Yang disayang dan yang dibenci
Yang disayang dan yang dibenci
Perempuan tua itu sudah sepuh. Aku mengetahuinya dari keriput yang menempel di seluruh permukaan kulitnya yang kusut. Meski begitu, semangatnya tetap membara. Dengan langkah tertatih, dia susuri jalan berbatu dan berdebu. Tak peduli lagi pada langkah kakinya yang sudah setengah menyeret karena tulang betis yang mulai mengintip dari bekas kulit yang terbakar api.
“Ini luka bakar nak. Ibu dapat ketika kompor minyak dirumah ibu meleduk. Tapi ibu tidak apa-apa, ini berkat anak-anak ibu yang manis, semuanya ada tiga ekor.”
Tiga? Manusia seperti apakah dia yang memiliki anak yang memiliki ekor? Diam-diam aku menatap punggungnya. Khayalan dan paranoidku datang menyergap. Jangan-jangan aku berbicara dengan seorang siluman. Ternyata anak yang dimaksud adalah tiga ekor kucing kampung. Yang dipeliharanya sejak anak kandungnya meninggal dunia akibat tersiram air panas.
“Anak kandung ibu usianya 32 tahun. Sudah tua, laki-laki, tapi mental retarded. Suami ibu sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu. Lima tahun sebelum anak kandung ibu meninggal dunia. Ibu sudah tua, lelah bekerja sendirian mencari uang sekaligus merawat anak yang cacat. Suatu hari ibu tertidur di meja dapur. Anak itu haus lalu langsung meraih ceret air panas dan langsung menuangkannya ke dalam mulut. Lalu dia mati seketika.”
Aku merinding mendengar ceritanya. Tapi tak tampak setitikpun air mata di bola mata ibu tua tersebut. Bola mata yang berwarna kelabu. Dengan kelopak yang sayu dan kerutan yang tampak kusut masai disekeliling bola mata tersebut. Beberapa permukaan kulitnya tampak terkelupas. Mungkin sudah terlalu kering. Karena air mata ibu tua ini sudah lama terkuras habis oleh derita.
“Sabar bu. Ibu amat luar biasa, bisa amat sabar dengan kehilangan yang beruntun.” Aku berkata padanya sambil menahan tangis. Kugenggam jemari tangannya yang gemetaran. Telapak tangannya dingin seperti batu es. Beberapa butir nasi tampak masih menempel di ujung jemari tangannya. Kami memang bertemu ketika beduk Azan Maghrib baru saja selesai berbunyi. DI pelataran masjid Al Azhar di suatu sore di bulan Ramadhan 2008.
“Tidak ada yang hilang nak. Semua yang hilang sudah diganti dengan yang lebih baik. Ibu kehilangan seorang anak yang terbelakang, tapi seminggu kemudian ibu bertemu dengan tiga ekor kucing yang pintar-pintar. Ibu beri mereka makan, ibu mandikan, ibu beri juga tempat layak untuk mereka tidur. Lalu ibu pun ditemani, dibangunkan setiap kali azan berbunyi, ditemani ketika ibu merasa kesepian, dan dihibur ketika ibu merasa sedih.”
‘Dimana ibu tinggal? Tinggal sama siapa?”
“Ibu tinggal di Bekasi nak. Tinggal seorang diri. Suami ibu hanya meninggalkan satu orang saja anak yang bodoh. Ketika mereka berdua sudah pergi, ibu tidak punya siapa-siapa lagi. Itu sebabnya, suatu hari, ketika ibu tertidur ketika sedang menanak nasi, tiba-tiba kucing ibu menjilati muka ibu, menggigit ujung jari ibu dengan keras. Nggak taunya, kompor minyak tanah ibu meleduk. Api sudah menjilat dinding. Langsung ibu teriak minta tolong sama tetangga sambil melempar keset basah ke atas kompor. Kenalah betis ibu ini cipratan apinya. Tapi Allah belum berkenan memanggil ibu menghadapNya. Ibu masih selamat . Itu semua berkat tiga ekor anak-anak ibu yang pintar-pintar itu.” Aku merinding mendengar ceritanya. Mungkin merinding menyaksikan rasa sayang yang amat besar ibu tersebut kepada hewan berkaki empat dan berbulu lebat tersebut. Atau mungkin juga merinding mendengar cerita heroik tiga ekor kucing. Atau…. Merinding mendengar kata kucing.
Entahlah.
Aku takut pada kucing. Mungkin Fobia. Tapi bisa juga jijik dan tidak suka. Lebih lengkapnya benci.
Entah sejak kapan rasa benci ini bermula. Awalnya mungkin ketika masih kecil, aku yang selalu tertidur diatas lengan ayah suatu hari terbangun karena mendengar ayahku berteriak kesakitan. Ternyata jari telunjuk ayahku digigit oleh seekor kucing. Luka sayatan itu menimbulkan luka yang cukup dalam. Itu untuk pertama kalinya aku melihat betapa seekor binatang kaki empat bisa punya kekuatan untuk melukai manusia. Aku tidak suka melihat darah yang terus mengalir dari jemari ayahku itu. Mungkin itu awalnya aku tidak suka kucing.
Tapi bisa juga, awalnya karena sering sekali aku mendapati darah berceceran di dalam lemari pakaianku. Itu adalah darah yang keluar dari seekor induk kucing yang melahirkan anak-anaknya di dalam lemari pakaianku. Bayangkan jika sedang asyik mengaduk pakaian untuk mencari model apa yang akan dikenakan, tiba-tiba ujung jemari kita menyentuh cairan lengket dan berlendir yang amis. Lalu belum habis rasa heran, tiba-tiba ada sesuatu yang menyakitkan menyentuh ujung jemari. Itulah gigitan induk kucing yang merasa terancam dan menyangka ada makhluk lain yang akan memangsa anak-anaknya.
Entah mana yang lebih dahulu ada dan cukup berkesan bagi diriku yang masih kecil sehingga akhirnya aku amat membenci hewan berkaki empat ini.
Sayangnya, ini Indonesia, bukan Brasil. DI Brasil, kucing masih diburu untuk disantap orang dengan cara membakarnya serupa hidangan panggangan seperti sate atau sejenisnya. Di Indonesia, banyak orang yang menyangka bahwa kucing adalah binatang yang harus disayang dan dihormati. JIka di jalan raya ada seekor anak itik yang lucu dan lemah tertabrak kendaraan, tak seorangpun yang peduli. Ayam, itik, tikus, orang miskin, gembel, pengemis, sama saja kedudukannya. JIka tertabrak di jalan raya, mereka bisa ditinggal kabur begitu saja. Mayat mereka bisa membusuk di atas dipan rumah sakit tanpa ada seorang pun yang peduli. Tapi ketika seekor kucing tertabrak mobil, mati atau tidak mati, pengendara mobil akan mengusahakan untuk menghentikan kendaraannya seketika itu juga. JIka mati, maka dengan hati-hati dan penuh khidmat, mayat kucing itu akan dikubur di dalam tanah. Beberapa ada yang menyertai pemakamannya dengan doa agar terhindar dari mara bahaya. JIka ternyata belum mati, maka dibawalah pulang ke rumah untuk diobati, diberi makan, setelah itu baru dilepas lagi. Derajat kucing benar- benar tinggi disini.
Meski demikian, tetap saja, aku tidak suka pada kucing. Benci sangat pada binatang kaki empat ini. Takut pula.
Pernah suatu hari, rumahku amat sangat panas hawanya. Maka pintu depan kubuka dengan maksud agar angis sudi mampir sejenak dan bersilaturahmi sejenak di rumahku. Tapi lain yang diharap, lain pula yang dapat. Angin tak terjaring justru kucing yang mampir. Aku takut. Spontan aku masuk ke dalam kamar lalu menelepon ayahku yang jarak rumahnya sebenarnya cukup jauh dari rumahku.
“Ayah, ada kucing masuk rumah ade. Ade takut. Nggak bisa ngusirnya.” Lalu aku mengharap keajaiban datang sambil berdiam diri di dalam kamar. HIngga ayah datang dengan mobilnya dan mengusir kucing tak diundang tersebut pergi. Sudah itu ayah pulang lagi ke rumahnya.
Aku benci kucing tapi suasana perkucingan terus menyelimuti rumahku. Entah sudah berapa kali kucing-kucing orang lain numpang melahirkan di rumahku. Dan tidak terhitung lagi mereka yang nunpang buang kotorannya di halaman rumahku. Yang terakhir, ada yang numpang menghembuskan nafas terakhirnya di rumahku.
Lalu harus bagaimana lagi aku berkata pada kucing-kucing itu agar tidak lagi datang mengunjungi kehidupanku?
Pernah aku punya boneka kecil yang amat lucu. Menurutku itu boneka anak anjing atau anak beruang. Warnanya putih dengan coreng coklat di hidungnya. Lucu sekali. Sering aku ajak ngobrol jika sedang mencari ide untuk menulis. Anak-anakku tahu aku amat menyayangi boneka tersebut. HIngga suatu hari suamiku berkata, bahwa boneka itu boneka anjing. DIamini juga oleh anak-anakku yang mengamati dengan seksama. Aku bersikeras itu boneka beruang. Tapi akhirnya terpengaruh. Lalu mulai memperhatikan wajahnya lamat-lamat. HIngga tiba-tiba muncul perasaan bergidik dan mual. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri meremang. Ya. Si beruang amat mirip kucing ternyata. Detik itu juga boneka kesayangan itu aku buang jauh-jauh. Tidak ada lagi boneka kesayangan. Hilang.
“Kamu tahu nak. Ketika anak ibu berada di usia remaja, ibu amat berharap dia cepat mati. Ibu sudah kehilangan banyak sekali waktu dan energy untuk mengurusnya. Memandikan tubuh besarnya yang kian hari kian berat. Menyuapi mulutnya yang terus berceracau tidak karuan sambil terus meneteskan air liur yang tidak ada habis-habisnya menetes dari sela-sela bibirnya yang tidak pernah tertutup rapat.
Membersihkan kotorannya yang kian hari kian bau dan menjijikkan. Tapi, yang cepat mati ternyata malah orang-orang yang ibu sayangi. Orang tua ibu, suami ibu, juga saudara-saudara ibu. Akhirnya ibu berhenti berharap yang tidak-tidak. Ibu sadar, ternyata bukan kita yang mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita sendiri. Tetap Allah jualah yang Maha Mengetahui semua hal itu. Akhirnya ibu belajar untuk ikhlas. Ibu belajar untuk sabar. Siapa sangka, akhirnya Allah mengirimkan tiga ekor makhluk yang amat sangat menyayangi ibu dan ibupun amat sangat menyayangi mereka. Mereka menjaga ibu dengan caranya sendiri, dan ibu pun menjaga dia dengan cara ibu sendiri. Tapi kami saling tolong menolong. Mungkin hingga nanti. Hingga maut memisahkan kami. Berkat mereka, sekarang ibu bisa tenang beribadah ke masjid. Untuk ikhtikaf seperti sekarang, untuk berpuasa dengan lebih sabar dan lebih bersyukur. Subhanallah wal Alhamdulillah.” Lalu kalimat puji-pujian pun mengalir deras dari bibir wanita tua yang mulai sepuh itu. KOndisi yang aku ketahui dari keriput yang mulai menempel kusut masai di seluruh permukaan kulitnya.
Lalu Ramadhan 2009 ini, aku tidak lagi bertemu dengan wanita tua ini.
Penulis: Ade Anita
Perempuan Tanpa Bola Mata
Yang kasat Mata dan Yang tidak kasat mata
Tulisan ini terinspirasi tulisan teman saya Sofie Yupitasari. Tentang pengalaman dia bertemu dengan makhluk yang tidak kasat mata. Tiba-tiba saja, saya jadi ingat pengalaman saya ketika masih kecil. Lebih tepatnya ketika duduk di bangku Sekolah Dasar.
SD saya, ada di tengah kampung. Dulu, era tahun 70-an (saya lulus SD tahun 1983) Jakarta memang belum se-metropolitan seperti sekarang. Jadi, daerah Pengadegan masih merupakan sebuah kampung. Dalam arti, rumah-rumah orang-orang asli Betawi masih banyak sekali di sekeliling saya ( I wonder… kenapa banyak sekali kata sambung disini?). Tidak seperti sekarang yang kebanyakan telah dihuni oleh kaum pendatang yang sukses membeli tanah penduduk asli Betawi dan penduduk asli Betawinya mengungsi ke daerah Citayem, Bogor.
Baik. Kembali ke cerita tentang saya sebagai anak SD. Karena rumahnya masih di daerah perkampungan, maka otomatis begitu juga dengan sekolahnya. SD saya adalah SD Inpres yang berada di tengah perkampungan. Dulu, waktu kelas satu, dua hingga tiga SD, SD kami termasuk SD yang mendapat bantuan segelas susu gratis setiap pekannya dari PBB. Ini untuk menggambarkan betapa SD saya bukan SD tempat orang-orang kaya menyekolahkan anak-anaknya. Juga bukan SD plus yang punya banyak fasilitas dari hasil sumbangan orang tua murid. Saya penggemar susu. Begitu gemar susu hingga ibu terpaksa harus membuat peraturan berapa gelas susu yang bisa saya minum dalam seharinya. Tidak boleh lebih dari tiga gelas. Susu memang barang mahal dahulu, mungkin setara dengan harga sepiring nasi dan lauk pauk ayam penyet. Tapi sebagai penggemar susu, saya lebih rela tidak makan sepiring nasi dan ayam penyetnya daripada tidak minum susu. Mungkin itu sebabnya badan saya dulu amat sangat langsing (hei! Kenapa baru terpikir sekarang cara mengurangi berat badan sekarang saya? Hahaha.. . dulu saya kurus sekali tapi sekarang subur sekali).
Oke ade. Kembali ke topik. Kembali ke topik. Kenapa sih suka OOT sendiri?
Nah. Karena SD saya ada di tengah perkampungan (pasti sudah hapal dong prolog yang ini..hehehehe); maka di sekeliling SD saya banyak sekali pepohonan. Pohonnnya besar-besar dan rimbun-rimbun. Akar-akarnya yang besar kadang mencuat keluar dari tanah dan bisa kita duduki seperti halnya bangku kayu. Akar yang menjuntai bisa dipakai untuk mengikat ban besar yang akhirnya berubah fungsi menjadi ayunan. Kadang, jika sedang main petak umpet, pohon besar itu benar-benar seperti pohon yang ada difilm-film kartun, karena bisa dipakai untuk tempat bersembunyi. Saya senang main di sekitar pohon-pohon besar itu.
Suatu hari, teman sekelas saya mengajak saya menemaninya pulang ke rumah untuk mengambil buku PR yang tertinggal di rumahnya. Maka, kamipun pergi jalan kaki berdua melewati gugusan pohon-pohon besar tersebut. Ketika itulah saya melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh teman saya. Saya melihat seorang perempuan berambut panjang sekali, hingga melebihi kakinya, dengan gaun putih yang panjang menjuntai, dengan tangan yang terbentang seperti sedang disalib, sedang menari-nari berayun-ayun di pucuk teratas sebuah pohon besar.
Tidak ada penyangga di bawahnya. Juga tidak ada alas yang cukup kuat untuk tempatnya berpijak. Perempuan itu lebih tepat disebut mengambang di atas pucuk pohon. Dia tidak peduli pada sapuan angin yang membuat pucuk pohon meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Juga tidak peduli pada awan yang kelihatan melintas hanya beberapa jengkal dari tempatnya berdiri.
Wajah perempuan itu amat putih seperti tersiram cat dinding yang kebanyakan campuran airnya. Kantung matanya hitam seperti lebam. Saya langsung menundukkan kepala setelah beberapa saat terperangah melihatnya. Terlebih karena saya merasa bahwa perempuan itu sadar bahwa saya bisa melihatnya dan langsung menghentikan tariannya lalu menatap balik ke arah saya. Lurus dengan tatapan mata yang menghuncam dan meremangkan bulu kuduk. Mata kami sempat bertemu pandang sejenak sebelum saya memalingkan wajah. Menunduk karena takut.
Sejak itu saya jadi tidak berani tidur sendirian. Saya juga tidak berani lagi tidur menghadap selain tembok. Posisi tidur saya satu, menghadap tembok. Di belakang saya harus selalu ada dua buah guling yang menyanggah punggung. Harus. Saya selalu merasa, bahwa jika terjadi sesuatu dan ternyata pemilik wajah menyeramkan itu mendatangi saya, lalu ingin membunuh saya, lebih baik saya berakhir dengan cara tidak pernah melihat wajah dan perbuatannya. Mungkin sakit di daerah punggung tapi lalu mati dengan tenang. Kenangan terakhir saya hanyalah tembok kamar yang bisu. Ah…. Pemikiran kanak-kanak yang dangkal.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun tidur dengan posisi seperti ini, posisi rahang saya pun mengalami pergeseran tidak normal. Rahang saya menjadi miring. Ketika SMA, terpaksa saya harus mengikuti perawatan Ortho untuk memperbaiki rahang miring tersebut. Perlu waktu hampir 3 tahun hingga akhirnya rahang ini nyari kembali ke posisinya (sampai sekarang tidak murni 100 % kembali normal posisinya).
Tapi tidak berhenti sampai disitu. Sejak saat itu, saya jadi sering bertemu tanpa sengaja dengan makhluk-makhluk tidak kasat mata tersebut. Seperti ketika saya tidak bisa tidur suatu malam (dan memang saya sering tidak bisa tidur jika malam ketika masih remaja dahulu). Saya keluar menuju teras kamar.
Rumah saya bertingkat. Jumlah kamar di rumah tersebut ada tujuh. Empat di lantai bawah dan tiga di lantai atas. Ada sebuah teras yang cukup lebar dan panjang untuk kita sekedar berjalan-jalan hilir mudik mencari ide, mengambil napas atau bermain masak-masakan disana. Ya. Semua kamar di lantai atas memang diperuntukkan orang tua saya untuk semua anak perempuannya yang berjumlah tiga orang.
Suatu malam, ketika saya sedang mencari udara segar karena tidak bisa tidur, saya melihat sebuah sosok di atas genteng rumah induk. Sosok perempuan dengan mukenah dan sarung putihnya sedang shalat di atas genteng. Saya terpaku melihatnya. Bagaimana mungkin dia bisa sempurna berdiri di atas kemiringan atap? Setelah selesai salam, perempuan itu menoleh dan langsung mata saya dan matanya bertemu. Subhanallah. Wajahnya putih sekali dan bola matanya hitam sekali (tidak ada putihnya). Saya langsung merasakan lutut saya gemetar. Dengan langkah tergesa-gesa saya langsung meraih pintu masuk, lalu berlari menuju kamar, berselimut hingga leher dan langsung tidur menghadap dinding lagi. Di hari-hari selanjutnya saya jadi sering melihat perempuan itu shalat di tempat-tempat yang tidak masuk akal. Di atas loteng tempat kuda-kuda rangka atap malang melintang; di atas pohon rambutan; dan sekali pernah di dalam kamar kakak. Sampai sejauh ini, kami tidak pernah berkomunikasi (uhhh, jangan sampai!).
Itu yang terlihat. Yang tidak terlihat rasanya sudah tidak terhitung. Pernah suatu malam ketika saya sedang mengetik (karena hanya di waktu malam ketika semua orang sudah jatuh tertidurlah waktu yang tepat untuk menulis), tiba-tiba saya mendapati bola basket terlempar di belakang punggung saya dan hup.. masuk ke dalam keranjang basketnya.
Ya. RUmah saya yang sekarang, memang di ruang keluarganya digantung ring keranjang basket. Sehingga kami sekeluarga bisa bermain basket kecil-kecilan di dalam rumah. Jarak antara ring basket dan meja belajar lebih kurang satu meter. Saling belakang membelakangi.
Ya. Seperti teman saya Sofie katakan dalam notesnya, bahwa dimensi lain di luar kehidupan kita memang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Yang penting mungkin saling menghormati keberadaan masing-masing dan tidak merusak keimanan kita. Karena semua makhluk di atas bumi ini, adalah ciptaan Allah SWT dan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Allah SWT.
------
Penulis: Ade Anita
down to earth
Did you think that your feet had been bound
By what gravity brings to the ground?
Did you feel you were tricked
By the future you picked?
Well come on down
All these rules don't apply
When you're high in the sky
So come on down
Come on down
We're coming down to the ground
There's no better place to go
We've got snow upon the mountains
We've got rivers down below
We're coming down to the ground
To hear the birds sing in the trees
And the land will be looked after
(Come) send the seeds out in (the deep?)
Did you think you'd escaped from routine
By changing the script and the scene?
Despite all you made of it
you're always afraid of the change
You've got a lot on your chest
Well you can come as my guest
So come on down
Come on down
We're coming down to the ground
There's no better place to go
We've got snow upon the mountains
We've got rivers down below
We're coming down to the ground
We'll hear the birds sing in the trees
And the land will be looked after
(Come?) send the seeds out in (the deep?)
Like the fish in the ocean
We felt at home in the sea
We learned to live off the good land
We learned to climb up a tree
then we got up on two legs
But we wanted to fly
When we messed up our homeland
and set sail for the sky
We're coming down to the ground
There's no better place to go
We've got snow upon the mountains
We got rivers down below
We're coming down to the ground
We'll hear the birds sing in the trees
And the land will be looked after
send the seeds out in th
We're coming down
Comin' down to earth
Like babies at birth
Comin' down to earth
Redefine your priorities
These are extraordinary qualities
We're coming down to the ground
There's no better place to go
We've got snow upon the mountains
We've got rivers down below
We're coming down to the ground
We'll hear the birds sing in the trees
And the land will be looked after
(Come) send the seeds out in (The deep?)
We're coming down to the ground
There's no better place to go
We've got snow upon the mountains
We've got rivers down below
We're coming down to the ground
We'll hear the birds sing in the trees
And the land will be looked after
(Come) send the seeds out in (the deep?)







