kesejukan. Genangan air hujan terdapat dimana-mana. Membuat daun kering yang rontok oleh musim panas menjadi rapuh karena terendam. Membuat sampah gelas plastik mengambang tiada daya dipinggir jalanan. Ketika sebuah ban mobil melintas menggilas gelas tersebut, gelas itupun remuk. Menyatu tanpa daya dengan debu, kerikil dan mungkin juga makhluk hidup kecil yang hidup didalam kubanngan diatas tanah yang tergenang.
Duhai alam kubur. Ada apakah saja yang terdapat disana? Pasti ada cacing tanah dan berbagai macam jenis cacing lainnya. Tentu ada koloni semut, rayap, kecoa, tikus tanah dan mungkin kalajengking serta kelabang. Masih merasa sakitkah jasad kita ketika berbagai koloni itu datang menggerogoti? Masih akan terasa sesakkah jika gundukan tanah yang tertahan oleh lima bilah papan akhirnya runtuh dan menimbun seluruh jasad? Tak ada yang bisa menyelamatkan diri dari hukuman dan ganjaran perbuatan zalim atau khilaf ketika masih hidup karena semua tangan, kaki dan segalanya memberi saksi tanpa mau diajak kompromi.
"Hei. Kenapa menangis?" suamiku menyapa lembut ketika melihat air mataku mengalir.
"Ibu mas. Aku pingin kirim sesuatu buat ibu dialam kuburnya tapi dengan apa?"
"Dengan doa De. Doa anak yang sholeh kan salah satu dari tiga hal yang masih bisa dimiliki oleh mereka yang meninggal."
"Iya. Tapi aku merasa belum cukup mas. Alam kubur amat dasyat. Dan lebih dasyat lagi alam akherat kelak. Aku ingin memberi lebih dari sekedar doa." suamiku menarik napas panjang. "Segala sesuatu itu sudah ada perhitungan yang seadil-adilnya dari Allah. Itu sebabnya kita ketika hidup diberi kesempatan untuk mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Mereka yang lalai memanfaatkan kesempatan itu tentu akan menerima apa yang dia peroleh sesuai porsinya. Kecuali tiga yang dia bawa dan akan terus mengucur kepadanya meski dia sudah mati. Yaitu doa anak yang sholeh, harta yang dikeluarkan dijalan Allah serta ilmu yang bermanfaat."
Ya Allah. Kasihanilah kedua orangtuaku dialam kuburnya. Berikanlah pada mereka tempat terbaik disisiMu. Kasihanilah mereka dengan melindungi mereka dari siksa kubur dan siksa neraka. Cucurkanlah pada kedua orangtuaku nikmatMu yang tiada pernaah habis. Sayangilah kedua orangtuaku melebihi sayang mereka padaku sejak aku kecil hingga dewasa.
-----------------------lanjut-------------------
Pagi ini tiba-tiba seorang tukang sol sepatu muncul didepan pintu rumahku. Loh kok?
"Mas, kamu mesen tukang sol untuk mampir ya?" suamiku menatapku bingung. Mencoba untuk mengingat-ingat hingga akhirnya menggeleng yakin. "Nggak." lalu meneruskan membaca koran paginya. Aku segera keluar rumah dan menghampiri tukang sol didepan rumahku.
"Neng." Bapak tua tukang sol sepatu itu mengangguk santun. Aku tersenyum kearahnya.
"Ada apa mang."
"Punten neng cuma mau tanya. Bener ya ibu eneng sudah meninggal?"
"Iya pak. Sudah lama, enam tahun yang lalu."
"Oh." Bapak tua tukang sol sepatu didepanku langsung terlihat sedih dan pucat. Perlengkapan sol sepatu yang semula dipanggulnya langsung diletakkannya diatas jalanan. Topi jerami lusuh yang semula dia kenakan langsung diambilnya dan diletakkan didepan dadanya. Sebentar kemudian tangan tuanya gemetar menghapus airmatanya.
"Maaf neng. Bapak baru tahu. Sudah hampir tiga tahun bapak dikampung nggak bisa kemana-mana. Bapak ketabrak motor jadi nggak bisa jalan. Pas lewat rumah ibu, tetangga ibu ngasi tahu bapak kalau ibu sudah meninggal. Sedih banget bapak. Ibu eneng tuh baik sekali. Kalau lihat bapak kecapekan ngider, ibu eneng suka ngasi bapak segelas kopi dan sepiring nasi. Padahal nggak ada sepatu yang mau disol. Bahkan pernah pas bapak cerita anak bapak sakit, ibu eneng langsung ngasi uang untuk berobat. Sedih bapak terlambat tahu kalau beliau sudah meninggal." kembali tangan tua bapak tukang sol itu menghapus airmata yang mengalir di wajah lusuhnya yang muram. Kesedihan yang dia tampilkan itu bukan sebuah sandiwara. Kesedihan yang dipersembahkan dihadapanku saat itu adalah cermin sebuah kejujuran yang polos dan sederhana. Hatiku ikut bergetar.
"Mungkin ini sudah terlambat ya neng. Tapi, yang sabar ya neng. Insya Allah ibu eneng dapat tempat yang terbaik karena orangnya baik sekali, terutama pada orang kecil seperti bapak. Pamit neng. Bapak akan doakan ibu eneng dapat ganjaran pahala untuk semua yang sudah dia kasi ke bapak karena bapak nggak bisa membalasnya didunia ini."
Seperti mimpi, seperginya tukang sol itu hatiku masih terasa tidak menginjak bumi. Ada sebuah rasa yang menggumpal didalam dadaku. Entah apa.
"Kenapa lagi De?"Suamiku bertanya ketika melihatku berjalan seperti melayang. Pasti dia sudah melihat air mata yang baru saja aku hapus dari pipiku. Pelan kuceritakan kejadian yang baru saja aku alami pada suamiku. Suamiku tersenyum. "Kemarin, kamu sibuk mikirin apa bekal yang bisa dikirimkan ke orang tua kamu di alam kuburnya. Padahal ternyata, sebenarnya kita sendirilah yang belum mempersiapkan apa-apa untuk bekal kita dikehidupan setelah mati ya De."
-------------dibuat oleh: Ade Anita, ramadhan 1430 H/agustus 2009
Langganan:
Komentar (Atom)







